Haidar, Bara lagi ...


Dari semua bentuk doa, Bara meyakini bahwa doa dibalik nama Laksana adalah doa paling agung yang dikabulkan oleh Tuhan. Meskipun dirinya tidak pernah tahu arti dari Lak. sa. na sesungguhnya. Sebab pengetahuannya hanya sebatas nama adalah doa. Tapi Segala yang baik, nyata lekat pada si penyandang nama Laksana; Haidar Laksana.

Haidar Laksana yang tengah duduk manis dengan segelas kopi, menelisik isi dari televisi di depannya. berharap menemukan sesuatu untuk bisa menghibur waktu istirahatnya di hari ini, setelah di sibukkan dengan segala kesibukan proyek-proyek penelitian bersama profesornya sebelumnya dan jam kuliah yang cukup padat.

beberapa kali tombol pada benda pipih di genggamanya terlihat di tekannya. Berharap menemukan tontonan yang memanjakan matanya. Cukup lama, sampai pada Haidar lebih memilih tombol yang berfungsi untuk mematikan televisi tersebut. Tidak ada yang menarik baginya. Layar di depannya kembali menampilkan kegelapan.

Menghirup aroma pagi hari dengan memejamkan matanya, Haidar merasakan sesuatu ikut keluar dari tubuhnya bersamaan dengan nafas yang dibuangnya secara perlahan. Tubuhnya terasa sedikit lebih ringan.

Tarikan nafas Haidar membuat Bara menarik ujung-ujung bibirnya. Haidar yang duduk dengan tenang adalah sesuatu yang jarang dijumpainya, terhitung tiga bulan sudah.

“Barrrrr…..” Dengan suara yang masih terdengar serak, efek baru kembali dari tidurnya. Haidar hanya menggerakkan kepalanya dan menemukan yang dipanggil ternyata sudah berdiri di dekatnya.

“Apa?” Bara masih harus membiasakan telinganya mendengar suara Haidar dengan suara paraunya yang terdengar lebih seksi, meski sudah berkali-kali mendengarnya.

“Duduk sini deh.” Tangan Haidar memberikan isyarat untuk duduk di sofa bersamanya.

“Ogah ah.”

“Please deh, jangan bikin mood gue turun lagi.”

“Gue bilang nggak mau. Gue maunya di sini. Dipangku.” Bara melangkahkan kakinya untuk duduk diatas pangkuan Haidar. Sedangkan Haidar hanya tersenyum dan tersipu dengan tingkah pacarnya. Meskipun begitu tangan Haidar bantu membenarkan posisi duduk Bara di pangkuannya supaya terlihat lebih nyaman.

“Udah lama gue nggak ngeliatin lo kaya gini, ternyata sekangen itu gue. Padahal masih satu rumah, tiap hari juga masih ketemu, tapi kenapa gue sekangen itu ya?” Netra Haidar menyelam lebih jauh ke paras manis di depannya, tangannya turut mengacak rambut Bara.

“Udah biasa gue mah.” Meski kadang harus merasa kecewa, Bara cukup memaklumi tugas Haidar sebagai mahasiswa beasiswa kampus. “Hari ini lo mau ngapain aja?”

Haidar menyandarkan kepalanya pada sofa. “Ngapain ya enaknya? kalo tiduran doang kayaknya bakalan nggak enak deh di badan. Atau kamu mau pergi kemana nggak?”

Bara hanya menggeleng.

“Nggak tau deh, ngeliatin kamu kaya gini aja boleh nggak sih?”

“Kebiasaan, ngaco mulu tuh mulut. Sebenarnya aku ada sesuatu yang pengen kamu lakuin Mas.”

“Apaan? kamu kalo udah manggil Mas pasti yang aneh-aneh nggak sih.” Curiga Haidar. Sebab Bara dengan kebiasaan memanggil Mas adalah ketika maunya sudah diluar nalar bagi Haidar.

