in the office
Kanaya dibuat gusar atasannya itu, karena tidak segera menurutinya untuk segera ke ruangannya.
Telepon kantor galen sengaja gunakan untuk terus menelpon Kanaya. Sengaja agar keinginannya segera terealisasi. Membuat Kanaya berjengit kesal.
“Kenapa Nay?” teman sebelah Naya dibuat kebingungan dengan tingkah Naya dan suara telepon yang terus berdering di mejanya.
“Eeh... ini gue disuruh ke ruangan pak Galen, kayaknya kerjaan gue ada yang nggak beres deh.” bohongnya kepada salah satu rekan kerjanya, yang kebetulan meja kerjanya paling dekat dengan dirinya itu.
“Ya udah nggak usah takut, mending lo cepet kesana deh, bentar lagi jam makan siang.”
Kanaya melihat jam yang melingkar apik pada pergelangan tangannya, benar saja sepuluh menit lagi jam makan siang kantor.
“Iya juga, ya udah nanti kalo gue belum keluar lo makan duluan aja ya.” Yang kemudian diberi anggukan oleh temannya sebagai jawaban.
Sebelum masuk ke dalam ruangan Galen, Kanaya sedikit membenahi kemejanya agar tampak lebih rapi, layaknya baru tiba di kantor pada pagi hari. Bibirnya ia olesi kembali dengan liptint yang sudah sedikit memudar.
Kanaya gugup, jantungnya berdetak tak karuan. Gugupnya sama seperti saat dirinya tengah duduk mengantri menunggu giliran ketika wawancara kerja pertamanya. Hembusan nafas berat ia keluarkan setelah itu, ia gunakan sebagai tanda bahwa dirinya telah siap dengan apa yg terjadi setelahnya.
Tanpa disadarinya rasanya Kanaya sudah jatuh terperosok oleh jurang yang seakan Galen telah ciptakan. Jika saja ia tidak jatuh pada pesonanya pada malam itu, maka akan Kanaya tolak mentah-mentah permintaannya, tak peduli jika ia harus didepak dari kantor nantinya.
Namun nyatanya Kanaya iyakan, berkat jerat pesona sang lanang pada malam sebelumnya.
Diketuknya pintu milik atasanya itu, tak ada jawaban, namun setelahnya pintu dibuka oleh pemiliknya, muncul dari balik pintu sebagai jawaban. Kanaya segera masuk dengan muka was-was.
Galen tutup pintu ruangannya, kemudian ia merengkuh pinggang Kanaya, dituntunnya tubuh itu bersandar pada pintu, satu tangannya bertumpu pada pintu. Ia telusuri garis wajah ayu Kanaya, lalu netranya jatuh pada bibir ranum miliknya.
“Nay, can i kiss you now?” tanya Galen pada juwita di hadapannya, sambil mengusap lembut bibir ranumnya yang sedikit licin akibat liptint yang baru saja dibubuhkan oleh sang pemilik.
Haruskah ia perlu menanyakan itu, pikir Kanaya. Untuk apa Kanaya datang kalau masih harus bertanya. Kanaya seolah dibuat bingung dengan orang didepannya yang saat ini mengungkungnya di depan pintu kerjanya.
Bukankah jika ia mendatanginya berarti Kanaya mengiyakan.
Pandangan keduanya kemudian seolah beradu, Kanaya dengan tatapan bingung sedangkan Galen dengan tatapan lesu dengan mata sayu. Tampaknya benar bahwa Galen butuh distraksi.
Mata dengan lingkaran hitamnya menunjukkan bahwa ia telah bekerja hingga larut malam, bahkan tidak tidur untuk barang satu atau dua hari. Dua minggu sudah ia menjabat sebagai kepala divisi pemasaran di kantor ini, banyak hal yang ternyata ia harus bereskan dari apa kinerja kepala divisi sebelumnya yang cukup berantakan, hingga menyita banyak sekali waktunya.
Dan dengan melihat netra Galen yang penuh pinta, serta air muka yang begitu lesu, maka Kanaya cepat beri jawaban dengan anggukan.
Lalu dengan gerakan pelan, Galen hapus jarak di antara keduanya—yang sebenarnya hampir sudah tidak ada—ia jatuhkan bibirnya pada bibir Kanaya secara singkat.
Hanya sebuah kecupan singkat.
Lalu Galen pandangi lagi lamat-lamat netra Kanaya, seolah meminta izin untuk melakukan lebih. Padahal Kanaya telah menyiapkan diri lebih-lebih dari itu. Kanaya sudah mengizinkan sedari awal.
Kanaya seolah menemukan diri lain pada diri Galen, caranya yang memintanya dengan segala kelembutan, mampu membuatnya layaknya tuan putri.
Matanya yang begitu dalam serta lembut kala menatapnya seolah penuh akan kata damba, layaknya anak anjing yang butuh afeksi majikannya.
Dengan jas yang sudah tidak melekat pada tubuhnya, serta lengan kemeja yang digulung nya hingga siku, membuatnya sedikit tampak berantakan.
Namun anehnya justru menambah kesan semakin tampan saja. Aneh memang.
[alias makin berantakan makin cakep—author]
Maka dengan tangan cekatan, Kanaya tarik terlebih dahulu rahang sang lanang untuk kembali menyatukan bilah bibir yang sudah saling mendamba.
Galen biarkan sang puan mendominasi lumatan demi lumatan, membiarkan Kanaya menginvasi rongga mulutnya terlebih dahulu. Hingga dirasa pasokan oksigen semakin menipis dari keduanya.
