Gema Restupati
Menjalani suatu hubungan yang kemudian dibatasi dengan jarak, sebenarnya tidak pernah ada dalam rencana romansaku.
Meski hanya berbatas antar kota, bukan negara. Aku biasanya dengan lantang mengucap keengganan, dan kemudian berujung dengan perpisahan.
Lantas wira pemilik asma Gema Restupati, datang menggoyahkan pendirian yang sudah aku bangun tinggi-tinggi. Dibuatnya roboh tanpa permisi.
Tak ada satupun hal yang disematkan sebagai jaminan, tak ada pula rentetan janji manis yang disuarakan.
Aku tunduk.
Menunggu kunjungan yang entah berapa minggu atau beberapa bulan sekali dia lakukan. Terkadang juga aku yang berkunjung, sebab dibuat tak kuasa akan rasa rindu yang menyebalkan.
Yang kali ini sudah hampir satu bulan, aku dan dirinya kembali bisa bersua.
“Kamu udah makan ai?” Gema bertanya setelah duduk sempurna di dalam mobil milikku.
“Belum, sengaja mau makan sama kamu.” Senyum manis kuberikan. Bukan hanya sebagai pemanis jawaban, tapi juga respon atas presensinya yang begitu aku rindukan.
“Ayam geprek?”
Pertanyaan itu aku jawab dengan anggukan antusias. Ayam geprek menjadi opsi makanan yang tidak boleh kami lewatkan ketika bersama menghabiskan akhir pekan.
Sesederhana hidangan Ayam geprek seharga lima belas ribu tiap satu porsinya di warung lesehan, yang kini sudah ada di depan mata, yang aroma khasnya sudah menyapa indera penciuman. Menjadi hidangan yang kami favoritkan.
“Kamu itu aneh tau ai,”
Kalimat itu dia utarakan kala tanganku sibuk memindahkan kulit ayam di piringku ke piring miliknya.
Seringkali bertanya atas penghakiman yang kulakukan pada kulit ayam, namun ternyata masih membuatnya terheran akan bagaimana caraku saat sedang menikmati kudapan berupa ayam.
“Kenapa sih, kulit ayam itu kaya banyak minyaknya gitu lho bi, aku gak suka. Lagian gak semua orang harus suka kulit ayam kan.” argumenku tentang kulit ayam kusuarakan dengan ada sedikit penekanan pada kalimat terakhir yang kusampaikan. Sedang Gema mengukir tawa sambil melahap kulit ayam pemberianku sebelumnya.
Ayam geprek yang tadinya di atas piring milik kami berdua, kini telah tandas mengisi ruang organ lambung di perut kami. Akhirnya aku dan Gema memutuskan untuk pulang ke apartemen milikku untuk beristirahat.
Seperti saat ini, aku sudah berbaring di atas kasur dengan rengkuhan kelewat hangat yang Gema beri. Aroma tubuhnya juga selalu mampu beri rasa nyaman tersendiri. Yang hari ini bebas aku hirup semauku, lewat hidung yang menempel pada ceruk leher.
Saat terbangun ternyata matahari sudah tidak menampakkan diri. Sudah lewat pukul tujuh malam kami duduk bersama menikmati chicken katsu yang sebelumnya Gema pesan lewat aplikasi online.
“Kamu disini berapa hari bi?”
“Empat hari ai”
“Tumben, biasanya cuman dua hari bi.”
“Yang dua hari aku sengaja ngambil cuti, lagi pengen lama sama kamu.”
Perbincangan demi perbincangan ikut larut dalam kegiatan makan malam kami. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu.
“Ai bantuan dong.” Pinta Gema untuk membantu mengeringkan rambut basahnya, saat keluar dari kamar mandi. Dengan tubuhnya yang berbalut handuk hanya sebatas pinggang hingga bawah lutut.
Kusuruh dia duduk di pinggir kasur, agar memudahkan ku mengeringkan rambutnya. Karena postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku.
