Katanya Keren
“Mau abis berapa batang lagi sih lo?”
Semrawutnya hati, mungkin Ardio tidak bisa mengerti. Tapi kawannya yang berwajah kusut dan hisap batang rokok keempatnya ini dia coba pahami.
Bolos di hari pertama sebagai kelas 12, setidaknya buat Ardio bisa lepas dari kebosanan ruang kelasnya.
“Bagus dong doi balik, jadi lo kaga galau-galau lagi.”
“Gue capek Ar, polanya bakalan terus kayak gini.” katanya. Hisap sisa batang keempatnya, diinjak supaya mati bara apinya juga hatinya kalo bisa.
“Kaga ada yang tahu masa depan ego, besok aja lo nggak ngerti bakalan ngapain aja.
Bar,” panggilnya. Ada beban yang dia rasa perlu buat bantu kawannya ini urai sesuatu yang ruwet di kepalanya.
Bara jawab cuma dengan deheman. Merasa kecewa karena yang baru diapit jarinya adalah batang terakhir yang tersisa.
“Lo, Haidar itu manusia paling keren yang pernah ada dalam hidup gue.
Gak semua orang punya berani. Selagi bisa diperjuangkan, tolong buat dilanjutkan.” Sama sekali tidak ada kalimat yang Ardio jadikan bualan.
Dia anggap jatuh cintanya Haidar, Bara itu keren. Melawan dunia dan segala isi bacotannya.
Ardio pikir cinta tidak lagi bisa diukur oleh standar norma.
Dari awal sampai sekarang Ardio akan jadi orang nomor satu yang siap jadi tameng buat mereka. Mendukung apapun yang mereka sanggup jalani, meski tahu konsekuensi apa yang ditanggungnya nanti.
“Gue tahu Haidar mungkin salah, tapi lo liat, dia masih perjuangin lo dengan balik lagi.”
Dibawah langit yang merunduk dengan rona abu, Bara nggak tahu dunia mau uji dia dengan rasakan kehilangan berapa kali lagi nanti. Tapi dia mau jatuh cintanya nggak sia-sia.
Tapi apa ada akhir bahagia buat dua orang yang jatuh cintanya salah?