Bayangan pulang dengan tenang setelah berkutat dengan kelas yang membuat otaknya panas, seketika hilang. Haidar harus mencari cara bagaimana seblak bisa ada di depan matanya.

Nihil. Tentu saja, dimana ada seblak?. Yang bisa Haidar temukan hanya Indomie dengan rasa seblak di laman pencariannya.

Semoga saja, setidaknya ada Indomie rasa seblak yang bisa Haidar dapatkan untuk Bara yang entah kenapa hari ini begitu merengek menginginkannya.

Tapi sayangnya Indomie rasa seblak pun tidak ada.

Berakhir Haidar membeli Indomie rasa soto, setelah mengarungi tiga market besar hampir dua jam.

“Bar,” Haidar pulang membawa indomie soto, bukan seblak yang diinginkan Bara.

“Hai, udah pulang. Lama banget, kemana dulu?” Bara terbaring di atas sofa dengan selimut menutupi setengah badannya. Bertanya tanpa melihat Haidar yang berdiri di belakangnya dengan muka lelahnya.

Dan Bara masih bertanya dari mana saja Haidar bisa pulang begitu terlambat.

Tidak kunjung mendapat respon, Bara memutar kepalanya. Melihat Haidar berdiri dengan satu kantong plastik belanjaannya tadi.

“Ga ada seblaknya, aku udah nyari ya ke semua market.”

“Yaudah gapapa. Terus itu kamu beli apa?”

Bara seolah tahu bahwa Haidar tidak akan pulang membawa seblak yang diinginkannya. Dia juga tahu seblak bukan makanan yang akan mudah ditemukan sekarang, berbeda dengan di Indonesia. Jadi ya sudah, Bara tidak akan ambil pusing jika seblak tidak ada dihadapannya.

Sementara Haidar yang berusaha mencarinya, melihat ekspresi Bara itu membuatnya cukup kesal. Haidar pikir Bara benar-benar menginginkan seblak dan akan marah padanya jika tidak bisa mendapatkannya. Bahkan market di seluruh Delft dia kunjungi untuk mencari makanan indonesia apapun yang berhubungan dengan seblak.

“Jadi lo lama nyari seblak!?, lagian udah tahu kaga bakalan ada.” Bara kembali memutar kepalanya membiarkan Haidar dengan sisa tenaganya.

“Tau gitu langsung pulang tadi.” Haidar meletakkan belanjaannya tadi diatas meja, dan duduk di bawah depan sofa yang ditiduri Bara. Meletakkan kepalanya di sisi sofa yang yang masih tersisa.

Satu tangannya mencoba menggapai dahi dan leher Bara untuk mengecek suhu tubuh Bara apakah sudah turun setelah sempat tinggi semalaman. “Syukur deh udah lumayan turun, badan kamu gimana udah kerasa enakan belum?”

Bara hanya menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan. Melihat Haidar dengan wajah lelahnya Bara bisa lihat bahwa Haidar sepertinya tidak bohong bahwa dirinya sudah keluar masuk ke seluruh market yang ada di Delft hari ini.

“Capek banget ya lo? Lagian udah tahu kaga ada, maksa banget.”

“Tadi siapa yang bilang 'Ada Mas…' trus pake emotikon sok sedih, udah kaya orang ngidam. Mana lagi sakit, kamu pikir aku bakalan diem aja.

Tadi ada liat indomie ada yang rasa seblak, makanya aku nyoba nyari siapa tau ada. Tau nya kaga ada juga.”

“Jelek banget manyun begitu lo. Gue pijitin dah sini duduk yang bener.” Bara bangun dan duduk dari sofanya. Memberikan pijatan pada bahu Haidar. “Gue kadang kasian sama Ardio, gitu aja terus hidupnya.”

Bara tiba-riba memberikan komentar bagaimana kisah temannya yang begitu rumit.

“Kenapa lagi emang?”

“Ya gitu biasa, gue jadi ngerasa kaga enak. Gue egois ya Dar?”

“Wajar kalo kamu egois kok, ga ada yang salah. Yang penting kamu udah bilangin dia kan. Lagian kalau udah kaya gitu, udah bukan urusan kamu buat nyuruh dia mau gimana Bar. Semua orang punya caranya sendiri buat milih berjuang kaya gue, atau nyerah kaya Bagas waktu itu, atau milih diem aja kaya temen lo ya walaupun agak goblok dikit sih.”

“Iya juga sih, kenapa kisah cintanya ribet amat sih itu anak.”