Benang saliva membentang diantara keduanya kala pagutan di lepas, dahi yang menempel serta mata yang saling berbicara, keduanya kemudian tersenyum.
Kini Galen yang menguasai ritme kala pagutan kembali terjalin, rongga mulut sang juwita tak ada yang luput dari absensi lidahnya.
Rakus, dan semakin penuh tuntut.
Tautan terjadi begitu lama dan semakin menuntut, Kanaya dibuat kewalahan mengimbangi permainan.
Tekanan di tengkuk sang juwita Galen perdalam, bibir ranum nan manis dia lumat seakan begitu penuh candu. Lenguhan kecil yang turut muncul dari bibir Kanaya menggelitik rungu sang tuan hingga membuat tensinya semakin memanas. Membuatnya menginginkan lagi, lagi dan lagi.
Jika saja bisa Galen lakukan untuk seharian penuh, maka akan ia lakukan. Tapi sadar bahwa sang juwita bisa saja mati karena habisnya pasokan oksigen yang dimilikinya.
Melodi yang menguar akibat pertautan kedua bibir mampu mengaburkan debar jantung keduanya yang saling bersahutan semakin keras.
Pagutan dilepas, Galen beralih turun ke leher jenjang milik Kanaya, kecupan demi kecupan di bubuhkan Galen. Meski tanpa meninggalkan jejak kepemilikan sang puan menggeram nikmat.
Kabut birahi semakin tebal memenuhi kepala Kanaya. Dengan kedua tangannya ia tuntun kepala sang tuan agar turun menjamah dua gundukan sintal miliknya, yang menegang meski masih berbalut kemeja putihnya.
Maka dengan senang hati jika sang juwita yang meminta, Galen turuti dengan kancing kemeja yang sudah tuntas ia lepaskan. Serta bra hitam yang sebelumnya menutupi, luruh terjatuh juga karena kelihaian tangannya.
Puting yang menegang dengan warna merah jambu yang menggoda, Galen sentuh halus dengan kedua tangannya. Jarinya kemudian mempermainkannya dengan gerakan memutar hingga membuat Kanaya membusungkan dadanya.
Tak cukup dengan itu Galen raup salah satunya dengan mulutnya. Sesapan dan jilatan Galen berikan, serta sesekali gigitan hingga Kanaya mendongak atas kenikmatan yang membuat kesadarannya seolah hilang, Kanaya benar-benar dibuat mabuk oleh afeksi manis nan gila yang Galen berikan.
Salah satu tangan yang menganggur milik Galen, Kanaya bawa untuk menyapa miliknya yang sudah basah dibawah sana. Maka lagi-lagi Galen turuti.
Dibawanya terlebih dulu Kanaya pada sofa miliknya, dibaringkan dan di kungkungnya. Kini atensinya hanya menuju ke arah liang surgawi milik sang juwita yang sudah ia lepas celana penutupnya.
Ia jilati dengan sensual klitoris milik Kanaya yang sudah sangat basah. Sesekali ditekannya. Hingga menimbulkan suara desahan yang terus keluar dari bibir Kanaya, yang mengisi ruangan yang awalnya berselimut senyap.
“Tidak akan saya masukkan Kanaya.” Galen memberikan pernyataannya pada Kanaya, saat jemarinya tengah memainkan pusat kewanitaan itu.
Sebelum Kanaya bertanya, Galen sudah melanjutkan perkataannya. “Saya tidak akan tega, kamu masih harus bekerja untuk hari ini Kan.”
Masih harus memikirkan Kanaya dengan pekerjaannya, padahal Galen sejatinya sudah tidak bisa menahan lagi, beruntung sedetik kesadarannya mampu mengingatkan dirinya akan hal itu.
Jika itu maunya maka Kanaya hanya akan mengikuti alurnya, yang jelas ada yang harus segera diselesaikan lewat sebuah jamahan.
Oleh karena itu, jari-jarinya terus menggelitik liang vagina yang sudah membengkak. Gesekan serta cubitan pada klitoris Kanaya juga Galen berikan hingga membuatnya menggelinjang tak karuan.
Kedua paha milik sang juwita diremas, lalu jilatan serta sesapan untuk cairan yang mengalir dari kewanitaan Kanaya, Galen lakukan dengan penuh kelembutan. Hingga saat lidah Galen dibuat memutar di lubang kewanitaan itu, bola mata serta kepala sang puan berputar.
Nafsu kian memburu kala luang kewanitaan Kanaya yang membengkak hampir mencapai pelepasan. Jemari Kanaya bertumpu pada surai hitam legam milik Galen tatkala gesekan terus diberikan dengan begitu piawai.
Sampai pada pelepasannya Kanaya berusaha mengatur nafasnya, sementara Galen dengan rakus menghisap cairan putih itu hingga tak bersisa.
Kanaya masih berusaha menetralkan kembali deru nafasnya, sedangkan Galen membersihkan sisa cairan pada paha milik sang juwita.
“Terima Kasih Kanaya.” Ucap Galen dengan mencuri kecupan di bibir Kanaya setelahnya. “Saya sudah membelikan kamu makan siang, nanti kamu ambil ya.”
Hanya anggukan yang Kanaya lakukan. Kemudian memunguti helaian pakaiannya yang tercecer di lantai ruangan milik atasannya itu.
“Saya pergi ke toilet duluan ya.” Galen pergi meninggalkan Kanaya menuju toilet ruangannya, untuk menuntaskan getaran hebat miliknya yang belum terselesaikan. Akan ia tuntaskan seorang diri, melihat jam istirahat kantor telat habis. Jadi Galen biarkan Kanaya meninggalkan ruangannya.
—makaricks, 2022 🌷