Trauma
Malam ini bandung terasa semakin dingin, karena hadirnya kembali bulan Desember.
Dani terlihat gusar di atas tempat tidurnya. Mencoba memejamkan matanya— Tidurnya tidak nyenyak, lebih tepatnya ia tidak bisa tidur.
Dani memutuskan bangun dan pergi ke kamar Justin yang berada di sebelahnya.
Semenjak kematin bundanya Dani dan Justin biasanya tidur dalam satu kamar. Sedangkan Juan dengan beraninya memilih untuk tidur sendiri.
Namun setelah Justin memasuki SMP dirinya memilih untuk tidur sendiri, hanya karena sering diejek Juan, 'Penakut' katanya.
Meskipun sudah tidur sendiri nyatanya Juan tetaplah Juan yang menjadikan kakak nya sebagai bahan ejekan. adiknya itu lagi-lagi mengejeknya karena tidur dalam keadaan lampu yang menyala.
Dani melihat Justin yang sudah tertidur meringkuk karena mungkin diserang rasa dingin.
Dani baringkan tubuhnya di samping Justin, ia pandangi punggung adiknya itu.
Jika Dani merasa tersiksa dengan sulitnya memejamkan mata, Justin tersiksa dalam lelapnya.
Dani akan selalu terjaga di malam hari tanpa bisa memejamkan mata, karena Justin mungkin saja akan di siksa oleh mimpinya yang datang tanpa rasa iba.
Mimpi buruk terus saja datang dalam lelapnya tidur Justin, entah mimpi apa yang ia rasakan. Entah mimpi yang selalu sama atau mimpi yang berbeda-beda, Dani tak pernah memahaminya. Karena Justin juga tak mau menceritakannya.
Tetapi semenjak pertemuan yang tidak sengaja antara Dani dengan perempuan bernama Arum, yang pada waktu itu baru saja lulus dari studinya di Psikologi UI menjadikan Dani sedikit paham situasi apa yang dialami oleh Justin. Dengan beberapa kali membawa Justin ke rumah Arum.
Ternyata ada trauma yang Justin rasa. Kematian bunda yang begitu tak biasa, membuatnya merasa tak pernah bisa nyenyak dalam tidur lelapnya.
—Dia ada di sana.
—Dani Pov—
Hari itu adalah hari dimana aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di rumah.
Keributan yang sering terjadi antara bokap dan nyokap, membuat aku seringkali menginap di rumah teman. Karena sudah muak melihatnya. Terutama orang yang ingin aku lepas dari kata ayah saat memanggilnya.
Tapi malam itu, saat aku hendak memejamkan mata di rumah Juna, tiba-tiba ponsel ku berdering.
“Dani kamu dimana?, bundamu, cepat pulang!”
Entah itu suara siapa di seberang sana, aku tidak paham. mungkin saja tetanggaku. Aku tidak bisa berpikir karena mendengar kata bunda yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.
Saat sudah sampai di rumah, aku dibuat heran kenapa rumahku terlihat ramai.
Ada garis polisi di pagar rumah.
Ada polisi yang berkeliaran di teras dan dalam rumah.
Aku tidak melihat keberadaan Justin, Juan dan bunda. Aku mencoba masuk, untuk melihat apa yang terjadi.
Namun belum sempat kakiku masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tanganku. Sepertinya dia adalah tetangga yang menelponku.
“Dani sebaiknya kamu temui adik-adikmu”
“Mereka kemana?, sebenarnya apa yang terjadi? Bunda saya kemana?”
“Mereka di rumah saya dengan istri saya, kamu kesana dulu ya.”
Saat itu aku menurut saja dan mengikutinya. Di perjalanan bertemu dengan Justin dan Juan di rumahnya, lelaki itu mengatakan bahwa mendengar suara tembakan yang begitu keras dari dalam rumahku. Dan saat memeriksa apa yang terjadi, katanya bunda sudah tidak bernyawa dengan luka tembak tepat di dadanya.
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar itu, air mataku menggenang, lalu kemudian jatuh. Tapi dengan cepat dadaku berubah begitu bergemuruh, kalut, amarah begitu menguasai diriku.
Hanya ada satu nama yang berputar di otakku, Aditama bajingan.
