Jangan Dilepas
Tentu saja dengan muka murkanya, Bara keluar dari rumahnya dan mendekati mobil Haidar yang terparkir di depan gerbang rumahnya.
“Masuk.” Haidar yang membuka kaca jendela mobilnya memberi perintah pada Bara untuk memasuki mobilnya. Entah kenapa perintah Haidar terdengar seperti sebuah perintah mutlak yang tidak bisa Bara lawan. Sehingga lebih memilih untuk menurutinya saja.
Setelah itu Haidar sama sekali tidak bersuara, malah langsung menghidupkan mobilnya kembali dan melaju meninggalkan jalanan depan rumah Bara.
Bara merasa bingung, tapi lidahnya terasa kelu untuk membuka suara dan memprotes tindakan Haidar.
Setelah cukup jauh meninggalkan kompleks perumahan Bara, Haidar melipir. Menepikan mobilnya di pinggir jalan yang terlihat tidak ramai sama sekali, lumayan sepi.
“Siniin HP lo.” Haidar kembali menampakkan suara intimidasinya, seolah Bara adalah tawanan yang harus menuruti segala perintahnya.
“Apaan sih gak jelas lo.” Karena semakin muak melihat Haidar dan segala ketidakjelasannya, Bara abaikan perintah Haidar.
“Siniin dulu Bara, gue mau liat apa sih yang buat lo marah kaya gini.” Tekanan suara diturunkan oleh Haidar, tapi tetap saja kalimat dan wajahnya menafsirkan bahwa dirinya tak mau di abaikan perintahnya. “Gue sama sekali gak tau lo ngomong apa, dan chat sebelumnya itu bukan gue.”
“Jelas-jelas itu lo Hiadar, lo pikir gue anak TK apa?”.
“Yaudah siniin dulu, gue pengen liat. Kalau lo bukan anak TK, harusnya lo tau gimana model typing gue. Emang itu keliatan gue?”
Setelah ucapan Haidar tersebut, Bara kembali mengingat isi chat sebelumnya dirinya dengan Haidar, kalo dipikir-pikir memang aneh, bukan seperti Haidar seperti biasanya. Tapi bagaimana dengan foto yang Fara kirimkan, rasanya Bara sudah capek meladeni Haidar dan kepura-puraannya.
“Ya mana gue tau.”
“Makanya liat dulu, boleh ya.” Suara Haidar sudah berubah, yang sebelumnya penuh intimidasi, kini melas butuh dikasihani.
Bara melihat sekilas ke arah Haidar, wajahnya semrawut, tampak lelah dan sulit buat diterka apa yang sedang Haidar rasakan.
Akhirnya perlahan Bara sodorkan HP miliknya yang menampilkan chatnya dengan Fara kepada Haidar. “Gue bahkan masih bisa maklum dengan chat lo, tapi setelah chat dari ni cewek satu. Apalagi Haidar yang lo mau jelasin?.”
“Lo salah paham Bara, gue gak ngapa-ngapain.”
“Lucu banget sih, pelukan dibilang gak ngapa-ngapain. Trus yang ngapa-ngapain itu gimana? yang kaya gini yang bikin gue susah buat percaya sama lo Haidar.”
Kalau dibilang suka, Bara ini bahkan sudah kelewat jatuh cinta. Haidar dengan segala bentuk perhatiannya, sepertinya sudah lebih dari kata layak untuk bisa dapat balasan untuk setiap kata cintanya.
Tapi entah kenapa yakinnya Bara selalu saja belum bisa bawa dirinya untuk bisa beri jawaban pasti. Atau mungkin, Bara ini masih takut, takut jika nanti Haidarnya pergi, takut nanti hanya dia yang masih bertahan dan Haidarnya memilih pergi lalu melupakan.
Bara tak mau kalau dirinya dan Haidar hanya turuti nafsu, dan berakhir ketika nafsunya sudah tak lagi menggebu. Jalin hubungan dengan Haidar itu berat, kalau berjuangnya nanti hanya sia-sia lebih baik mundur dari sekarang bukan.
“Bar,” tangan milik Bara yang menganggur Haidar raih dengan satu tangannya, sementara satu tangan lain Haidar gunakan untuk meraih wajah Bara, agar mau menatapnya.
Haidar cukup lelah hari ini, kalau harus menjelaskan segala yang terjadi antara dirinya dengan Fara tadi, rasanya Bara juga akan sulit percaya. Karena emosi sama-sama sedang melingkupi keduanya.
“Gue sama sekali gak bohong Bar, please percaya sama gue.”
Pandangan keduanya saling mengunci dengan jarak wajah yang begitu dekat. Keduanya seolah tidak bisa bohong bahwa dari kerlingan mata keduanya, perasaan saling ingin memiliki tak bisa lagi untuk di tahan.
Haidar kembali mendominasi, kini wajah keduanya sudah hampir tak ada lagi jarak, nafas mereka yang saling beradu terasa begitu kentara. Haidar sudah dekat dengan bibir manis milik Bara, yang demi apapun Haidar dibuat gila hanya karena rindu terhadap objek kenyal tersebut.
Tapi Bara dengan sisa kewarasannya, membuka mata lalu mendorong bahu Haidar untuk mundur dan memberi jarak kembali antara keduanya.
“Gue capek, dan lo lebih keliatan capek. Pulang ya, istirahat.”
“Bar,”
“Pulang Haidar, kasih gue waktu.” Haidar dibuat tidak bisa memiliki kuasa atas ultimatum Bara.
“Oke, balik. Tapi please jangan lepas tangan gue Bara.”
“Hmm.” Bara sanggupi.
Kalau sudah begini, apalagi yang bisa Haidar lakukan selain memutar balik mobilnya dan membawa kembali Bara untuk pulang. Meskipun kembali hanya sunyi yang mengisi sepanjang perjalanan mereka. Genggaman tangan saja sudah cukup untuk Haidar.