anotherapi

Menjalani suatu hubungan yang kemudian dibatasi dengan jarak, sebenarnya tidak pernah ada dalam rencana romansaku.

Meski hanya berbatas antar kota, bukan negara. Aku biasanya dengan lantang mengucap keengganan, dan kemudian berujung dengan perpisahan.

Lantas wira pemilik asma Gema Restupati, datang menggoyahkan pendirian yang sudah aku bangun tinggi-tinggi. Dibuatnya roboh tanpa permisi.

Tak ada satupun hal yang disematkan sebagai jaminan, tak ada pula rentetan janji manis yang disuarakan.

Aku tunduk.

Menunggu kunjungan yang entah berapa minggu atau beberapa bulan sekali dia lakukan. Terkadang juga aku yang berkunjung, sebab dibuat tak kuasa akan rasa rindu yang menyebalkan.

Yang kali ini sudah hampir satu bulan, aku dan dirinya kembali bisa bersua.

“Kamu udah makan ai?” Gema bertanya setelah duduk sempurna di dalam mobil milikku.

“Belum, sengaja mau makan sama kamu.” Senyum manis kuberikan. Bukan hanya sebagai pemanis jawaban, tapi juga respon atas presensinya yang begitu aku rindukan.

“Ayam geprek?”

Pertanyaan itu aku jawab dengan anggukan antusias. Ayam geprek menjadi opsi makanan yang tidak boleh kami lewatkan ketika bersama menghabiskan akhir pekan.

Sesederhana hidangan Ayam geprek seharga lima belas ribu tiap satu porsinya di warung lesehan, yang kini sudah ada di depan mata, yang aroma khasnya sudah menyapa indera penciuman. Menjadi hidangan yang kami favoritkan.

“Kamu itu aneh tau ai,”

Kalimat itu dia utarakan kala tanganku sibuk memindahkan kulit ayam di piringku ke piring miliknya.

Seringkali bertanya atas penghakiman yang kulakukan pada kulit ayam, namun ternyata masih membuatnya terheran akan bagaimana caraku saat sedang menikmati kudapan berupa ayam.

“Kenapa sih, kulit ayam itu kaya banyak minyaknya gitu lho bi, aku gak suka. Lagian gak semua orang harus suka kulit ayam kan.” argumenku tentang kulit ayam kusuarakan dengan ada sedikit penekanan pada kalimat terakhir yang kusampaikan. Sedang Gema mengukir tawa sambil melahap kulit ayam pemberianku sebelumnya.

Ayam geprek yang tadinya di atas piring milik kami berdua, kini telah tandas mengisi ruang organ lambung di perut kami. Akhirnya aku dan Gema memutuskan untuk pulang ke apartemen milikku untuk beristirahat.

Seperti saat ini, aku sudah berbaring di atas kasur dengan rengkuhan kelewat hangat yang Gema beri. Aroma tubuhnya juga selalu mampu beri rasa nyaman tersendiri. Yang hari ini bebas aku hirup semauku, lewat hidung yang menempel pada ceruk leher.

Saat terbangun ternyata matahari sudah tidak menampakkan diri. Sudah lewat pukul tujuh malam kami duduk bersama menikmati chicken katsu yang sebelumnya Gema pesan lewat aplikasi online.

“Kamu disini berapa hari bi?”

“Empat hari ai”

“Tumben, biasanya cuman dua hari bi.”

“Yang dua hari aku sengaja ngambil cuti, lagi pengen lama sama kamu.”

Perbincangan demi perbincangan ikut larut dalam kegiatan makan malam kami. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu.

“Ai bantuan dong.” Pinta Gema untuk membantu mengeringkan rambut basahnya, saat keluar dari kamar mandi. Dengan tubuhnya yang berbalut handuk hanya sebatas pinggang hingga bawah lutut.

Kusuruh dia duduk di pinggir kasur, agar memudahkan ku mengeringkan rambutnya. Karena postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku.

