45

Kicauan burung-burung pagi seolah menyambut kehadiran Dani yang tengah berjalan melewati beberapa nisan. ya, sebuah pemakaman dengan baunya yang begitu khas.

Pemakaman itu terlihat begitu sepi karena hari yang masih begitu pagi. ini merupakan pemakaman yang ke dua kalinya Dani datangi untuk hari ini saja. Bukan lagi untuk melakukan prosesi pemakaman tapi datang untuk melepas rindu dan mengadu—setelah sebelumnya mengikuti prosesi pemakaman seorang wanita bernama Meira; Ibu dari sahabatnya Juna.

Dani menjatuhkan dirinya ke tanah tepat di salah satu sisi sebuah makam. Makam dengan nisan yang tulisan diatasnya nampak telah memudar. Netranya menatap lekat nisan itu seraya mengusapnya.

Tubuh Dani seketika bergetar, dadanya terasa begitu sesak. Tangis yang sudah ditahannya bahkan dari awal kedatangannya di rumah Juna seakan meledak. Tangisannya begitu pilu.

“Bun...” setelah isak tangisnya sedikit mereda, Dani bersuara. Seakan menyapa raga yang telah lama tidur di bawah sana. Raga yang telah lama Dani rindu.

“Maaf..., maaf lagi-lagi abang datang membawa tangis bun.”

Wajahnya yang begitu pilu Dani tundukkan, ia seka air matanya dan tahan sisanya. Dani hanya tak ingin raga di bawah sana melihatnya begitu lemah meski tangis sebelumnya tak mampu ditahannya.

Dani tegarkan kembali pundaknya.

“Bunda pasti udah ketemu sama tante meira kan?

sampein terima kasih Dani buat tante Meira ya bun, terima kasih buat semua hal yang begitu berarti yang udah beliau kasih buat Dani”

Dunia yang Dani miliki seolah runtuh kembali untuk kedua kalinya. Tante Meira adalah orang yang pernah membangun kembali dunianya yang runtuh untuk pertama kali tatkala sang bunda pergi meninggalkannya untuk selamanya 10 tahun yang lau. Kini justru tante Meira jugalah yang menghancurkan nya kembali karena kepergiannya.

Hubungan perteman yang begitu dekat antara Dani dan Juna membuat tante Meira sudah menganggap Dani seperti anaknya sendiri.

Kepribadian yang begitu hangat yang dimiliki tante Meira mampu memberikan kenyamaan yang luar biasa bagi Dani apalagi selepas kepergian ibundanya. Uluran tangan yang diberikan tante meira pada Dani begitu tulus dan kuat, hingga membuat Dani seolah menemukan sosok bunda lain yang bisa ia jadikan sandaran, ia genggam erat pula tangan itu kemudian. Tapi Dani lupa bahwa genggaman itu bisa lemah dan terlepas kapan saja.

Hingga akhirnya hari itupun datang. Hari ini genggaman itu terlepas dari tangannya.

Dani seolah marah pada semesta. Kenapa harus diambil lagi sosok ibu dalam hidupnya. Kenapa?

Meski Dani tahu kehilangannya begitu dalam. Tapi, Dani juga tahu ada yang merasa lebih kehilangan; Juna.

Lagi-lagi harus Dani tahan; sedihnya.

“Bun, abang pulang ya,

Maaf Abang belum bisa bawa Justin ke sini, bunda kangen kan? Dia juga kangen sama bunda kok cuman belum bisa aja”