Bara mendengus, merutuki diri sendiri. Pasalnya Haidar kelaparan, dan itu tidak bisa Bara abaikan. Sebenarnya, Haidar juga tidak sepenuhnya salah. Dengan berat hati, pintu kamarnya terbuka. Dan Bara terkejut ketika Haidar sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan membawa satu paper bag yang menggantung pada tangannya, entah isinya apa.

Happy Valentine. Tadi mau ngasih ini keburu liat Papa, jadi aku masukin tas lagi.”

“Boong lo ya, ini baru lo beli kan.”

“Liat dulu isinya dong.” Haidar menaikkan sebelah alis matanya.

Bungkusan coklat entah merek apa, Bara tidak peduli. Matanya justru menangkap sesuatu yang lebih menarik di bawah bungkusan coklat tersebut.

“Dar, serius?” yang ditanya mengangguk, menyinggungkan senyum.

Sebuah kotak bertuliskan merk dari jam tangan yang Bara idamkan dari beberapa bulan lalu, membuatnya menarik bibirnya lebar.

“Bukanya di meja makan aja boleh nggak? aku udah nggak sabar makan batagor buatan kamu.” Selain itu perut Haidar memang sudah dilanda rasa lapar sejak tadi.

“Aku tuh masih nabung tau buat beli ini, kenapa dibeliin duluan? uang kamu banyak banget kayanya ya.” Meskipun omelan yang keluar, tapi senyum Bara juga tidak kunjung mereda. Ekspresi Haidar yang ditunggunya saat memakan batagor buatannya sejak tadi mendadak hilang dalam ingatannya.

“Pake dong, mau aku yang pakein?” Haidar dengan suapan pertamanya.

Bara menggeleng dan langsung memasang jam tangan barunya sendiri terpasang apik di tangan kirinya, dan membiarkan Haidar menikmati batagornya. “Bagus nggak?”

“Bagus, tangan kamu jadi makin cantik.”

“Tapi ini duitnya lumayan Dar, lo tuh—”

Please sayang, jangan ngomel hari ini ya. Aku lagi capek banget, lagian uang aku nggak bakalan abis cuma buat beliin barang yang kamu suka.” Haidar lebih dulu memotong ucapan Bara.

Bara hanya bisa tersenyum melihat Haidar protes dengan ocehannya terkait kebiasaannya mengeluarkan uangnya untuk barang-barang yang kadang tidak terlalu penting dengan harga yang tergolong tidak murah.

Entah suapan keberapa dari batagor yang hampir masuk ke mulutnya di tahan oleh Bara. Sendoknya diambil alih, bertindak menyuapi Haidar. “Enak nggak? sori aku nggak ngasih apa-apa, aku lupa kalo hari ini valentine.”

“Lah ini aku kira kamu masakin aku batagor buat spesial hari valentine.”

“Hari apapun buat gue semuanya spesial Dar. Asal masih ada lo di hari itu.” Bara singkirkan anak rambut yang masih sedikit basah supaya tidak menghalangi pandangan Haidar untuk menatapnya. “Makasih buat hari ini, kemarin dan hari-hari selanjutnya yang ada lo nya.”

Haidar nggak tahu kenapa mendengar itu membuatnya begitu mabuk melebihi meminum sebotol anggur merah. Mencintai Bara adalah hal yang sudah menjadi sesuatu yang Haidar syukuri tiap harinya. Tapi Dicinta Bara adalah hal yang lebih Haidar syukuri untuk hidupnya saat ini.

“Pinter banget diabisin makannya. Abis ini gue kasih hadiah puk-puk sambil peluk.” Bara dan ucapannya yang membuat Haidar semakin jatuh pada jurang tanpa dasar.

“Sampe pagi.”

“Pegel dong tangan gue.”

“Kalo gitu peluknya yang sampe pagi.”

Meja makan kecil kepunyaan dua adam kini setiap harinya tidak hanya akan terisi dengan berbagai menu masakan, tapi juga penuh dengan diksi suka cita bagaimana dua anak adam saling membagi cinta.