“Cantik ai.” Pipiku dibuat merona seketika, dengan entengnya dia berkata, tidak tau apa kalau ucapannya berdampak pada irama jantungku.

Cup. Belum sepenuhnya kering rambut hitamnya, dia tiba-tiba mencuri satu kecupan di bibirku. “Ish bi, belum kelar ya ini.”

Tak mengindahkan ucapanku, Gema malah terus menghujamiku dengan kecupan-kecupan yang sebenarnya aku pun menikmatinya.

Dada bidangnya aku dorong, agar dia berhenti melakukan aktivitas itu. “Ini mau diselesaiin dulu gak sih bi.” Usakan di rambutnya aku buat acak.

“Gak usah deh ai.” Tangannya dibuat melingkar pada pinggangku. “Aku gak tau udah ngomong ini berapa kali sama kamu ai, kalau aku itu beruntung banget punya kamu di hidupku. Kenapa kamu cantik banget dah ai. Cantik, cantik, cantik.”

Fuck, fuck, fuck.

Gema Restupati tak pernah punya reputasi gagal dalam hal memujaku. Setiap bait kata puja yang keluar dari bibirnya layaknya fakta yang harus dunia ketahui. Karena tak pernah ada sirat kebohongan yang kutemukan pada netranya kala berucap. Kamu salah, Bukankah aku yang begitu beruntung punya kamu Gema Restupati.

Kudorong dadanya lebih keras dari yang sebelumnya, hingga kulitnya menempel pada sprei kasur milikku.

Kini aku yang membubuhi wajahnya dengan kecupan. Tahi lalat yang tersebar di wajahnya, tak ada yang luput atas kecupanku. Aku suka akan bintik-bintik tahi lalat yang ada di wajahnya. Menambah kesan manis akan parasnya.

Turun pada ceruk lehernya yang menjadi spot paling kusuka kala menghirup aroma tubuhnya. Juga menjadi spot yang tak bisa lepas dari jamahan bibirku kali ini.

Dada bidang hingga perut kini juga sudah rampung bibirku jamah.

“Cari posisi enak dulu ai, biar kamu nyaman.”

Kami akhirnya berdiri, handuk yang tadinya melekat pada tubuh Gema entah kapan terlepas dan sudah tergeletak di lantai. Lantas Gema membantuku menanggalkan tiap helai busanaku. Hingga tak tersisa satupun.

Kini kami sudah ada dalam posisi paling nyaman. Gema berada di atas tubuhku dengan satu tangan sebagai tumpuan.

Bibir kami menyatu lewat lumatan yang begitu dalam, saling menginvasi, lidah saling sapa serta saliva yang dibuat saling berpindah.

Bibirku berhasil mengeluarkan lenguhan akibat rasa nikmat yang timbul saat tangan lincah Gema meremas buah dada sintalku kelewat agresif.

Putingku yang mengeras dimanjakan dengan jari-jarinya. Dipilinnya dengan sempurna hingga tubuhku membusung pertanda suka serta meminta lebih.

Akhirnya dia raup payudara dengan mulutnya, yang sebelumnya telah berhasil menghiasi leherku penuh dengan ruam keunguan.

Lidahnya begitu lihai memainkan putingku yang begitu menegang. Aku hanya bisa mengeluarkan suara acak namun tersirat penuh rasa nikmat.

“Udah basah banget ai,” Erangan penuh nikmat keluar dari mulutku sebab tangan Gema menyapa pusat diriku di bawah sana.

“Bi, udah basah banget. Masukin, please.” Aku merengek karena Gema tak kunjung merangsek masuk, sibuk menggesek dan mencubit klistorisku.

“Bentar ya ai, masih mau main dulu.”

Gema benar-benar membuat kepalaku kalang kabut. Organ pengecapnya menari di atas liang kewanitaanku dengan penuh kelihaian.

Puas dengan permainannya, Gema bangkit. Yang aku tebak akan mengambil bungkusan pengaman yang biasanya sudah ada di dalam laci samping kasur.

“Bi, gak usah pake temen.” Aku buru-buru menahan pergerakannya, agar tidak mengambilnya. “Aku minum obat kok.”

