TAKUT

Haidar melangkahkan kaki jenjangnya dengan tergesa, berharap segera menemukan wajah si manis di ruang perpus sana.

Rasa hatinya sesaat setelah berkirim pesan dengan Bara adalah nelangsa namun jua rasa berbunga. Sebab Bara yang kuasai pikirnya, sampai-sampai hilang waras bukan beri dia kata tolakan dan umpatan pada perasaannya, justru takut akan kisah cinta dua adam di mata semesta.

Maka langkahnya diliputi banyak tanya, sikap Bara yang seperti ini sudah luluh hatinya, atau hanya memperjelas penolakannya saja. Tapi jujur Haidar pasang banyak harap. Bahwa Bara ini sudah luluh hati dan hanya takut pada semesta yang katanya jahat pada dua adam yang saling menautkan rasa.

Biar Haidar yang lawan kalau Bara takut, semesta saja Haidar mampu, asal Baranya mau.

Jejak suara sepatu Haidar mengisi ruang perpustakan sekolah yang sepi, sebab jam pulang yang sudah 30 menit lebih berlalu.

Bara yang berkutat dengan kamus-kamus dan buku panduan belajar bahasa Jepang, sedikitnya merasa gugup apa yang akan Haidar lakukan. Tapi Bara coba biasa saja, dan berpura-pura fokus ketika Haidar terlihat sudah mendekat ke arah mejanya.

“Bar,” usahanya untuk tidak menatap kehadiran Haidar sebentar lagi mungkin akan goyah, sebab suara beratnya yang dengan lancang ternyata Bara rindu.

“Bar liat gue dulu.” Buku-buku di hadapan Bara ditutup oleh Haidar, sengaja supaya atensi Bara saat ini cukup hanya ke dia saja. Sedang Bara berdecak sebal.

“Ngomong langsung sama gue, apa yang barusan lo bilang.” Haidar langsung menodong Bara saat Bara mulai mau menempatkan sepasang netranya pada daksanya yang sudah kepalang penuh tanya.

“Ngomong apaan?” Bara pasang wajah tak mengerti. Dan diam-diam kagumi garis wajah si tampan.

“Yang barusan di chat.”

“Ya apa Haidar?” Bara kembali tanya, mungkin yang ada di pikirannya bisa tak sama dengan yang dimau Haidar.

Hati Haidar seakan mau melonjak loncat dari rongga dadanya, saat panggilan Haidar keluar dari mulut Bara. Entah kenapa tiap kali Bara memanggilnya dengan Haidar hatinya dibuat berantakan, perutnya seolah diisi oleh ribuan kupu yang berterbangan. Padahal banyak juga yang memanggilnya Haidar.

“Bilang lo cuma takut sama semesta.” Haidar perjelas, supaya Bara ingat.

“Kenapa?”

“Perasaan lo sendiri gimana Bara? Please bilang kalo lo juga suka, tapi lo cuman takut. Gue bisa Bara, kalau cuma mau lawan semesta.”

“Kata siapa gue suka?”

“Kalau gitu bilang depan muka gue, kalau lo gak suka sama gue, kalau lo benci sama gue, atau kalau perlu bilang kalau lo jijik sama gue.”

Bara mulai tak sanggup menatap netra Haidar yang penuh intimidasi saat ini. Jadi Bara beralih untuk tatap objek lain yang bisa dia temukan di belakang tubuh Haidar.

“Ngomong Bara!” Intonasi Haidar dibuat meninggi, manakala sepasang netra hitam legam milik si manis tak lagi fokus menyelami kedua netra kecoklatannya.

Bara dibuat ngeri, badanya bergetar manakala Haidar menggoyang bahunya, meminta apa maunya segera dituruti.

“Seenggaknya jangan bohong sama perasaan lo sendiri Bara, biar gue tau gue harus gimana.” Kalimat Haidar semakin menuntut dan terdengar frustasi.

'Bug'. Tangan Bara dibuat mengepal sebelumnya, dan akhirnya melayang pada rahang tegas milik Haidar. Perasaan Bara penuh kecamuk dengan segala tekanan yang Haidar beri, sehingga Bara tak mampu beri jawab. “Lo bilang mau dipukul kan.”

