menjadi tunggal
Menjadi dewasa secara angka acap kali membawa tiap-tiap jiwa dan raga pada hadapan peliknya rasa yang ditawarkan semesta.
Kalau tidak merana ya bahagia.
Lantas bagaimana sesungguhnya definisi merana juga bahagia yang kadang kala bergantian mangkir pada tiap insan yang semestinya.
Banyak teori yang telah kubaca, tapi nihil akan jawaban pastinya. Katanya senyum itu gambaran bahagia, lantas kenapa saat aku tersenyum tak jarang malah umpatan serta makian yang muncul dalam hati tanpa suara.
Aku ini bukan wira yang pandai mendefinisikan akan tiap gelenyar nyata yang datang dalam jiwa.
Tampaknya aku buta akan sebuah rasa. Entah aku bahagia atau justru merana, pada akhirnya aku tetap gagal untuk mengenalinya.
Berangkat dari tuntutan yang terus berdatangan, hingga aku samar akan mana tuntutan dan keinginan.
Lahir sebagai putra tunggal, yang katanya banyak icip dunia penuh nikmat dalam balut hangat sebuah keluarga.
Sini para anak tunggal, apa benar yang katanya itu benar adanya?.
Dari pecahnya nyaring suara tangis dari bibir mungilku di tengah-tengah beberapa pasang mata yang penuh harap cemas menanti, sedang menarik masing-masing ujung bibir hingga membentuk sebuah lengkungan.
Sampai pada obsidian diriku yang capai angka dua puluh lima, ekspektasi demi ekspektasi mengalir deras.
Hanya aku sang anak tunggal yang dibuat penuh jejal akan segala bentuk rupa ekspektasi demi wujud insan ideal.
Padahal labeling sebagai anak manja sering kali ku bantah, namun tetap tak diubah. Padahal aku hanya anak adam yang juga penuh hasrat ingin, namun berakhir pada sang pemilik kendali.
Aku di setir habis-habisan demi wujudkan keinginan, hingga wujud asliku jauh terkubur semakin dalam.
Berakhir tak punya pendirian serta kesulitan sekedar memilih pilihan sederhana, karena aku tak pernah punya kuasa, atau sekali saja diberi kuasa.
Demi dua insan yang begitu ku hormati.
Apapun jika dua insan itu yang pinta, maka aku dengan ikhlas turuti adanya. Karena hanya aku yang bisa mereka pinta.
Pun jika harus menggali lebih dalam tuk kubur sang wujud asli milikku, maka akan ku gali sedalam mungkin, hingga tak terlihat sedikit pun.
Akan kubuatkan senyum seindah dan selebar mungkin, tepat saat netra bersitatap.
Kubiarkan, meski hati menangis sesak.
—Menjadi dewasa ternyata menjadi ajang asah kemampuan senyum palsu.—
—makaricks, 2022 🌷