Prachtig ! Alvast een fijne avond allemaal. — Cantik ! Semoga malammu menyenangkan.

Prediksi suhu pada jam tangannya menunjukkan minus tiga derajat celcius. Haidar merapatkan jaketnya agar dinginnya kota Delft tidak merangsek masuk membekukan aliran darahnya. Pesan singkat yang dibacanya sebelum meninggalkan meja pertemuan dengan rekan-rekannya, mengembalikan seluruh energi yang terkuras sejak awal meja sudah dipenuhi dengan diskusi panjang disertai isi kepala yang berbeda-beda.

Haidar senang, Bara perlahan-lahan mampu menyampaikan keinginannya tanpa harus terhalang ego dan gengsinya. Butuh waktu cukup panjang untuk situasi seperti ini bisa dicipta keduanya. Bara dan isi kepalanya yang tidak mampu keluar dari lisannya, cukup mempersulit hidup keduanya di negeri orang-sebelumnya.

Kalau Bara dengan ego dan Gengsinya, Haidar justru dengan keras kepala dan waktu berantakannya. Haidar hampir gila menyesuaikan waktu studi dan waktu santai dengan Bara. Seluruh jadwal selalu berantakan, berujung waktu tidur yang hanya dua-tiga jam kadang harus dia relakan. Dan Bara tidak pernah suka itu.

Tapi seiring dengan ego dan gengsi Bara yang menyempit, waktunya pun bisa terbagi dengan rapi berkat campur tangan Bara. Semuanya jadi tertata. Lalu ada waktu dimana keduanya akan duduk bersama, ketika perlu menyatukan isi kepala yang kadang juga diserang stres berlebih dan mengganggu keduanya. Menyelesaikan segala hal yang tidak semestinya terjadi dengan berbagi pelukan di akhir sesi.

Suasana kota Delft yang dingin, dengan lampu yang begitu cantik terbentang sepanjang sungai yang dilewati Haidar. lampu cantik itu dipasang guna menyambut natal yang akan segera datang. Sungai-sungai yang beku, dijadikan arena ice skating yang kebanyakan dari golongan remaja dengan jaket berlapisnya.

Haidar teringat ketika baru beberapa bulan keduanya di negeri orang, musim dingin sudah menyerang. Bara tumbang, badanya cukup sulit untuk menyesuaikan. Rasa khawatir timbul berlebihan, dan hampir satu minggu keduanya jadi penghuni rumah sakit. Bara yang terbaring tanpa suara, Haidar yang gila dihantui rasa kehilangan dan rasa bersalah jika Bimantara di depannya sampai kenapa-kenapa.

Ketika keadaan cukup membaik, tamu datang dari kejauhan. Abian Harsa meradang ketika adiknya terbaring tanpa ada kabar.

Haidar disalahkan, dimarahi habis-habisan.

Mengirim kabar kemudian jadi agenda yang tidak akan Haidar lewatkan, meskipun tidak pernah mendapat balasan, tapi dia tahu bahwa pesan-pesannya dibaca dan lihat seksama. Hanya saja pengirim pesan mungkin menciptakan murka yang masih berkelanjutan.

“Bar,” Yang dipanggil muncul dari balik kamarnya, lalu menyerang dengan tiba-tiba. Bibir Haidar jadi mangsa. Yang awalnya hampir beku karena kedinginan, berangsur-angsur menghangat dalam beberapa kali lumatan.

“Aku bersih-bersih dulu ya sayang.” Haidar menangkup wajah manis itu, memberinya jeda waktu supaya tidak terburu-buru.

Menyanggupi itu bukan hal yang sulit untuk Bara, menganggukkan kepala lalu membiarkan Haidar masuk ke kamarnya.

Malam ini keinginannya begitu tinggi, fantasinya butuh dia kejar jadi realisasi. Dia ikuti Haidar masuk ke dalam kamar. Senantiasa menanti Haidar keluar dari bilik kamar mandi.

Fantasi liar timbul bersahutan di kepala, Bara tidak mengerti mengapa keinginannya jauh terbang tinggi malam ini. Maka ketika Haidar muncul, Bara siap menggantung seluruh nasibnya malam ini sebagaimana kedua lengannya yang digantungkan pada leher Haidar. Bara siap menjadi hamba paling setia.

“Kamu kalo lagi pengen, jadi tambah manis. Liat muka kamu, merah semua.” Bara bisa apa, ketika pujian melayang dari sang tuan. Tentu saja hadiah kecupan pantas dia berikan bukan.

Kecupan singkat membangun suasana malam dingin jadi lebih hangat. Lengan yang masih setia menggantung jadi tumpuan ketika kecupan bukan lagi hal yang memuaskan.

Berciuman lagi-lagi tidak pernah menjadi sesuatu hal yang membosankan. Selalu ada candu dibalik adu pagutan. Semakin dalam malah semakin tinggi adiktif nya, keduanya jadi semakin ketergantungan.

Haidar gapai kedua kaki Bara untuk ikutan menggantung di antara pinggangnya, supaya jauh lebih leluasa. Bara begitu lihai mempermainkan lidahnya di dalam sana. Haidar hampir tidak bisa mengimbangi kecepatannya, tapi berakhir mengungguli permainan dengan mengesankan.

“Pelan-pelan sayang, aku nggak kemana-kemana.” Perkataan Haidar membuat Bara semakin merah.

