Seperti yang Ardio bilang, kali ini Bara nurut.
Tidak seperti beberapa hari kemarin, kebas Haidar sama sekali tidak bisa buat keras kepalanya Bara melunak.
Haidar sudah seperti seorang intel atau bahkan seorang teroris. Bolak-balik masuk komplek perumahan Bara dan hanya berdiam diri.
Yang diharapkan ya cuma perkara Bara mau diajak berdiskusi.
Karena di sekolah pun Haidar juga tidak diberi ruang, selalu menghindar. Atau pasang muka buta dan tuli buat eksistensi Haidar.
“Thank you, Bar.”
“Langsung jalan aja bisa kan?”
Bara masih dengan egonya. Haidar bisa apa selain menuruti, daripada berubah gagal kunjungi makam papanya hari ini.
Sesi perjalan terisi dengan yang namanya sunyi. Ada yang berisik, tapi cuma isi kepala Haidar yang nggak bisa dilantangkan.
Meributkan banyak hal tentang orang di sebelahnya. Tapi Haidar cuma jadi pengecut yang pilih bungkam, karena belum berani lawan ego milik Bara yang kelewat tinggi.
Nanti, nanti Haidar akan berusaha lagi.
“Gue tunggu di sini.” Katanya. Lihat Haidar yang sudah mau turun dari mobilnya. Karena sudah sampai pada titik tujuan.
Pintu mobil ditutup kembali. Haidar diam sejenak.
“Bar, gue minta maaf karena udah ganggu lo hari ini. Tapi buat apa gue nyari temen ke sini kalo cuma nemenin sampe sini.
Kalo gue bisa sendiri, gue bakalan dateng sendiri Bar. Tapi sayangnya gue belum sanggup kalo harus sendirian.”
Haidar tidak bohong. Dan Bara sebenarnya tahu betul itu dari sorot mata Haidar. Sempat terus ingin bersikap bodo amat tapi berakhir mengekor di balik punggung Haidar.
Karena inilah Bara seringkali menghindar, karena dia tahu bakalan kalah.
Senyum getir dari Haidar muncul saat berhasil berjongkok di depan makam papanya.
“Pa, maaf ya Idar baru bisa dateng hari ini.” Batu nisan diusap lembut.
“Pa, Idar dateng sama orang yang sama lagi. Masih nggak berani dateng sendiri hehe.
Kalau nanti dia nggak mau, Idar dateng sama siapa ya pa?”
Tawa renyah Haidar sebenarnya menutup luka yang tiba-tiba menganga di hatinya.
“Maaf ya kemarin Idar kelamaan di rumah mama. Papa nggak kangen kan? Nggak sih pasti, yang kangen pasti aku doang.
Mama hidupnya udah bahagia pa. Idar seneng, papa juga pasti seneng kan?
Papa nggak usah khawatir lagi.” Kali ini tubuh Haidar bergetar, air matanya juga sudah tidak bisa bersembunyi lagi.
“Haidar tahu pa, selama ini yang papa khawatirin cuma hidup aku sama mama.
Papa selalu nyalahin diri sendiri.” Tubuhnya bergetar makin hebat, tangisnya juga halangi dia buat nafas tanpa sesak.
Semua memori dia bersama papa dan mamanya berputar memenuhi otaknya. Mengembalikan masa paling bahagia dan sedih saat hidup bersama.
Bara nggak tahu harus apa, tapi hatinya tiba-tiba juga ikutan sesak.
Rangkulan buat Haidar, Bara harap sedikit bantu buat hatinya tenang. Karena tidak ada yang bisa Bara lakukan selain itu.
Buyar.
Semua keluh kesah yang mau Haidar sampaikan seketika buyar, hanya karena tangan sesorang yang merangkul pundaknya.
Dia mau berteriak supaya papanya dengar, kalau tangan ini yang biasanya dia buat bersandar, sedang marah. Tapi masih mau menawarkan jadi sandaran. Tapi Haidar nggak sanggup, buat nafas saja dia tersengal-sengal.
“Tenangin diri Dar, papa lo pasti nggak suka liat lo nangis.” Punggungnya Bara usap dengan lembut.
Tidak sanggup lagi buat bicara, Haidar hanya banyak rapalkan doa buat papanya lewat batinnya.
Tapi dari segala doa, ada frasa yang dia sisipkan;
Pa, doain juga dong dia marahnya jangan lama-lama. Idar udah nggak sanggup.