“Cantik ai.” Pipiku dibuat merona seketika, dengan entengnya dia berkata, tidak tau apa kalau ucapannya berdampak pada irama jantungku.
Cup. Belum sepenuhnya kering rambut hitamnya, dia tiba-tiba mencuri satu kecupan di bibirku. “Ish bi, belum kelar ya ini.”
Tak mengindahkan ucapanku, Gema malah terus menghujamiku dengan kecupan-kecupan yang sebenarnya aku pun menikmatinya.
Dada bidangnya aku dorong, agar dia berhenti melakukan aktivitas itu. “Ini mau diselesaiin dulu gak sih bi.” Usakan di rambutnya aku buat acak.
“Gak usah deh ai.” Tangannya dibuat melingkar pada pinggangku. “Aku gak tau udah ngomong ini berapa kali sama kamu ai, kalau aku itu beruntung banget punya kamu di hidupku. Kenapa kamu cantik banget dah ai. Cantik, cantik, cantik.”
Fuck, fuck, fuck.
Gema Restupati tak pernah punya reputasi gagal dalam hal memujaku. Setiap bait kata puja yang keluar dari bibirnya layaknya fakta yang harus dunia ketahui. Karena tak pernah ada sirat kebohongan yang kutemukan pada netranya kala berucap. Kamu salah, Bukankah aku yang begitu beruntung punya kamu Gema Restupati.
Kudorong dadanya lebih keras dari yang sebelumnya, hingga kulitnya menempel pada sprei kasur milikku.
Kini aku yang membubuhi wajahnya dengan kecupan. Tahi lalat yang tersebar di wajahnya, tak ada yang luput atas kecupanku. Aku suka akan bintik-bintik tahi lalat yang ada di wajahnya. Menambah kesan manis akan parasnya.
Turun pada ceruk lehernya yang menjadi spot paling kusuka kala menghirup aroma tubuhnya. Juga menjadi spot yang tak bisa lepas dari jamahan bibirku kali ini.
Dada bidang hingga perut kini juga sudah rampung bibirku jamah.
“Cari posisi enak dulu ai, biar kamu nyaman.”
Kami akhirnya berdiri, handuk yang tadinya melekat pada tubuh Gema entah kapan terlepas dan sudah tergeletak di lantai. Lantas Gema membantuku menanggalkan tiap helai busanaku. Hingga tak tersisa satupun.
Kini kami sudah ada dalam posisi paling nyaman. Gema berada di atas tubuhku dengan satu tangan sebagai tumpuan.
Bibir kami menyatu lewat lumatan yang begitu dalam, saling menginvasi, lidah saling sapa serta saliva yang dibuat saling berpindah.
Bibirku berhasil mengeluarkan lenguhan akibat rasa nikmat yang timbul saat tangan lincah Gema meremas buah dada sintalku kelewat agresif.
Putingku yang mengeras dimanjakan dengan jari-jarinya. Dipilinnya dengan sempurna hingga tubuhku membusung pertanda suka serta meminta lebih.
Akhirnya dia raup payudara dengan mulutnya, yang sebelumnya telah berhasil menghiasi leherku penuh dengan ruam keunguan.
Lidahnya begitu lihai memainkan putingku yang begitu menegang. Aku hanya bisa mengeluarkan suara acak namun tersirat penuh rasa nikmat.
“Udah basah banget ai,” Erangan penuh nikmat keluar dari mulutku sebab tangan Gema menyapa pusat diriku di bawah sana.
“Bi, udah basah banget. Masukin, please.” Aku merengek karena Gema tak kunjung merangsek masuk, sibuk menggesek dan mencubit klistorisku.
“Bentar ya ai, masih mau main dulu.”
Gema benar-benar membuat kepalaku kalang kabut. Organ pengecapnya menari di atas liang kewanitaanku dengan penuh kelihaian.
Puas dengan permainannya, Gema bangkit. Yang aku tebak akan mengambil bungkusan pengaman yang biasanya sudah ada di dalam laci samping kasur.