“Yaudah aku mau main dulu.” Turun dari gendongan, Bara memberikan perintah agar Haidar duduk manis di atas ranjang. Dia mau bermain-main dengan tenang.

Ikatan handuk yang membalut di pinggang Haidar dibukanya dengan seringai senyum yang menggoda. Seluruhnya kini terlihat tanpa ada penghalang. Dada bidang serta yang ada di bawahnya terbuka untuk Bara bebas menjamahnya. Haidar tidak akan memberontak.

Pemberian tanda kepemilikan selalu jadi hal yang juga tidak akan terlewatkan. Ruam keunguan menghiasi leher dan dada bidang Haidar. Sibuk berciuman, tangan Bara tidak luput mampir pada bagian sensitif. Yang disentuh berkedut kegirangan.

Kejantanannya mengeras dan tegak bebas. Haidar suka miliknya jadi mainan. Ketika sentuhan lembut diubah ritmenya, Haidar seperti dibawa naik ke nirvana. Ketika puncaknya dipermainkan dengan lidah Bara, Haidar mabuk bukan main. Nikmat itu tidak setara dengan apapun.

Begitu semuanya dilahap habis oleh Bara, pikirannya berantakan. Dia betulan berada di surga. Mulut Bara penuh dengan kejantanannya yang semakin mengeras dan ingin memuntahkan isinya.

“Sayang, I’m gonna cum.” Haidar memberikan peringatan. Bara malah semakin membuat sibuk mulut dan lidahnya mendengar itu.

Oh, shit.” Mengumpat, seluruh badannya luruh. Haidar berhasil mencapai pelepasan pertamanya dan ditelan dengan rakus oleh Bara.

Ciuman kembali membawa mereka ke alam antah berantah yang nyaris mirip surga.

Now, it's my turn.” Tangan Haidar melucuti pakaian yang masih melekat pada diri Bara. Dia tidak sabar mengambil alih permainan. Diangkatnya Bara naik ke atas pangkuan. Dia balas tuntas untuk ruam ungu yang ada di tubuhnya, keadaan sekarang sudah sama.

Puting Bara berubah warna merah merona, ketika dibawah kendali tangan dan mulut Haidar. Bara membusungkan dadanya ketika rasa nikmat menjalar di seluruh tubuhnya, saat salah satu putingnya dipermainkan lidah Haidar, diputar ke segala arah.

Suara-suara desahan muncul tanpa ditahan, Bara biarkan lolos sebagaimana mestinya. Menggelitik indra pendengaran Haidar. Memantik perasaan kalang kabut buat jadikan Bara bisa merasakan kenikmatan yang lebih dari itu.

“Suka banget kamu kalo diginiin?” Pertanyaan Haidar tidak perlu dijawab, suara yang keluar dari mulut Bara sudah jadi jawaban paling masuk akal, bahwa dirinya menikmati segala yang terjadi dibawah kendali Haidar. Bara juga tidak lagi sungkan untuk meminta lebih ketika yang di bawah sudah berkedut hebat, juga meminta jatah.

Posisi keduanya sudah berubah, Bara menginvasi kasur milik Haidar dan membuka lebar kedua kakinya, Haidar sumringah melihat Bara berserah.

Wajah seperti ini yang menjadi favorit Haidar. Bara dengan wajah penuh pintanya.

“Jangan pernah kasih muka kamu yang begini ke orang lain, aku nggak mau berantem.” Haidar serius dengan perkataannya. Kalau beneran ada yang melihatnya, Haidar mungkin akan mati muda, karena gila.

As you wish!” Bara kehabisan kesabarannya, bibir Haidar kembali jadi mangsa. Dia diburu nafsu, maunya segera diberi yang dimau. Tapi Haidar terlalu lama membelai wajah favoritnya. Haidar tersenyum menang, Dia berhasil membuat Bara kelimpungan.

Akhirnya haidar menurutinya, Jarinya bergerilya di bawah sana. “Mas, mau langsung aja.” Bara merengek, ketika permainan jari Haidar dirasa perlu segera diakhiri. Dia perlu mengisi lubang itu dengan yang lebih berisi, dan bisa segera mencapai putih.

“Aku suka kalau kamu udah panggil aku mas. Sekali lagi boleh dong.” Haidar menggoda Bara tepat di atas telinganya.

“Mas, mau langsung dimasukin.” Senyuman terbit begitu lebar. Haidar seperti baru saja memenangkan lotre. Permintaan langsung disanggupi. Tempo yang dia lakukan disesuaikan dengan derap nafas dan suara yang keluar dari bibir Bara.

Persatuan kulit di bawah sana memberikan sensasi nikmat, gerakan dengan tempo yang sempurna mampu menumbuk area paling sensitif di dalam sana berkali-kali. Haidar menambah tempo gerakannya saat merasakan keduanya hampir memperoleh klimaks. Hentakan yang begitu keras membuat keduanya mencapai putih bersamaan.

Bara menarik nafas panjang setelah kedua kakinya bergetar hebat.

Ik houd van jou, Mas.”

Dank, lief

Berbagi frasa cinta setelah bercinta, keduanya masih enggan mengikis jarak. Setelah beberapa cairan yang berceceran dibersihkan, rengkuhan jadi pilihan. Peluh yang sempat membasahi diri, menghilang seiring keduanya lelap dalam dekapan dinginnya malam kota Delft.