Heartbreak
Berkali-kali Haidar menekan tombol 'calling' namun tidak ada satupun yang berhasil mendapatkan respon.
Nafasnya sudah tidak beraturan akibat berusaha menemukan si manis yang tiba-tiba berubah sikap dan menghilang.
Haidar mengacak rambutnya dengan frustasi sambil terus berjalan gusar berharap bisa dengan cepat menemukan keberadaan Bara.
Kata 'udahan' yang Bara sampaikan melalui kolom pesan, turut berdengung mendominasi kebisingan kepala Haidar saat ini. Karenanya Haidar sama sekali tidak bisa berpikir jernih, apa yang salah dari dirinya belum sempat dia temukan.
Langkahnya tiba-tiba berhenti saat panggilan kesekian kalinya ternyata mendapat respon oleh Bara yang entah saat ini sedang berada dimana. Betulan sudah pulang meninggalkan bandara sesuai apa yang dia bilang atau justru berbohong dan bersembunyi dari pandangan Haidar.
“Bar, kamu di mana?” Haidar berusaha selembut dan setenang mungkin agar yang di seberang telepon mau berkompromi. Tapi tidak ada jawaban sama sekali yang Haidar dengar, bahkan ketika pertanyaan sudah diulanginya sebanyak tiga kali.
“Oke, kalau kamu nggak mau kasih tahu kamu di mana,” Haidar masih berusaha menahan sikap supaya tidak jadi makin keruh. “Tolong kasih tau ya, aku salah apa kali ini, biar aku ngerti harus gimana.”
Setidaknya Haidar mau mendengar bahwa yang di seberang masih mau berbicara kepadanya. Bukan hanya diam dan mengabaikannya. Sebab diam dan abainya Bara adalah lemah yang sulit Haidar bisa sanggup hadapi. Dan kali ini harapannya dikabulkan, tapi dengan suara isak tangis yang ditahan dari seberang, bukan suara jawaban atas pertanyaan.
“Kamu nangis Bar?” Haidar tanya dengan penuh hati-hati.
Kaki yang tadinya berdiri tegak seketika lemas, seakan sudah tak mampu menopang diri. Apa yang Haidar dengar benar-benar buat dirinya merasakan sesak luar biasa ketika lagi-lagi hanya suara isak tangis yang didengar.
“Hey, jangan nangis,” Meskipun begitu, Haidar biarkan meski tak sanggup mendengar. Haidar sadar Bara mungkin perlu melepas apa yang menyesakki dadanya. Cukup lama, hingga yang terjadi sama sekali tak ada kata yang saling terdengar dari keduanya.
“Udah ya, jangan nangis. I'm sorry.” Meskipun belum paham apa kesalahannya, Haidar berusaha untuk menjadi selayaknya orang yang harus meminta maaf. “Aku nggak akan kemana-mana, ayo ngobrol kalau kamu udah siap.”
“Nggak Haidar.” Jawaban dari seberang telepon terdengar sedikit bergetar.“Berhenti di sini, dan silahkan pergi.”
“Aku bilang stop bilang gitu Bara!.” Apa yang Haidar tahan sejak tadi sepertinya sudah muak ingin meledak. “Segampang itukah kamu ngomong kaya gitu?” Tak habis pikir bagaimana Bara beberapa kali mengucapkannya semudah itu. Apa yang sudah mereka lewati selama ini tampaknya sama sekali tidak ada yang memiliki arti bagi Bara.
“Apa sulitnya Haidar, justru akan lebih mudah semuanya kan? daripada bikin capek doang.”
“Sekarang, kamu mau gimana?”
“Stop di sini.”
“Oke, tapi aku tanya sekali lagi apa alasannya Bar?”
“Udah gak ada lagi yang bisa dilanjut Dar, percuma. Dari awal hubungan ini gak ada gunanya.”
“Bukan jawaban itu yang gue mau Bara!, lo ngerti gak sih apa yang gue tanyain?”
Tiba-tiba hening. Haidar tak tahu apa yang Bara lakukan. Ucapannya barusan cukup membuat dirinya sendiri terkejut.
Sudah cukup rasanya Haidar dibuat bertanya-tanya, dan harus kalah dengan keras kepalanya Bara.
Terdengar tawa kecil dari seberang serta nafas yang turut tak wajar.
“Ngomong Bara, ngomong!.” Haidar terus berusaha mendesak Bara.
“Selamat buat beasiswa Belanda.”
Akhirnya Haidar berhenti mengira-ngira letak tingkah salahnya. Dirinya bungkam seketika, tidak ada satu katapun yang menyambut ucapan selamat dari Bara. Mulut dan lidahnya terasa beku.
“Apa lagi yang mau lo denger? apa lagi Haidar? kenapa sekarang lo diem? Hah?”
“Bar, aku bisa jelasin.”
“Tapi gue gak butuh Haidar.”
“Bar, ini gak sep-”
“Stop this fucking shit Haidar, gue bilang gue gak butuh.”
Ketika suara panggilan ‘Haidar’ dari si manis yang biasa terdengar begitu candu sehingga ingin dirinya dengar berulang-ulang, kini justru berubah tak ingin Haidar dengar berulang kali. Yang biasanya menghasilkan rasa menggelitik, kini menghasilkan rasa sesak.
“Aku harus apa Bara?”
“Pergi Haidar, selesai di sini. Karena semua rencana lo gak akan pernah ada gue di dalamnya.”
“Enggak Bar,” Haidar menggelengkan kepalanya seakan yang di seberang telepon bisa melihatnya. “Kamu salah.”
“Pergi Haidar,” Suara Bara kali ini melemah, menyiratkan bahwa Bara sudah lelah dengan semua yang terjadi. Yang ada dalam pikirnya saat ini hanyalah ingin mengakhiri semuanya. Dan Haidar sudah kehilangan kata-kata untuk menyakinkan Bara.
Keduanya ada dalam kabut emosi yang sama, sehingga perdebatan lewat sambungan telepon berakhir dengan luka yang sama terasa perih. Sebab, bukan hanya sambungan telepon yang berakhir tapi juga hubungan keduanya yang dipaksakan untuk berakhir.