“Bi, gak usah pake temen.” Aku buru-buru menahan pergerakannya, agar tidak mengambilnya. “Aku minum obat kok.”
“Kamu masih minum obat, ai pake obat tuh gak baik, ada resikonya nanti.”
“Please bi. Mau langsung aja.”
Akhirnya Gema menurutiku. Dia urungkan mengambil pengaman. Peluh yang membasahi dahiku dia usap, lumatan pada bibir kembali dia berikan.
Jarinya bergerilya di bawah sana. Tiga jarinya dibawa memasuki liang kewanitaanku. Tempo yang dia lakukan disesuaikan dengan derap nafas dan suara yang keluar dari bibirku.
Sungguhan, anggun betul tiap-tiap jamahan yang kamu beri Gema Restupati. Bagaimana aku bisa menolak jika rasa seperti ini yang kau suguhkan. Aku ini kecanduan.
“Ai aku masukin ya,” aku hanya mengangguk, sebab pernyataan ini yang aku tunggu.
Cengkraman pada rambut hitam milikinya semakin erat, kala milik Gema masuk dengan sempurna ke dalam liang kewanitaanku.
“Sakit ai?”
“Jambak terus gapapa ai, atau ke punggungku juga gapapa ai.”
“Aku gerakin pelan-pelan ya ai.”
Miliknya di dalam sana bergerak keluar masuk perlahan, bahkan sangat pelan. Gema menunggu rasa sakitku terganti dengan rasa nikmat hingga bisa menambah tempo gerakannya.
“Masih sakit gak bi?” aku gelengkan kepala, karena rasanya memang aku seperti dibawa terbang begitu tinggi.
Tempo gerakan dia percepat kala aku mendesah nikmat. Menumbuk liang kewanitaanku dengan semangat, hingga menyentuh titik paling sensitif di dalam sana.
Lenguhan panjang serta kaki yang bergetar, pelepasanku akhirnya capai puncak, begitu pun Gema.
Cairan hangat memenuhi rahimku.
“Ai, sekali lagi mau gak?”
Akhirnya pelepasan kedua kami juga terjadi bersamaan. Gema berbaring di sebelahku dengan menetralkan deru nafas setelahnya.
Gema Restupati ternyata juga tak memiliki catatan buruk, perihal memberi afeksi yang kelewat nikmat.
Cairan pada tubuh telah dibersihkan, Gema merangkumku dalam rengkuhan.
“Ai mau nanya sesuatu deh.”
“Apa bi? tanya apa?”
“Kamu ada kepikiran buat nikah gak sih?.”
“Kenapa nanya gitu, kamu emang gak ada rencana buat nikah gitu.”
“Hah, ya ada ai, apalagi ibuk tuh sebenernya udah nanyain terus.” Ungkapnya hati-hati.
“Seriusan bi? kenapa kamu gak bilang sama aku” Gema mengangguk.
“Aku pengen bicarain ini juga sebenarnya sama kamu, jadinya ngambil cuti. Aku takut nikah itu gak ada dalam rencana kamu ai. Kamu tuh selalu bilang kalau hidup berumah tangga itu susah, jadi aku ragu. Tapi kali ini beraniin buat nanya ke kamu. Aku gak masalah kalau kamu emang maunya nyaman kaya gini aja, aku bisalah ngomong ke ibuk.”
Aku cubit perutnya, karena kesal dengan ucapannya. Dia menahan sakit dan mengernyit heran.
“Bi, bukan karena itu trus aku gak mau nikah. Aku juga gak mau egois, nikah bagaimanapun harus ada dalam rencanaku bi.”
“Ai kamu serius, tau gitu aku lamar kamu sekalian aja.”
“Enak aja, persiapan dulu lah bi akunya.”
“Kalo gitu pas aku pulang besok kamu harus siap.” Aku tersenyum sumringah melihat antusiasnya dia.
Gema Restupati benar-benar tak punya celah. Dia dengan segala perangainya mampu membuatku jatuh berkali-kali pada dirinya.
makaricks, 2022 🌷