03.00 AM

Sudah cukup lama Haidar membawa mobil menyusuri jalanan malam, hingga sepi para pengendara dan tinggal beberapa saja yang melintas serta berpapasan.

Sudah banyak pula lagu-lagu yang Haidar dan Bara putar, mulai dari lagu-lagu lawas milik The Beatles hingga lagu-lagu Justin Bieber turut mengisi ruang diantara keduanya.

“Berhenti dulu yuk.” Sebenarnya ajakan Haidar tidak lebih kepada pernyataan, karena belum sempat Bara memberinya jawab, Haidar sudah menghentikan laju mobil tersebut.

Genggaman tangan Haidar lepas, kemudian keluar dari mobil dan diikuti Bara. Keduanya duduk di atas trotoar.

Merokok menjadi salah satu opsi yang Haidar pilih untuk dia lakukan saat ini. Sedang Bara memilih untuk tidak menghisap batang racun tersebut.

“Are you happy?” Bara tahu Haidarnya lagi senang hati, tapi ada sedikit rasa penasaran bagaimana rasa bahagia yang Haidar rasakan saat ini.

Haidar terseyum, sebelum memberikan jawabannya dirinya terlebih dulu menghisap batang rokoknya. “I don't know—

Kembali dengan menghisap rokoknya, Haidar rasanya butuh waktu untuk mengolah kata yang akan disampaikan, karena rasa bahagianya kali ini cukup rumit Haidar rasa.

Aku seneng ngeliat Papa dan perubahannya hari ini, tapi gak tau kenapa ini tuh rasanya abu-abu.” Haidar menoleh, mempertemukan netra keduanya. Berharap Bara bisa paham dengan apa yang sedang dirasakannya.

“Tapi tiba-tiba aku juga ngerasa takut, takut kalau-kalau Papa pergi. Entah Papa yang malam ini pergi karena sudah berganti hari dan jadi Papa yang lain lagi, atau Pergi tanpa kembali karena merasa sudah berpamitan dengan baik malam ini.”

Sadar nafas yang Haidar buang cukup berat, Bara mulai paham dengan bahagia dan khawatirnya Haidar.

“Kalau ini beneran jadi pamitnya Papa, rasanya akan lebih sakit. karena, Papa udah jadi yang Aku mau.” Ujung rokoknya yang sudah menjadi abu karena sibuk urai perasaannya lewat kata, Haidar buang.

“Lebih baik Aku bangun, dengan ngeliat Papa kembali jadi orang yang gak banyak punya rasa peduli.”

Bara tidak pernah tau bagaimana rasanya begitu takut kehilangan, yang Bara tahu adalah bahwa kehilangan adalah sesuatu yang begitu menyakitkan. Apalagi yang pergi tanpa berpamitan.

Antara rasa takut kehilangan dan rasa ketika sudah ditinggalakan, Bara juga tak paham mana yang lebih menyakitkan. Bisa jadi rasa takut kehilangan akan lebih menyakitkan, karena disiksa dengan yang namanya suatu ketidakpastian.

Bara tak memberi tanggapan sepatah katapun, dia hanya mengambil satu tangan Haidar yang menganggur. Dia genggam dan sembunyikan di balik kemejanya. Ibu jarinya bergerak pelan di atas tangan Haidar, berharap memberikan rasa tenang dan meredakan rasa khawatirnya akan banyak hal.

Bara bukan orang yang pandai memberikan respon dengan rangkaian kata manis atau kata yang mampu memberikan solusi dan ketenangan hati. Tapi dia akan menjadi telinga yang siap sedia mendengar semua keluh kesah Haidar. Setidaknya Haidar tidak harus merasakan khawatirnya seorang diri.

“Kehilangan kamu sekarang juga jadi bagian rasa takutku Bar.” Haidar injak batang rokoknya yang tinggal putungnya saja. “Jangan kemana-kemana,”

Bara sanggupi dengan anggukan, dan mempererat yang tersembunyi di balik kemejanya.

Keduanya kemudian sama-sama diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing sampai 4rcukup lama.

“Kok aku udah ngantuk ya.” senyum canggung mengiringi Bara menatap Haidar sambil menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menulusup ke dalam dirinya.

“Tadi aja minta sampek pagi, masa udah ngantuk duluan.”

“Ya kan yang bikin ngantuk, gak ngantuk bukan aku. Masuk ajalah mau tidur bentar aja.” Bara berdiri, menepuk celana belakangnya yang mungkin saja ada kotoran yang menempel. Haidar mau tak mau mengikuti.

“Pulang aja biar enak tidurnya, lagian mau ngapain lagi sih.” Melihat Bara yang sudah pasang posisi untuk tidur dengan posisi yang menurutnya tidak nyaman. “Tidur dulu juga gapapa, nanti aku bangunin.”

Rasa kantuk sepertinya benar-benar sudah menguasai Bara, sehingga dirinya mengiyakan ajakan Haidar dan betulan tertidur setelahnya. Hingga tak terasa Haidar sudah membangunkan dirinya.

“Udah nyampek, masuk gih.”

“Lah kok pulang ke rumah, kamu pulangnya?” Bara baru sadar kalau mobilnya berhenti di sekitar kompleks rumahnya.

“Aku udah pesen grab. Tenang aja.”

“Emang ada jam segini?”

“Ada. Dah sana masuk, tidur.”

“Nunggu kamu dulu deh,”

“Mata udah merah banget gitu, lagian drivernya udah deket. Dah sana masuk.” Haidar berniat untuk keluar dari mobil Bara, supaya Bara segera masuk ke rumahnya dan menyelesaikan tidurnya yang belum selesai dan sama sekali tak nyaman.

“Bentar.” Pintu belum terbuka, Bara menahan tangan Haidar untuk tidak buru-buru keluar terlebih dulu.

“Kenapa la— belum selesai kalimatnya Bara menghadiahi pipi kiri Haidar dengan ciuman singkat. —gi.”

Haidar tersenyum, menampilkan gigi-gigi rapihnya. “Tumben banget, kenapa?”

“Aku gak bisa janji tapi aku bisa bilang untuk saat ini aku bakalan gak akan kemana-mana Haidar.”

“Makasih ya.” Haidar tangkup wajah si manis. Sedikit rapikan rambut yang berantakan akibat tidurnya tadi.

“Udah, sana masuk.” Haidar kembali akan membuka pintu mobil.

“Gitu doang.”

“Hah? apanya?” Haidar mengerutkan dahi.

“Tau ah.”

“Kenapa lagi? bilang aja, aku mana tau kalau kamu gak ngomong.”

Bara hanya menyentuh pipi kanannya dengan jari telunjuknya, tanpa ada keberanian sampaikan lewat suara. Dan matanya beri isyarat supaya Haidarnya mendekat.

“Pamrih juga kamu ternyata ya. Sini.” Bara mendekatkan pipi kanannya. Tapi Haidar malah tangkup wajahnya kembali dan memberikan ciuman pada beberapa titik di wajah Haidar. Dahi, pipi kanan dan kiri, hidung. Bara sama sekali tak bisa melawan.

“Ini mau juga gak?” Haidar menatap bibir Bara.

“Ish udah-udah, gak bakalan pulang kamu nanti. Lagian udah dikasihnya sekali malah ngelunjak kamu.” Bara mendorong tubuh Haidar.

“Hahaha, yaudah. Aku keluar ya, kamu langsung masuk.”

“Hmm”

Mobil Bara sudah meninggalkan Haidar yang berdiri sendiri, menunggu driver grab dengan senyum yang tak bisa lepas karena sikap manis Bara yang masih utuh di pikirannya.