“Kali ini nggak. Jadi lebih baik lo mandi dulu sana.” Bara bergegas untuk bisa turun dari pangkuan Haidar. Tapi sayangnya, tangan Haidar terlalu erat memeluk pinggangnya. Keduanya saling bertatapan, Haidar dengan tatapan curiganya, sedang Bara dengan tatapan yang lebih terlihat seperti orang dengan otak yang memiliki seribu cara untuk membuat Haidar hidup tanpa ketenangan hari ini.

“Oke. Tapi ada syaratnya. Satu, lo harus panggil gue Mas hari ini full. Dan Nggak ada kata-kata kasar. Dua, sebelum gue mandi gue butuh asupan. Jadi ciuman dulu kita.”

“Iya Mas.” Bara membasahi bibir bagian bawahnya dengan lidahnya. Tangannya menangkup wajah Haidar, dan menuruti persyaratan pacarannya itu tanpa banyak protes dan sok jual mahal seperti biasanya.

Haidar nggak pernah menyangka kalau energinya yang sudah terkuras selama tiga bulan, kembali dengan mudah hanya dalam satu sesi lumatan bersama Bara.

“Kurang?” Mendengar pertanyaan seperti itu, Haidar pikir tidak ada yang salah untuk bersikap tamak. Maka anggukan adalah jawaban yang diberikan dengan penuh kesadaran. Dan sesi berikutnya Bara membiarkan Haidar untuk mendominasi. Menjerat baik lidah maupun salivanya dengan lembut.

“Ikut aku mandi yuk.”

“Aku udah mandi ya. Dah ah sana mandi dulu.” Bara turun dari pangkuan Haidar.

“Yakin?”

“Mas….”

Sepertinya Haidar tidak diijinkan untuk menjadi orang yang lebih tamak kali ini. Jadi yang bisa dilakukan adalah segera pergi mandi dan menuruti apa yang akan diminta Bara nanti. —

“Mas, ke kamar yuk.” Setelah menyantap sarapan serta makan siang yang dirangkap menjadi satu sesi. Bara bersuara.

“Hah? kamar siapa?”

“Kamar kamu.”

“Kamu lagi pengen ya?”

Bara hanya tersenyum dan menarik Haidar untuk masuk ke kamar milik Haidar. Yang ditarik menuruti. Haidar pikir, Bara mungkin akan menjadikannya sebagai salah satu menu makanannya juga. Jadi dia manut. Haidar akan mengaminkan jika hari ini Bara ingin mendominasinya. Memberikan hak penuh untuk menginvasi miliknya.

Bara mendorong daksa Haidar, hingga yang terdorong berbenturan dengan kasur berukuran seratus enam puluh kali dua ratus centi. Beruntung dorongan tersebut tidak terlalu kuat sehingga Haidar masih bisa menyeimbangkan tubuhnya, dan berakhir terduduk di atas kasurnya. Dan memilih diam, menggantungkan apa yang akan terjadi berikutnya kepada si manis. Alur seperti apa yang diinginkan akan Haidar izinkan. Yang bisa dirinya lakukan hanya menyinggungkan senyuman.

Kaos kebesaran berwarna putih terangkat, lepas dari pemiliknya. Pelakunya adalah kedua tangan Bara, yang tidak menginginkan kaos itu menutupi tubuh Haidar untuk saat ini.

Dada bidang terpajang, aliran darah bergerak begitu cepat ketika jari-jemari Bara menelusuri tiap lekukan yang ada. Menelusuri bagian-bagian jejak guratan. Bukan, bukan guratan artistik layaknya tato, tapi bekas luka yang telah beberapa tahun mengering.

“Mas, aku mau denger cerita tiap luka ini. Boleh?”

Aliran darah yang meledak sebelumnya, berubah normal.

Pertanyaan itu sudah sejak lama Bara ingin sampaikan. Tapi baru kali ini dirinya punya keberanian untuk menyuarakan. Keberanian untuk mendengar. Karena Bara tahu tidak ada cerita indah dibalik luka itu.

Pelupuk mata hampir saja menggenang, mengingat bagaimana goresan itu sampai pada tubuhnya. Haidar memang tidak melupakan satu detik pun ketika luka itu mulai menghampirinya hingga mengering. Bagi Bara, mungkin luka itu tercipta dengan kisah tragis. Tapi bagi Haidar, bekas luka itu adalah sesuatu yang membuatnya menjadi manusia yang bersyukur.

