jadi?an.
Haidar benar-benar sudah di buat rindu setengah mati untuk bisa kembali bersua dengan si manis. Kalau bukan karena dorongan teman-temannya mungkin dirinya masih saja menunggu kesiapan diri Bara untuk mau kembali berbicara dengan dirinya. Sedangkan Bara dengan ego tingginya, juga menunggu, tak mau kalau harus memulai terlebih dahulu.
Bel pulang yang di tunggu akhirnya berdering, menimbulkan kegaduhan di dalam kelas. Haidar memperhatikan Bara yang sibuk mengemasi barang-barangnya, kemudian berlalu meninggalkan kelas tanpa melihat ke arahnya sama sekali.
Haidar sengaja tak meninggalkan kelas lebih lama, membiarkan Bara untuk melakukan sesi belajarnya terlebih dulu. Kemudian akan menyusulnya, kalau di rasa waktunya sudah tepat untuk dirinya muncul.
Bara yang sudah berada di dalam perpustakan terlebih dulu, sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikirannya sedang sibuk memikirkan skenario apa yang akan dirinya lakukan ketika berhadapan dengan Haidar nanti.
“Wah anjing, kenapa gue deg-degan sih.”
Umpatan itu Bara tujukan untuk dirinya sendiri, sebab detak jantungnya yang terpompa sama sekali tak seperti biasanya.
Mondar-mandir di depan rak buku, dan membaca judul-judul buku yang bisa dia tangkap dengan matanya, Bara gunakan untuk mengusir kegugupannya. Berharap detak jantungnya bisa kembali normal ketika Haidar tiba nantinya.
“Nyari buku apasih, bolak-balik mulu.”
Sialnya saat sosok Haidar muncul tiba-tiba di belakangnya, detak jantungnya sama sekali tak terpompa dengan normal kembali. Malah semakin menjadi, rasanya jantungnya justru tercecer di lantai-lantai perpustakaan.
“Hah.”
Saat keduanya bisa bersitatap dengan dekat kembali. Haidar kalau bisa sudah raih tubuh si manis untuk dibawa ke dalam dekapan, kalau bisa bibir si manis langsung dirinya sambar untuk di bawa dalam lumatan. Tapi Haidar kuatkan supaya masih bisa kontrol diri.
Munafik kalau Bara juga tidak rasakan hal yang sama dengan apa yang Haidar rasakan. Sejak kepulangan Haidar dari Belanda, Bara sebenarnya sudah menunggu, momen Haidar mau melakukan segala hal seperti dulu lagi kepada dirinya.
“Nyari apa? malah bengong bocah.” Haidar lambaikan tangannya di depan muka Bara, karena yang ditanya malah diam mematung memandanginya.
“Gak ada lupa gue,” Baru saja langkahnya yang belum sempurna untuk berniat pergi ke arah meja, tangannya di tahan oleh yang lebih tinggi.
“Bar, gue mau jelasin yang waktu itu.” Bara akhirnya menoleh, dan kembali pada posisinya semula.
“Gak perlu dar, gue udah tau semuanya.”
“Karel?” Bara hanya beri jawaban dengan sebuah anggukan, tapi Haidar sudah cukup puas dengan jawabanya.
“Jadi?”
“Jadi apa Haidar?” Ah, sudah lama Haidar tidak mendengar namanya keluar dari bibir si manis, rasanya mendadak ada sebuah ladang bunga yang di huni ribuan kupu-kupu terbangun di dalam perutnya.
“Jadi kapan lo mau jadi pacar gue Bara?”
“Jawabanya emang mau sekarang banget?” Haidar berikan anggukan penuh antusias, meskipun ada rasa was-was akan jawaban yang di berikan Bara nantinya tidak sesuai dengan apa maunya.
“Emang udah siap?.”
“Seratus persen gue siap denger apapun jawaban lo Bara.”
Satu menit Bara justru tak kunjung mengeluarkan suara, sibuk pandangi yang lebih tinggi dengan khidmat. Bara Coba tembus mata Haidar untuk cari yakin, bahwa keputusannya setelah ini tidak akan dirinya sesali.
Dua menit berlalu, akhirnya Bara perlahan melangkah untuk mendekat dan memangkas jarak yang masih tersisa di antara keduanya. Haidar hanya menatapnya bingung, namun tetap diam mengikuti alur yang Bara ciptakan.
Dengan kepercayaan penuh Bara mendaratkan satu tangannya di bahu Haidar. Serta tatapan intens keduanya yang belum sama sekali berubah, Bara kembali ambil langkah berani, bibirnya dia pertemukan dengan bibir Haidar, yang mana Bara tak berani mengelak bahwa bibir Haidar adalah candu baru bagi dirinya. Kalau saja Bara tahu, Haidar itu bahkan merasakan candu yang lebih dari yang dia rasakan kepada bibirnya itu.
“Jawabanya apa dulu, tiba-tiba udah cium aja.” Haidar sengaja menggoda Bara, mnghentikan aktivitasnya dan sekaligus dirinya masih belum percaya bahwa Bara bisa melakukan hal tersebut terlebih dulu kepada dirinya.
“Lo lama.”
Keduanya tersenyum lalu kembali saling menautkan diri melalui yang keduanya sama-sama jadikan candu. Saling bertukar saliva dengan saksi buku-buku yang berjejer di rak buku diantara keduanya. Lumatan yang terjadi seolah menyalurkan rindu yang selama ini tertahan dan tertumpuk akhirnya bisa dikeluarkan.
Selama sesi cumbu lewat bibir yang berlangsung itu, Bara meremas kuat pinggang Haidar, sedang Haidar satu tangannya meraih tengkuk Bara untuk memperdalam ciuman. Dan satu tangannya merangkum Bara supaya jarak tidak lagi tercipta diantara keduanya.
Penantian Haidar akhirnya terbalas lunas. Meski apa yang terjadi adalah garis dosa yang akan di catat semesta dan dilaporkan pada tuhannya.
Haidar rasa kali ini semesta cukup berbaik hati kepadanya, semoga saja nanti dan seterusnya semesta tak perlu jahat kepada keduanya. Cukup dengan catat dosanya, kemudian lapor, tidak dengan sebuah kerumitan hidup yang nantinya membuat mereka kalang kabut.
Kepada buku-buku yang berjejer di rak buku, tolong jangan adukan mereka kepada siapapun yang mengunjungi perpustakaan nantinya.
Haidar dan Bara yang dengan berani mendosa di tempat penuh aturan ini, semoga saja rumitnya kalian sampai sini saja ya. Jangan ada rumit-rumit lain yang datang.