Haidar tak kuasa buat lawan barang sedikitpun. Haidar malah mengangguk, pertanda bahwa itu yang dia mau. “Ayo pukul gue lagi, sepuas lo mau. Tapi setelah itu lo bilang, lo maunya gue gimana?”

Bara malah tutup wajahnya dengan dengan telapak tangan, tubuhnya gemetar. Pikirnya semrawut, sebab Haidar dan rasa sukanya.

Buat Haidar tolong mengerti barang sejenak, Bara ini masih banyak takutnya. Takut beri banyak kecewa pada papa dan juga abang, kakak dan adiknya, bukan hanya takut pada semesta yang jahatnya sudah di depan mata.

“Bar,” Haidar coba buka telapak tangan yang masih gemetar yang tutupi wajah yang tak kalah frustasi milik Bara, coba tangkap apa yang Bara ingin sampaikan.

Haidar bisa lihat wajah frustasi Bara. Haidar kemudian coba buat cari jawab dengan lain cara, bukan dengan tanya jawab. Haidar mendekatkan wajahnya hingga Bara tersentak kaget, namun tak beralih dari sana.

Nafas keduanya seolah saling sapa manakala hidung keduanya menempel. Haidar coba buat tutup mata, supaya Bara ikuti buat tutup mata juga. Maka ketika Haidar membuka matanya kembali, benar adanya Bara sudah menutup rapat matanya.

Haidar pandangi bibir lembut milik Bara lamat-lamat, yang mana dia yakin rasa manis akan timbul nantinya saat bibir Haidar bertubrukan dengan bibir itu.

Perlahan tapi pasti Haidar coba tempelkan bibir miliknya dengan bibir Bara, ternyata tidak ada penolakan dari si manis yang masih menutup mata. Lumatan lembut perlahan tanpa menuntut, hanya salurkan rasa supaya si manis tau bahwa Haidar betulan mendamba dirinya. Ternyata benar, rasa manis dan juga jawaban yang sebelumnya tidak dia dapatkan, sekarang bisa dia rasakan.

Bara sama sekali tidak melakukan penolakan, dia selami juga bibir milik Haidar. Bara juga butuh buat penguat yakin apa yang dia rasa pada Haidar juga gak main-main. Air mata tiba-tiba mengalir dari mata Bara di tengah percumbuan bibir mereka.

Bara hanya sadar, ternyata dia sudah jatuh sejauh ini untuk Haidar, sedang Bara masih punya banyak takut buat mengakui kalau perasaannya valid.

Haidar lepas persatuan bibir mereka, saat sadar ada yang merembes membasahi pipinya. Kemudian menatap lekat pada Bara yang ternyata menangis entah karena apa, Haidar tak bisa menerka.

“Kenapa lo harus usaha dar, kenapa?” Bara keluarkan kelakar protesnya, kalau saja Haidar tidak berusaha, maka dirinya juga tidak akan jatuh suka.

Haidar usap pipi Bara supaya air mata yang basahi pipinya pergi. Tak mau jawab pertanyaan si manis.

“Rumit Haidar, rumit. Jadi stop sampe sini ya.” Haidar tak kuasa melihat Bara yang frustasi dan melas meminta pada Haidar.

“Enggak Bara, kalau lo mau jalan berdua, semuanya gak akan rumit dirasa.” Ragu dan takutnya Bara di buat Haidar supaya pudar, supaya mau jalani bersama.

Haidar tarik tangan Bara supaya tubuhnya dekat tanpa jarak, supaya bisa dia bawa dalam rengkuh, bawa dia pada percaya yang lebih kuat pada dirinya. Bara menurut meletakkan wajahnya pada ceruk leher Haidar yang sedikit lebih tinggi darinya hanya beberapa senti. Aroma Haidar yang bisa Bara hirup, jadi aroma baru yang akan jadi favoritnya, parfum kesayangannya nampaknya akan bergeser takhta.

Bara sepertinya luluh, jadi buat Haidar tolong pelan-pelan supaya Bara hilang takut dan mau berjuang.