“Kamu mau denger yang mana dulu sayang?”

Bekas luka yang berada di bagian bawah tulang rusuk bagian kiri yang disentuh Bara. Seperti tergores benda tajam, dengan bekas empat jahitan terlihat disana.

Bara berbaring dengan menempatkan tumpuan kepalanya pada paha Haidar, adalah posisi ternyaman yang dipilih. Sementara haidar duduk dengan satu kaki bebas terjuntai dan bebas bergerak tanpa beban. Tidak seperti kaki satunya yang membawa beban.

“Kamu tahu nggak? kenapa ada empat jahitan disini?” Bara menggeleng.

“Hari itu aku hampir nyerah.” Ada jeda setelahnya. Haidar menghirup oksigen cukup lama. “Semua ego papa rasanya udah aku penuhi, tapi murka nya emang nggak bisa berhenti. Hari itu pegangan papa pecahan kaca, dan saat itu aku bilang untuk papa bunuh aku aja.

Aku sendiri yang ngarahin pecahan kaca itu ke sini. Dan di hari itu aku pertama kali nggak ngerasain sakit. bahkan perih aja nggak bisa rasain. Disitu aku senyum, aku ngerasain bahagia yang benar-benar meledak. Bahkan setelah papa tenang, aku nggak percaya. Makanya, pecahan kacanya aku pake lagi buat ….

Kamu tahu lah. Yang buat aku seneng adalah, artinya aku bisa nemenin papa tanpa harus ngerasain sakit lagi. Dan aku nggak boleh nyerah mulai hari itu.”

Bara kembali menyapukan tangannya pada bekas luka yang baru saja dirinya ketahui bagaimana bisa terukir di sana. Perasaan nyeri muncul menyesak dadanya. Entah sakit seperti apa yang Haidar rasakan sampai-sampai rasa sakit itu seolah menjadi kabur.

“Mungkin aja kalo ga aku gores lagi lukanya, aku nggak akan dapet sampe empat jahitan di sini.”

“Tapi kalau aku cubit sekarang, kamu bisa ngerasain sakit nggak?”

“Coba aja.”

Yang mendekati bekas luka bukan jari dengan cubitan. Tapi bibir dengan kecupan.

“Sejak kapan nyubit kaya gitu?”

“Dar, kayanya aku cuma bisa denger yang satu ini aja kali ini. Aku ga sanggup kalo harus denger yang lain juga hari ini. Dadaku tiba-tiba sakit. Maaf ya, aku tahu kamu nggak ngerasa sedih atau gimana. Tapi aku nggak bisa. Ini terlalu sakit buat denger orang yang aku sayang harus melalui hal kaya gitu.”

Cinta dan kasih sayang seorang ayah lewat luka di hidupnya, bagi Haidar tidak jauh beda dengan cinta dan kasih sayang dalam bentuk lainnya. Haidar meyakini bahwa saat itu papanya hanya kehilangan ingatan bagaimana mencintai anaknya secara semestinya.

“Nggak papa sayang. Udah ya sedihnya, aku aja sambil senyum lho ceritanya.”

“Hmm”

“Aku kira tadi kamu lagi pengen itu.”

“Itu apa? apaan?”

“Yaudah, aku aja ya hari ini.”

“Apanya woy?”

Belum mendapakan kejelasan atas pertanyaannya. Bara sudah berubah pindah lokasi, akibat tangan Haidar yang begitu cekatan. Keduanya sudah saling berhadapan, Haidar menumpu tubuhnya hanya dengan satu tangan. Tangan satunya mmengunci kepala Bara.

Mempertemukan kembali indra perasa mereka tanpa tergesa. Pelan dan lembut, namun mampu membuat nafsu keduanya meninggi. Apa yang masih menutupi raga masing-masing disingkarkan. Mempertemukan kulit dengan kulit, menautkan jemari dengan jemari. Bersahutan menggaungkan nada penuh kama. Memburu putih luruh menyatu.


haidar,bara oleh anotherapi