Puncak
| cw ; sexual tension, kissing.
Puncak bogor menjadi destinasi pelarian bagi Ian untuk mengusir penat setelah hari-harinya diisi menjadi tim sukses bagi calon presiden mahasiswa yang kini telah terpilih dan resmi menjabat.
Dika sudah terbiasa dengan ajakan dadakan Ian. Entah sekedar jalan-jalan malam atau liburan singkat ke luar kota motoran atau hal dadakan lainnya. Begitupun juga kali ini, Dika ngikut aja.
Dari kedatangannya di lokasi pertama; Warpat. Dika dan Ian sudah menghabiskan dua mangkok indomie dan dua gelas susu milo hangat. Obrolan mengalir, meja sudah kosong bersisa bungkus rokok dan isinya yang sudah berkurang. Beralih diapit oleh jari-jari milik Ian dan Dika.
kepulan asap rokok keduanya berbaur dengan angin yang sedari tadi juga tidak berhenti mengusik rambut keduanya. Tapi Ian maupun Dika tidak merasa marah, meskipun harus menyisir rambutnya berulang kali dengan jari-jarinya. Keduanya setuju untuk menanti sampai senja datang. Entah apa yang akan disuguhkan senja hari ini, sampai keduanya mau menunggu begitu lama.
“Liat Dik, makin siang makin banyak yang dateng bawa gandengan. lu mana gandengannya?” Ian bertanya sambil tersenyum setelah mengabsen pengunjung warpat yang kebanyakan muda-mudi kasmaran.
Dika yang ditanya ikutan senyum dan sedikit menelisik para pengunjung lain, memastikan kalau Ian tidak salah bicara. “Harusnya gue yang nanya, gandengan lu mana? masa ngajaknya gue mulu.”
“Justru karena itu, gue ngajaknya lu mulu. Ya karena gue kaga punya yang bisa digandeng. Lu mau gue gandeng?”
Dika mesam-mesem, jelas sumringah. Ian seketika membuatnya memerah. Tapi Dika buru-buru mungut warasnya, karena jelas pertanyaan Ian hanyalah sebuah candaan.
“Lu pikir gue kaga bisa nyebrang sendiri pake digandeng segala.”
Yang disuguhkan senja hari ini adalah corak hangat yang membentang menyelimuti apa yang ada di bawahnya. Ian dan Dika beranjak, tujuan keduanya adalah tempat untuk menginap. Dika tidak tahu di mana mereka akan bermalam. Karena lagi-lagi Dika ngikut aja, Ian yang ngatur semuanya.
Glamping; tujuan kedua, adalah pilihan Ian untuk bermalam.
“Anjay cakep banget yan.” Dika terpana dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.
“Suka kan lu, gue kaga pernah salah milih tempat.”
Akhir pekan Dika memang benar kebanyakan diisi dengan mengunjungi tempat-tempat pilihan Ian yang selalu terkesan nyaman, meskipun seringkali dadakan. Sedangkan pilihan Dika melulu hanya Dufan.
Tentu saja Ian memilih tempat bukan hanya dengan pertimbangan yang dirinya suka, tapi juga mempertimbangkan apa yang akan disukai Dika. Ian tidak akan membiarkan orang yang dibawanya sebagai teman urai isi kepalanya yang sedang acak-acakan merasakan ketidaknyamanan. Dan orang itu seringkali adalah Dika.
“Lu gak capek apa Yan?”
Berbaring bersama, setelah menikmati suasana malam dan hamparan bintang yang bergelantungan. Dika lontarkan tanya pada Ian yang tidur terlentang dan mata menengadah menatap langit-langit.
“Capek sih capek Dik, tapi gue seneng kok. Lu tau sendiri gue dari kecil sendiri makanya selalu nyari kesibukan sama orang lain, biar rame aja hidup gue.”
Ian sebagai anak tunggal memang seringkali merasakan rasanya sepi. Mungkin ini juga salah satu alasan Ian suka banget gangguin Dika.
“Diem Dik!”