Kalo saja aku tidak ditahan untuk menenangkan Justin dan Juan, aku sudah lari kembali ke rumah untuk melihat keadaan bunda dan menghajar Aditama bajingan itu.
“Bundamu sudah ada yang urus, dan biarkan polisi menyelidikinya terlebih dahulu.”
setelah Justin dan Juan tertidur aku segera pergi utntuk mengikuti prosesi pemakaman bunda. Rasanya sekedar untuk meneteskan air mata saja aku sudah tidak bisa. Entahlah, ada banyak emosi yang berkecamuk dalam dadaku.
Setelah itu aku mendengar kabar bahwa memanglah benar, kepolisian menetapkan pelaku dari penembakan itu adalah Aditama.
Kebencian dalam diriku seolah semakin menjadi-jadi, hasrat untuk membunuh yang belum pernah terealisasikan pada lelaki itu seakan makin menggebu.
Hingga akhirnya tanpa sadar tubuhku sudah berdiri di depan lelaki itu dengan besi-besi tralis sebagai pemisah.
Mataku memerah, menatapnya penuh nyalang. Lalu, mulutku hanya mengeluarkan banyak kata umpatan, makian, dan kata-kata kasar lainnya yang seolah memang pantas diterimanya. Bahkan kalimat yang di keluarkan lelaki itu atas kata-kataku kepadanya sama sekali tak ku hiraukan. Telingaku seakan tuli.
Aditama, adalah orang yang sudah tak pernah sudi lagi ku sebut sebagai ayah sejak hari itu.
Hari di mana aku melihat bunda yang lebih sering menangis seorang diri tengah malam di meja makan.
Hari di mana aku mengetahui bahwa lelaki itu telah mengkhianati sosok bunda yang begitu berharga.
Aku bahkan sudah muak saat sering tak sengaja melihatnya dengan selingkuhannya berkeliaran. Sama sekali tak tahu malu.
Lelaki itu hanya akan marah-marah saat berada di rumah dan hanya bisa menyakiti perasaan bunda.
Sudahlah, aku sangat malas jika harus menceritakan tentang laki-laki bajingan itu. Karena, juga setahun setelah dirinya hidup di dalam jeruji besi, aku mendengar kabar berita kematian tentangnya. Tapi aku sudah tidak perduli.
“Bunda, bunda...”
Dani kembali mendengar rintihan putus asa itu kembali saat lelapnya tidur Justin.
“Bunda, maaf...”
Terlihat tubuh Justin bergerak kesana kemari, dahi serta lehernya di basahi oleh keringat dingin. Nafasnya terdengar tidak beraturan.
Sungguh, Dani merasa jika saja mimpi itu bisa di pindahkan maka biarkan dia saja yang merasakan.
Dani yang melihat Justin semakin resah dalam tidurnya, langsung mendekat. Dani hapus peluh di dahi Justin, dan mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pipi Justin.
“Justin, hey bangun. Its okay“
Karena Justin tak kunjung membuka matanya dan sadar, Dani menutup matanya dan tamparan pada pipi Justin. Tamparan itu memang sering kali Dani berikan jika Justin tak kunjung sadar, karena jika tidak Justin akan berakhir dengan melukai dirinya sendiri.
Justin terbangun dengan nafasnya yang tersengal, ia duduk lantas memeluk Dani dengan tubuh yang bergetar dan air yang menetes dari kedua matanya.
“Tenang ada abang di sini,” Suara lembut Dani sembari mengelus punggung Justin membuatnya sedikit tenang.
Dan berdiri, dan kemudian memberikan satu gelas air putih yang di ambilnya dari nakas di samping mereka tidur. Justin menenggak habis air tersebut tanpa sisa.
“Udah tidur lagi aja, abang temenin.” Dani menyuruh Justin untuk kembali membaringkan tubuhnya kembali, meski nafasnya belum sepenuhnya normal.
Ternyata pilihan Dani untuk masuk dan berakhir tidur di kamar Justin malam ini, merupakan pilihan yang benar. Karena mimpi buruk itu kembali menyapa Justin dalam tidurnya.
Semenjak Justin tidur sendiri, Dani selalu was-was sehingga ia lebih sering berakhir tidur di kamar Justin, menyelinap saat Justin sudah terlelap.