Restu
Haidar harusnya sudah di Bandara. Harusnya berangkat dengan orang tua Karel.
Tapi apa yang sudah mengganjal, Haidar sulit hilangkan. Maunya diatasi, dibereskan biar pikirnya tenang, dan perginya diberi jalan yang lapang.
“Mau apa kamu ke sini? apa lagi yang kamu mau minta dari saya? bukankah anak saya sudah cukup?”
Papa dan hati nya yang mati. Dua kali hidupnya dicurangi semesta dengan perkara yang sama.
Bukan cuma Bara yang merasa gagal menjadi anaknya. Papa bahkan belum bisa memaafkan dirinya perihal gagal menjadi seorang Suami. Dan kini harus gagal menjadi seorang Ayah. Sakitnya tidak pernah bisa Papa sampaikan.
Padahal baik Bara maupun Papa, mereka baru pertama kali. Pertama kali menjadi anak, dan pertama kali menjadi ayah. Wajar kalo hasilnya tidak sempurna, tidak seperti apa maunya.
Tapi jelas, anaknya yang dibawa pergi orang di depannya ini buat hancur hatinya, sampai-sampai tidak mau melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa dirinya ditinggalkan—lagi.
“Restu.”
Haidar butuh itu, biar hidupnya dan Bara tidak dilingkupi takut, dan kegelisahan. Biar hidupnya sejalan dengan garis bahagia yang Haidar janjikan buat anaknya.
“Kamu bilang restu, restu yang seperti apa yang kamu butuhkan? mau restu seperti apapun saya nggak akan pernah bisa kasih.”
Sebastian tersenyum, anak di depannya ini bicara soal restu. Memangnya restu apa yang pantas? Sebastian saja tidak mengerti.
“Saya harus apa supaya bisa dapat itu om? Haidar mau apapun itu.“Keras hatinya Sebastian, Haidar coba lunakkan.
“Mau kamu ngelakuin apapun itu, sampai kapanpun saya nggak akan bisa. Yang menentukan itu ini.” Sebastian tunjuk dadanya.
Hatinya yang keras, sudah tergores.
Haidar tunduk, berlutut kembali di hadapan Sebastian. Dia yakin dinding keras itu akan roboh. “Saya mohon om, saya janji Bara akan bahagia seutuhnya.”
Satu tamparan di pipi kiri.
“Lakukan om, kalau itu bisa buat om lega, dan beri saya restu.”
Satu tamparan di pipi kanan.
“Bahagia, kamu kira saya selama ini saya ngapain? saya berjuang buat anak saya supaya bahagia juga.” Suara Sebastian menggema di telinga Haidar.
“Dan kamu seenaknya bilang, kalau dia akan lebih bahagia sama kamu?. Saya papanya!, saya yang mengurusnya selama 17 tahun.”
“Tapi om—”
Satu tamparan lagi di pipi kanan.
“Kenapa harus anak saya? kenapa!” Semakin keras suara Sebastian, semakin menusuk telinga Haidar. Meskipun suara itu bergetar.
Daksa sebastian turun, disejajarkan dengan Haidar. “Tapi kenyataannya memang saya gagal, saya gagal jadi ayah, saya gagal buat anak saya bahagia. Saya bisa apa?”
Haidar mendongak. Tembok itu ternyata perlahan runtuh, mengaku luluh.
“Bahagia kalian, tapi tolong jangan paksa hati saya rela begitu saja. Bagaimanapun saya papanya, saya kehilangan dia. Mungkin nanti, tapi saya tidak akan pernah berjanji.”
Bagaimanapun hati memang tidak bisa diotak-atik semudah itu, tapi bukan berarti tidak bisa. Nanti, biar papa benahi dulu hatinya.
“Sekarang pergi, anak saya sudah menunggu kamu.
Restu nanti, buktikan dulu bahwa Bara bahagia bersama kamu.”
Haidar pandangi punggung Sebastian yang menjauh pergi.
Semoga nanti restunya bisa utuh.
Gelisah, mondar-mandir. Bara tidak tenang, Haidarnya lagi-lagi bertindak tanpa perbincangan.
Bara tahu pasti Haidar ke rumahnya. Menemui Papa. Dasar, keras kepala.
Tadinya kakinya tidak berhenti melangkah, tapi melihat Haidar di ujung sana, Bara berhenti.
Netra keduanya saling berbicara dengan jarak. Air mata menetes dari milik Bara.
Selanjutnya, Bara lari, dia hampiri Haidar yang berdiri di ujung sana. Tidak peduli pandangan sekitarnya ketika daksa mereka beradu.
“Maaf, aku belum berhasil hari ini.”
Hari ini cukup, Belanda sudah menunggu kalian buat bahagia di sana. Yang tertinggal di sini, dilanjutkan nanti.
Mungkin akan ada waktunya sendiri.
Belanda, saya titip dua adam yang masih banyak kurangnya ini—anotherapi