Haidar, Bara dan Nathaniel.
Malam tahun baru biasanya banyak diisi dengan berbagai kegiatan seru dan berkumpul bersama keluarga atau bahkan orang tersayang, tapi di rumah Bimantara hal ini jarang terjadi. Biasanya dikarenakan papa dan abang yang disibukkan dengan pekerjaannya.
Namun, bukan berarti mereka melewati momen pergantian tahun dengan begitu saja tanpa melakukan apapun. Mereka hanya menunda, dan akan melakukan perayaan setelah kesibukan berakhir. Meskipun tanggal satu sudah terlewati beberapa hari atau bahkan minggu.
Dan tahun ini, mereka kembali harus menunda momen kebersamaan pergantian tahun kembali.
“Aa’ mau kemana?” Nathaniel menatap Bara yang sedang sibuk mengganti pakaiannya.
“Keluar, malem tahun baruan lah.” Jawab Bara sambil menyemprotkan parfum ke bajunya.
“Idih, sama bang Ardio? oh atau sama bang Haidar?! itu parfum banyak banget nyemprotnya. Aku ikut kalau gitu.”
“Dih, biasanya juga ga pernah mau diajakin.”
“Aa’ pasti mau pacaran sama bang Haidar kan? ga boleh berduaan kalo gitu!”
“Siapa yang mau pacaran? orang cuman barbequean, lagian sama Ardio juga. tumben banget sih, pengen banget ngikut.”
“Pokoknya aku ikut! tungguin awas aja ditinggal, aku laporin kakak.”
“Mau ikut yaudah ayo, cepetan sana. Aa’ tunggu di mobil, jangan lupa bilang sama papa.”
—
“Asyik ada Iel, seenggaknya gue kaga jadi nyamuk sendirian.” Kedatangan Bara dengan Nathaniel membuat Ardio senang. Setidaknya dirinya tidak harus melihat kebucinan dua temannya seperti biasa.
Ardio menyambut kedatangan Nathaniel dan Bara sambil mengupas kulit jagung, sedangkan Haidar yang sedang membuka sosis dari kulitnya, sedikit canggung dengan kehadiran Nathaniel. Begitu juga dengan Nathaniel, Haidar yang biasanya ia anggap hanya sebagai kakak kelasnya sekarang menjadi berbeda, sehingga tiba-tiba ada kecanggungan yang membentang diantara keduanya.
“Iel, lo bantuin gue sini dah.” Ardio meminta Nathaniel supaya membantunya, sekaligus memecah sedikit ketegangan yang terjadi.
Tapi belum sempat Nathaniel melangkah mendekati Ardio, Nathaniel melihat Bara yang melangkah dan ingin duduk di sebelah Haidar. Entah apa yang sedang dilakukannya, Nathaniel justru mendahului Bara dan memblokir tempat duduk tersebut.
“Aku bantuin bang Haidar aja deh, Aa’ aja sana yang bantuin bang Ardio.”
Bara sedikit kaget dengan tingkah aneh adiknya, tapi Bara pikir mungkin karena Nathaniel menginginkan sosis yang ada di depan Haidar. Kalau urusan makanan emang paling cepet itu anak. Bara nurut aja pada akhirnya.
“Dagingnya belum aku cuci sih, mungkin kamu mau cuci daging aja.” Haidar memberi Bara opsi lain.
“Aaaku, kamu.” Nathaniel bolak-balik memandang Bara dan Haidar. Dirinya baru pertama kali mendengar Haidar menggunakan sebutan itu. Dan terdengar begitu aneh sekaligus menggelitik telinganya. Sedangkan Ardio tertawa melihat hal tersebut.
“Biasa aja kali, baru denger ya lo.” Ardio yang sudah terbiasa, hanya bisa menertawakan Nathaniel yang merasa aneh.
“Sorry, gue aja deh yang nyuci, lo sama Iel deh terusin nih sosis.” Menghindari kecanggungan sekaligus tatapan aneh Nathaniel, Haidar segera pergi, memilih untuk mencuci daging yang kan mereka panggang nanti.
—-
Jam sepuluh malam Haidar baru mulai memanggang beberapa daging terlebih dahulu dan Ardio di bagian lain membakar jagung. Bara membawa dua magkok baru keluar dari dalam setelah meracik bumbu untuk saos yang kan dioleskan di atas jagung dan dagingnya.
“Nih, bantuin Ardio.” Satu mangkok bumbu disodorkan ke Nathaniel.
“Kok, ogah. Aku mau ngolesin daging aja.” Nathaniel langsung membawa mangkok tersebut mendekati Haidar yang sibuk menata daging di atas panggangan.
“Iel suka tingkat kematangan yang gimana?”
“Biasa aja.”
“Hah?”
“Maksudnya, biasa aja ngobrolnya. Kaya biasa bang”
“Oh, iya.” Enggak tau kenapa, berhadapan dengan Nathaniel kali ini lebih mendebarkan daripada ketika bertemu dengan papa Bara tempo hari.
“Toilet sebelah mana bang?”
“Masuk, lurus aja, terus sebelah kiri.”
Nathaniel pergi ke toilet dan Haidar bernafas lega, sejak tadi rasanya dirinya tidak bisa bernafas dengan sempurna. Berhadapan dengan Nathaniel di saat seperti ini tidak pernah haidar pikirkan, dan ternyata justru membuatnya lebih kelimpungan.
—
“Bar, sini deh cobain.” Haidar meminta Bara untuk mencicipi daging yang dipanggangnya.
Bara langsung mendekati Haidar dan membuka mulutnya, padahal daging tersebut masih panas.
