Disclaimer!
Konten mengandung unsur dewasa secara implisit. (U17+)
***
Kenapa dunia yang tak seberapa ini, terkadang harus tidak memberikan ruang bagi mereka yang merasa kehilangan, bagi mereka yang terasingkan, atau bahkan bagi mereka yang tak punya sisa tenaga untuk sekedar menyampaikan situasi hati.
“Gue mandi dulu deh Dik, pinjem kaos ya”
“Biasanya juga langsung ambil-ambil aja lo.”
“Ngomong salah, gak ngomong tambah salah. Salah mulu gue sama lo Dik.”
Gelombang rasa yang bergemuruh tanpa suara sedikit mereda ketika pintu kamar mandi tertutup dengan sempurna.
***
Aroma shampo khas milik Dika menguar dari balik rambut ikal Ian yang masih basah. Rambut yang seharusnya segera dibalut dengan handuk malah dibiarkan, berujung lantai kamar Dika harus dihujani dengan tetesan air yang terjun dari rambut ikalnya.
Mulut yang biasanya dengan lantang mengeluarkan omelan kini justru bungkam, membiarkan tetesan demi tetesan meluncur deras menghantam lantai kamarnya yang sudah jarang berbenturan. membiarkan tetesan tersebut pergi dengan kering sendirinya tanpa perlu mengusirnya dengan sapuan tisu atau baju kotornya.
Entah malas harus beradu argumen dengan Ian, atau Dika hanya merasa kejadian aneh itu sesuatu yang sedang dia rindukan. Sesuatu yang lama tidak mampir ke bilik kamarnya.
“Lo ga mau pulang ke rumah gitu yan?”
Langkah kaki Ian terhenti sejenak, lalu meraih ponselnya yang berada di atas meja. Duduk, lalu merebah di atas kasur yang tentu saja bukan miliknya. “Ngapain lo nanya gitu? gue kan emang ga pernah pulang. Percuma juga pulang, rumah juga sepi.”
Rumah bukan sesuatu yang perlu Ian rindukan.
Dika tidak memberikan komentarnya, apa yang sebenarnya dirinya tanyakan pada Ian adalah sebuah pertanyaan yang juga bersarang di dalam kepalanya sejak beberapa hari yang lalu. Begitupun juga jawaban, apa yang Ian katakan sebagai jawaban sepertinya juga cukup menjadi jawaban bagi dirinya juga.
“Kenapa? Lo pengen pulang? Mau gue anterin weekend besok?”
Dika hanya menggeleng.
Tidak ada yang bersuara setelahnya. Keheningan menutup rapat ruang yang ada di kamar Dika. Keduanya seolah sedang menikmati kegaduhan yang terjadi di dalam pikiran masing-masing cukup lama.
Dika memperhatikan laki-laki berambut ikal tersebut. Ada rasa syukur yang juga diam-diam dilafalkan Dika, kamarnya mendapat kunjungan sesuai dengan pengharapan. Seseorang yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya cukup rumit untuk bisa dibahasakan dengan lisannya.
Senyuman tipis terbit dari keduanya, pandangan tiba-tiba menyatu begitu saja. Segalanya berubah menjadi sulit untuk Dika tangani, termasuk jantungnya yang berpacu lebih cepat daripada biasanya. Kalau saja otaknya berhenti berfungsi, mungkin Dika akan segera memuntahkan isi hatinya dengan teriakan sekuat mungkin di depan laki-laki berambut ikal tersebut.
Manusia bodoh mana ketika masalah hati tidak mampu dilisankan, justru tindakan malah dilancarkan. Sebut saja manusia itu Mahardika Putra Langkat, yang makin lama tanpa suara seolah menyerahkan segalanya untuk manusia bodoh lainnya yang juga sigap melegalkan transaksi yang terjadi.
Balutan kata teman seolah bukan menjadi tameng lagi, keduanya diburu nafsu.
Labium saling berinteraksi, bagian belakang leher digapai agar transaksi berjalan lebih mudah. Suara lirih muncul di sela-sela kegiatan, menggelitik rungu, meledakkan hasrat. Afeksi memberikan ruang untuk mereka saling bicara. Kulit ke kulit, jari-jemari sudah tidak tahu arah. Jeda waktu juga diadakan supaya oksigen tidak sampai Amblas.
Pembicaraan semakin dalam, entah apa yang dibicarakan di dalam sana. Tubuh saling berhimpit seakan berlomba memberikan rengkuh paling hangat.
Kejadian pertama kali mungkin terasa serampangan, yang kedua kali ini jauh lebih rapi. Transaksi cumbu jauh terasa lebih menegangkan namun ringan. Decakan mengalun seperti alunan musik klasik romantis.
Jeda kembali diadakan. perebutan oksigen begitu intens, hasrat yang meledak sebelumnya menarik mereka ingin melakukan lagi dan lagi, tidak peduli berapa kali rongga dada mereka harus mengalami miskin oksigen, tidak peduli berapa kali harus merutuki kegiatan ini nanti.
Oksigen keduanya tidak sempat amblas, tapi justru hilang waras.
Meskipun begitu, dunia yang tak seberapa ini masih sudi memberikan ruang bagi mereka yang tak sempat mengabarkan secara lisan.