Mengerti bagaimana kekhawatiran Bara terhadap Ardio dengan kisahnya yang begitu rumit, namun tetap dijalani meskipun kadang harus banyak mengeluh. Terkadang jatuh cintanya seseorang tidak bisa dikalahkan meskipun dengan menyakiti diri sendiri. Dan itu cara Ardio bertahan hingga kini.

“Dah ah capek gue, mandi sono.” Tangan Bara berhenti, tubuhnya tidak bisa bohong kalau masih lemas tidak bertenaga.

“Baru juga lima menit belum ada.”

“Ya gue udah capek.”

“Yaudah kasih gue sesuatu yang bisa mengembalikan semangat gue yang hilang gara-gara permintaan lo tadi.”

“Pamrih lo anjing, dapet juga kaga.”

“Cepet, keburu gue pingsan.” Satu jari tangan Haidar menyentuh pipi kanannya dan berusaha mendekatkan wajahnya pada Bara yang duduk di belakangnya.

“Apaan minta digampar lo?” Bara menanggapi seolah tidak mengerti apa yang diinginkan Haidar.

“Bar…, bis—”

'Cup'

Belum sempat selesai dengan protesnya Haidar sudah diam tidak lagi bersuara, sebab Bara tiba-tiba memutar kepala Haidar dan memberikan satu kecupan pada bibir Haidar yang dari tadi mengomel.

Haidar merebahkan kepalanya pada tubuh Bara dibelakangnya. Memandangi wajah pucat itu penuh khidmat.

“Bar,”

“Hmm” kedua bola mata bertemu, Bara dengan mata sayunya sekalipun tidak berhenti mendamba paras apik yang Haidar miliki. Haidar dengan mata binarnya, juga tidak kalah memuja bagaimana manusia di hadapannya bisa terlihat seindah itu meskipun dengan mata sayu dan bibir pucatnya.

“Kenapa gue sayang banget dah sama lo.”

Satu kalimat yang mungkin bagi Bara hanyalah sebuah gombalan, tapi bagi Haidar kalimat itu jauh muncul dari hatinya yang paling dasar. Tidak ada satu katapun yang dianggapnya hanya lelucon.

Bagaimana perasaannya membuncah setiap kali menyadari bahwa dirinya adalah orang paling beruntung yang memiliki Bara putra Bimantara di sisi hidupnya.

“Masa?” Bara seolah memantik omelan baru muncul dari bibir Haidar.

Untuk menjawab pertanyaan mengesalkan dari Bara, Haidar memilih menjawabnya tanpa suara lantang.

Tapi membisikkannya tepat di telinga Bara. “Gue nggak pernah bohong soal itu Bar, ik hou van jou.” Seketika tubuh Bara meremang ketika Haidar mencium telinganya serta membuang jarak diantara pipi keduanya. Bergerak seperti anak kucing pada tuannya.

“Ik hou ook van jou” Saling pandang untuk kesekian kali, membenturkan tatapan hangat masing-masing. Meluruhkan tiap-tiap bahasa yang meninggikan cinta diantara keduanya.

Karena sejak jatuh cintanya Haidar dialamatkan pada putra Bimantara, Bara menjadi satu-satunya yang menerima bagaimana Haidar menuturkan bahasa cinta.

Hangatnya tensi semula berubah menjadi sedikit panas ketika jarak kembali terkikis, menyatukan bibir dengan lembut. Bertukar frasa cinta ditiap pagutan dan lumatan.

Jari-jemari saling mengikat erat, seolah jika ujung-ujungnya saling lepas, dunia mau pisahkan keduanya.

Tipisnya kadar oksigen membuat keduanya mengambil jarak yang tadi dibuang. Meraup oksigen dengan bertukar senyum. Dan kembali bagaimana lumatan menyatukan keduanya.

“Udah ah mandi dulu kamu.” Setelah berakhir dengan berbagi pelukan di atas sofa, Bara bersuara.

“Mandi bareng?”

“Kaga usah ngide dah lo. Cepet sono ah, gue masakin itu mie yang lo beli.”

'cup cup cup cup cup' Haidar malah menghujani wajah wajah Bara dengan ciuman singkatnya, sambil pelepas pelukan dan berlalu pergi ke kamar mandi. “Gue dua bungkus ya sayang.” Sebelum menutup pintu Haidar berteriak minta dua bungkus indomie yang tersaji untuknya nanti. Bara hanya tersenyum mendengar teriakan itu.