“Sabar bego, masih panas.” Haidar protes sambil meniup-niup daging tersebut, supaya tidak terlalu panas. Setelah itu bahkan menggodanya seperti akan menyuapi seorang anak kecil, dengan gaya pesawat terbang.
“Yee, si anjing.” Mulut Bara protes sambil mengunyah. “Enak tapi, udah nih segini aja kematengannya. mau lagi dong.” Mulut Bara terbuka lagi, minta disuapi daging kembali.
“Yaelah, ini si Nathaniel kemana sih, sama aja kalo gini mah. Nyamuk juga gue ujung-ujungnya.” Ardio geleng-geleng dengan kelakuan kedua temannya.
“Lama banget lo.” Tidak kunjung diberi suapan oleh Haidar, Bara berinisiatif mengambil daging sendiri.
“Heh, itu gosong. Itu daging yang pertama sendiri tadi buat percobaan. Makanya sabar.” Tapi berujung dimarahi Haidar.
“Iel kemana sih, lama banget.” Sambil mengunyah Bara mempertanyakan keberadaan adiknya.
“Bilangnya ke toilet, gatau deh kenapa lama banget.—Saat menoleh kebelakang, ternyata Nathaniel sudah ada di belakang mereka— lah itu anaknya.”
“Heh, lama banget. Ngapain lo di toilet?” Bara tanya dengan curiga.
Nathaniel sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bara, dirinya malah hanya memandangi Bara dengan seksama. Selanjutnya yang terjadi adalah Nathaniel malah meneteskan air mata, dan tiba-tiba memeluk Bara sambil menangis.
“Heh, kenapa? lo ditanyain ngapain, malah nangis.”
Nathaniel melihat semuanya, malam ini Bara terlihat begitu bahagia. Senyumnya begitu berbeda, Nathaniel tidak pernah melihat Aa'nya tersenyum seperti itu selama ini.
Nathaniel juga tidak tahu kalau Haidar benar-benar begitu memperhatikan Bara, sampai dia liat dengan mata kepalanya sendiri malam ini.
Aa'nya yang selalu mengalah ketika dirumah, Aa'nya yang selalu mementingkan orang lain daripada dirinya ternyata juga butuh dinomer satukan.
Sekecil daging gosong, Haidar tidak membiarkan Bara memakannya. Sedangkan ketika dirumah, Aa'nya yang selalu memilih daging gosong dan memberikan yang matang sempurna kepada dirinya dan abangnya.
Nathaniel pikir itu karena Bara memang menyukai daging yang sedikit gosong, tapi hari ini Nathaniel tahu kenapa Bara selalu memilih daging yang sedikit gosong.
“Heh, bocah kenapa nangis.” Bara makin nangis, karena Nathaniel terus menangis dan memeluknya lebih erat.
Haidar dan Ardio pun juga bingung apa yang sedang terjadi, sehingga keduanya hanya diam.
“Lo kenapa? kesambet apa di kamar mandinya Haidar? udah nangisnya, jelek lo ah.” Bara menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi adiknya.
“Aa' maafin Iel ya, Aa' udah banyak ngalahnya sama Iel. Maaf kalau Iel suka egois.”
“Aa' habis ini bahagia ya, ga boleh sedih lagi, ga boleh ngalah terus sama iel.”
“Aa' bahagia ya.” Nathaniel kembali memeluk Bara dengan erat.
Tidak terasa Bara juga ikutan menetaskan air matanya. Memang benar dia sudah banyak mengalah, tapi Bara juga tidak mau marah atau memprotes, karena Bara tidak mau melihat kesenangan anggota keluarganya hilang meskipun itu sesuatu hal yang kecil.
Haidar yang tau bagaimana sulitnya Bara hidup sebagai anak tengah di keluarga Bimantara, bisa merasakan bagaimana adik, kakak tersebut saling mengungkap kasih sayangnya.
Air yang mengalir dari mata Bara, Haidar bantu hapus. “I love you” kalimat itu, Haidar sampaikan tanpa suara tapi Bara tau dari gerakan mulutnya.
“Kenapa sedih gini sih, anjing.” Ardio hampir ikut meneteskan air mata, karena tau bagaimana Bara tumbuh sebagai temannya dari kecil.
“Sorry. udah ah. Jelek banget nangis, tuh dagingnya udah mateng, makan sana.” Bara hapus sisa-sisa air mata milik Nathaniel yang hanya mengangguk.
“Aku mau jagungnya bang Ardio.” Nathaniel menghampiri jagung bakar yang ditinggalkan oleh Ardio demi melihat adik-kakak yang berpelukan sambil menangis. Entahlah gosong atau tidak. Ardio pun tersadar, dan langsung mengikuti langkah Nathaniel.
“Sorry, anaknya emang melow banget.”
“Ngapain minta maaf, kamu udah jadi Aa'nya dia versi paling terbaik. Makasih udah bertahan. Makasih udah jadi yang terbaik.”
“Ngomong apasih, kaga jelas lo.”
“Anjing, gue cium juga lo.”
“Silahkan kalo berani, kamu pikir Nathaniel bakal—belum menyelesaikan kalimatnya, Haidar sudah menyambar pipi Bara dengan kecupan singkat.
“Heh, heh bang Haidar, aku bisa liat ya.” Nathaniel menunjuk kedua netranya dengan kedua jarinya, lalu mengarahkannya ke Haidar. Memberikan isyarat bahwa Haidar tengah di bawah pengawasannya. Jadi jangan macam-macam.
Belum tau aja dia, pikir Haidar.