Sebastian ijinkan.
Tiap pilihan dalam hidup adalah tak lain dari sebuah pilihan egois.
Tertunduk di bawah kaki Sebastian Rudy Bimantara adalah pilihan paling egois yang Haidar pilih untuk saat ini.
“Maaf, Haidar minta maaf Om.”
Egois, buat jadi perenggut salah satu Bimantaranya.
Egois, buat jadi paling berani tantang semesta buat hidup bersama Bimantaranya.
“Maaf, karena saya terlalu takut buat jalan sendirian. Maaf, kalau Baranya mau saya ajak jalan berdampingan. Maaf, kalau jalannya juga bukan di sini.”
Abian Harsa Bimantara, yang berdiri di samping Sebastian, juga rasakan kecewa dan marah kenapa adiknya yang tak banyak mengeluh, ternyata simpan banyak peluh.
Dia tatap Haidar—yang katanya jadi alasan adiknya rasakan bahagia. Berlutut, meminta pengampunan di bawah kaki papanya.
Abian penasaran, apakah mereka yang menyimpang, akan diberi kesempatan. Abian penasaran, apakah semesta mau tunduk pada mereka yang berjalan salah arah, meski berdampingan.
Abian penasaran, apakah adiknya betulan bisa bahagia meski dengan mencurangi aturan.
Sebastian hanya diam. Perih, sebab luka lama kembali dibuat menganga.
Sedangkan Haidar di bawah sana tak henti buat minta pengampunan. Abian pegang pundaknya, supaya dia berdiri.
“Maafin Haidar Bang, Om.”
plak
Satu tamparan panas menjalar keseluruh bagian tubuh Haidar, tapi dia malah bersyukur. Sebastian masih sudi menyentuhnya, setelah mengabaikan tangannya yang minta dijabat sebelumnya.
Kalau bisa Haidar mau lagi, sekalipun berkali-kali Haidar sanggupi, asal diberi ikhlas anaknya dibawa pergi.
“Saya punya salah apa sama kamu?” Dadanya naik turun, Sebastian minta diberi penjelasan, kenapa harus anaknya yang jadi pilihan.
“Saya yang salah Om, Saya yang lancang jatuh suka duluan. Saya juga yang tidak tahu diri minta hidup berdampingan—
Saya yang salah. Tapi saya juga mau bahagia, dan itu bersama Bara.”
“Saya janji akan buatkan rumah buat Bara, meski tak sebesar dan sehangat rumah yang Om ciptakan. Saya janji, rumahnya akan aman dan ramah bagi Bara, bagi kami berdua.”
“Tau apa kamu soal rumah?”
Sebastian merasa lukanya yang kembali menganga, kembali di gores di atasnya sehingga terasa makin perih saja. Dia tinggalkan Haidar yang belum tuntas dengan permohonannya.
“Hati-hati berjuangnya, karena Bara begitu kami sayangi. Jangan sampai dia lupa dengan yang namanya bahagia. Papa saya sudah ijinkan.” Abian turut melangkah pergi, tapi kalimat yang diberinya di akhir adalah bukti bahwa semesta tunduk kali ini.
Selamat, selamat buat berjuangnya hari ini.