PLAK
“Anjing sakit goblok.” Ian tidak dengan sengaja menepuk pipi Dika dengan cukup keras, hanya saja nyamuk di pipi Dika seperti sedang menantangnya. Dika ngamuk dan meringis merasakan sensasi panas di pipinya.
Dika masih tak terima, tendangan dilayangkan pada tubuh Ian beruntung tubuhnya tidak terhempas dari sisi kasur.
“Ada nyamuk tadi,” Ian protes tapi sambil ketawa-ketawi karena melihat wajah Dika yang merengut lucu akibat ulahnya. Kalau Dika tahu nyamuknya berhasil kabur pasti lebih ngamuk.
“Sorry Dik, sakit banget emang? coba sini gue liat.
Sebenarnya sakitnya sudah mereda, tapi Dika juga tahu cara bermain-main dengan sedikit melebih-lebihkan. Ian mengusap lembut pipi Dika supaya merah dan marahnya Dika reda.
Merah banget dik, emang gue keras banget tadi?”
“Hah” Dika hilang fokus sejak tangan Ian mampir di pipinya lagi bukan untuk memburu nyamuk.
Nafas Dika pendek-pendek seperti diajak berlari, jantungnya memompa tak terkendali. Sedangkan Ian tak kunjung mengerti kalau gerakan tangannya yang buat pipi Dika makin memerah.
Ian tidak mengerti kenapa pipi Dika justru terlihat makin merah. Ian juga tidak mengerti kenapa fokusnya kini ada yang ambil alih; bibir Dika.
“Bibir lu bagus Dik.” Bukan Ian kalau tidak mengutarakan isi kepalanya. Tapi setidaknya yang kali ini hanya satu point yang disuarakan, sedangkan point lainnya—ingin menciumnya—lebih baik dia simpan.
“Enak buat di cium maksud lu?”
“Dih, kaya jago aja.”
“Yang jelas lebih jago daripada lu.”
Posisi keduanya sama sekali tidak berubah, tangan keduanya masih bertengger di atas pipi Dika dengan jarak tubuh yang begitu minim. Yang berubah kini adalah tensi diantara keduanya setelah jawaban Dika sedikit menekan titik harga diri Ian.
“Ngomong doang, bisa buktiin gak lu?”
“Ntar ketagihan lu yang ada.”
Dika sepertinya salah langkah, boro-boro jago ciuman, terakhir kali dirinya ciuman saja di kelas satu SMA itu pun serampangan. Tapi tubuh Ian yang makin menantang membuat dirinya penasaran.
Darah berdesir, keduanya tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Pandangan sudah jatuh pada masing-masing objek yang jadi perdebatan milik siapa yang paling hebat ketika berjabat.
Seharusnya logika yang menentang keduanya patuhi, bukan malah jadi aksi layaknya dua orang yang kehausan afeksi.
Jiwa kompetitif Ian rasakan pada tautan pertama, ciuman Dika terkesan terburu-buru seolah tak mau ucapannya tadi terbantah.
Tautan kedua Dika biarkan Ian yang yang mendominasi. Lembut dan tidak terburu-buru, Ian membiarkan Dika mengerti bagaimana menikmati waktu. Dika merasa kalah telak, karena ciuman Ian jauh terasa lebih adiktif.
Dika tau keduanya sudah kepalang dikuasai nafsu, tapi Dika nggak tahu pertemanan apa yang akan berlanjut diantara keduanya setelah ini.
Maka ketika ada sesuatu yang menelusup ke dalam kaosnya dan menyapu perutnya, Dika lebih dulu melepas tautan. Menyingkirkan tangan dingin Ian dari dalam kaosnya.
“Mau ngapain Yan?”
Pertanyaan Dika membuat Ian kembali berbaring seperti semula kembali. Nafas keduanya masih tidak beraturan, kemudian muncul tawa di sela-sela mengatur nafas diantara keduanya.
Ian tidak menjawab, dadanya masih naik turun. Dirinya juga bingung.
“Gatau Dik, aneh banget sumpah.”
“Emang, mana ada temenan model kaya gini. Dahlah gue mau tidur, lain kali kalo mau ciuman sama pacar anjing!”
“Bilang aja jagoan gue.”
“Bodo amat, gue ngantuk.”