J;Joana

Justin segera meninggalkan cafe setelah tahu bahwa perempuan bernama Joana yang sejak tadi di tunggu kehadirannya ternyata tidak akan datang bekerja hari ini.

Beberapa pesan yang di kirimkan Justin pada Joana juga tak kunjung mendapat balasan. Justin sedikit khawatir dengan apa yang terjadi pada Joana.

Sebenarnya hubungan seperti apa yang terjadi antara Justin dan Joana?.

Justin kini sudah berada di dalam sebuah apartemen dengan nuansa serba hitam—dirinya sudah begitu akrab dengan apartemen ini.

Kode unit apartemen bahkan tidak menjadi masalah baginya, alias Justin sudah hafal betul dengan kode itu. Sehingga dengan mudah memasuki apartemen ini.

Keadaan sepi seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Dibukanya satu-satunya kamar yang ada di apartemen itu. Justin bernafas lega kala melihat sosok pemilik apartemen tersebut tengah tertidur pulas. Tubuh itu hampir seluruhnya terbalut dengan selimut hanya menyisakan ujung kepalanya yang masih terlihat.

Justin mendekat dan memandangi wajah itu, perempuan yang sedang tertidur pulas itu adalah Joana—Justin sedang berada di apertemen milik Joana.

“Jo” Justin berusaha membangunkan Joana. Di usapnya lembut pipi Joana. Justin melihat ada luka memar dan darah yang mengering di sudut bibir Joana dari awal memandangnya.

“Jo bangun, Joana.” Joana hanya berdeham tanpa membuka matanya. “Joana, bangun dulu,” Joana mulai jengah dan mulai membuka matanya.

“Ken-akhh” Joana meringis karena merasakan nyeri pada bagian bibirnya. “Kenapa sih, Masih ngantuk, lo ngapain ke sini?” Dilihatnya Justin yang berjongkok di samping kasur miliknya sehingga kepala keduanya sejajar.

“Bangun dulu Jo, itu kenapa?” Justin menunjuk bibir Joana yang terluka. “Aku tunggu di luar, cepet ke kamar mandi dulu sana.” Joana malah menutup matanya kembali, mengabaikan perkataan Justin.

“Jo”

“Iya ih ini bangun, udah sana keluar.” Mendengar suara Justin yang sudah berbeda, sedikit kesal. Joana langsung membawa tubuhnya berdiri lalu masuk ke kamar mandi.

Joana keluar dari kamarnya dengan kaos putih polosnya.

“Jo, sini.” Justin menyuruh Joana untuk duduk di sofa bersamanya. Di sampingnya sudah ada kotak P3K dan ember berisi air hangat. Joana menurut.

“Lo semalam turun lagi ya Jo? truus itu kenapa pipi lo bisa memar? emang pulang jam berapa sih jam segini masih molor?” Joana hanya mendengus mendengar rentetan pertanyaan Justin.

“Satu-satu dong lo kalo nanya” protes Joana. “Tadi aja lo bangunin gue pakek aku-kamu, sekarang udah lo-gue lagi”

“Protes mulu lo, sini gue kompres air anget pipi lo” Diambilnya handuk kecil yang sudah terendam di dalam air hangat, di perasnya lalu di tempelkan di pipi Joana. “Sekarang jawab pertanyaan gue tadi.”

“Yang mana dulu, gue udah lupa lo nanya panjang banget.”

“Semalem turun balapan lagi?” Justin mengulangi salah satu pertanyaannya.

“Iya”

“Trus ini lo kenapa bisa kayak gini?”

“Jevan berantem sama anak yang ngelawan gue karena mainnya curang, gue coba nengahin aja, malah nggak sengaja kena bogem sama itu bocah”

“Pulang jam berapa?”

“Lupa gak liat jam, langsung tidur gue. Udah kan mau nanya apalagi lo?”

Justin hanya diam melanjutkan kegiatan mengompres pipi dan sudut bibir Joana lalu mengolesinya dengan sebuah krim. Joana sesekali meringis nyeri.

“Lo tuh dibilang jangan balapan terus Jo, kenapa sih susah amat.” Justin kembali bersuara setelah menyelesaikan kegiatannya.

“Emang lo siapa ngelarang gue balapan, kalo lo pacar gue baru gue nurut” balas Joana.

“Mulai lagi ya lo”

“Kenapa? Gue udah kayak cewek murahan ngajakin lo pacaran mulu dah?”

“Apaan sih Jo, siapa yang bilang lo murahan. Gue nggak pernah nganggep lo kayak gitu.”

Berapa kali Joana sudah mengutarakan perasaannya pada Justin dan menginginkan kejelasan hubungan mereka? Joana sendiri bahkan sudah lupa, mungkin sudah 1001 kali. Kenapa harus berkali-kali? dan kenapa Justin seolah tak mengerti?.

Apakah Justin malu dengan Joana yang jauh dari kata anggun?. Itu yang setidaknya Joana pikirkan. Karena Justin sendiri bahkan mengatakan kalau dirinya juga memiliki perasaan yang sama.

Kalau rasanya sama, lalu kenapa Justin tak mau mengikat rasa. Ah, rasanya Joana di buat bingung dengan sikap Justin padanya.

Lagian kenapa gue bisa suka sama lo sih?. Joana menghembuskan nafas frustasi.

Joana sendiri lupa sejak kapan perasaan itu muncul. Hampir 3 tahun sudah ia mengenal Justin. —Kita lewati dulu saja bagaimana awal pertemuan mereka.— Tapi dua tahun terakhir lah Joana seakan sadar dengan rasa itu.

Joana memang tipe yang sangat blak-blakan, sehingga ia tak menunggu lama untuk mengutarakannya pada Justin. Joana bahkan tidak akan perduli jika Justin menolaknya.

“Jo, aku bohong kalo aku bilang nggak cinta sama kamu, tapi kayak gini aja ya. Aku nggak akan menjadikan kamu berada dalam genggamanku, tapi cukup disisiku.

Aku nggak mau kamu terpaku sama aku. silahkan, silahkan buka hati kamu buat siapapun. Selagi cinta itu masih buat aku, tolong tetap disisiku. Tapi kalau nanti sudah berubah, bilang sama aku ya Jo.”

Setidaknya itu yang masih Joana ingat. Kalimat itu yang Joana dengar dari mulut Justin hari itu.

Dan sampai hari ini Joana masih dengan perasaan yang sama. Tidak berubah sama sekali.

Ting

Suara notifikasi muncul dari Handphone milik Justin.

“Siapa?” tanya Joana pada Justin yang langsung berdiri meninggalkannya di sofa.

“Bentar, tadi go-food” jawab Justin yang sudah dekat dengan pintu.

“Nih makan, belum makan kan?” Makanan itu di letakkan di depan Joana.

“Tumben banget, ini jam makan siang kenapa nggak makan sama bang Dani?”

“Yaudah gue balik nih ya?”

“Iya, iya bercanda doang gue”

Keduanya kemudian sibuk menjejalkan makanan ke mulut masing-masing. Justin dengan nasi padangnya, dan Joana dengan nasi ayam gepreknya.

Bahkan mereka berdua; Justin dan Joana sendiri tidak tahu hubungan apa yang sedang mereka jalani.

Selama ini tak banyak yang tahu kedekatan antara Justin dan Joana—merasa tak perlu memberi tahu.