“Kamu masih minum obat, ai pake obat tuh gak baik, ada resikonya nanti.”

Please bi. Mau langsung aja.”

Akhirnya Gema menurutiku. Dia urungkan mengambil pengaman. Peluh yang membasahi dahiku dia usap, lumatan pada bibir kembali dia berikan.

Jarinya bergerilya di bawah sana. Tiga jarinya dibawa memasuki liang kewanitaanku. Tempo yang dia lakukan disesuaikan dengan derap nafas dan suara yang keluar dari bibirku.

Sungguhan, anggun betul tiap-tiap jamahan yang kamu beri Gema Restupati. Bagaimana aku bisa menolak jika rasa seperti ini yang kau suguhkan. Aku ini kecanduan.

“Ai aku masukin ya,” aku hanya mengangguk, sebab pernyataan ini yang aku tunggu.

Cengkraman pada rambut hitam milikinya semakin erat, kala milik Gema masuk dengan sempurna ke dalam liang kewanitaanku.

“Sakit ai?”

“Jambak terus gapapa ai, atau ke punggungku juga gapapa ai.”

“Aku gerakin pelan-pelan ya ai.”

Miliknya di dalam sana bergerak keluar masuk perlahan, bahkan sangat pelan. Gema menunggu rasa sakitku terganti dengan rasa nikmat hingga bisa menambah tempo gerakannya.

“Masih sakit gak bi?” aku gelengkan kepala, karena rasanya memang aku seperti dibawa terbang begitu tinggi.

Tempo gerakan dia percepat kala aku mendesah nikmat. Menumbuk liang kewanitaanku dengan semangat, hingga menyentuh titik paling sensitif di dalam sana.

Lenguhan panjang serta kaki yang bergetar, pelepasanku akhirnya capai puncak, begitu pun Gema.

Cairan hangat memenuhi rahimku.

“Ai, sekali lagi mau gak?”

Akhirnya pelepasan kedua kami juga terjadi bersamaan. Gema berbaring di sebelahku dengan menetralkan deru nafas setelahnya.

Gema Restupati ternyata juga tak memiliki catatan buruk, perihal memberi afeksi yang kelewat nikmat.

Cairan pada tubuh telah dibersihkan, Gema merangkumku dalam rengkuhan.

“Ai mau nanya sesuatu deh.”

“Apa bi? tanya apa?”

“Kamu ada kepikiran buat nikah gak sih?.”

“Kenapa nanya gitu, kamu emang gak ada rencana buat nikah gitu.”

“Hah, ya ada ai, apalagi ibuk tuh sebenernya udah nanyain terus.” Ungkapnya hati-hati.

“Seriusan bi? kenapa kamu gak bilang sama aku” Gema mengangguk.

“Aku pengen bicarain ini juga sebenarnya sama kamu, jadinya ngambil cuti. Aku takut nikah itu gak ada dalam rencana kamu ai. Kamu tuh selalu bilang kalau hidup berumah tangga itu susah, jadi aku ragu. Tapi kali ini beraniin buat nanya ke kamu. Aku gak masalah kalau kamu emang maunya nyaman kaya gini aja, aku bisalah ngomong ke ibuk.”

Aku cubit perutnya, karena kesal dengan ucapannya. Dia menahan sakit dan mengernyit heran.

“Bi, bukan karena itu trus aku gak mau nikah. Aku juga gak mau egois, nikah bagaimanapun harus ada dalam rencanaku bi.”

“Ai kamu serius, tau gitu aku lamar kamu sekalian aja.”

“Enak aja, persiapan dulu lah bi akunya.”

“Kalo gitu pas aku pulang besok kamu harus siap.” Aku tersenyum sumringah melihat antusiasnya dia.

Gema Restupati benar-benar tak punya celah. Dia dengan segala perangainya mampu membuatku jatuh berkali-kali pada dirinya.

makaricks, 2022 🌷

Mendiami sudut bar dengan satu gelas wine tampaknya membuatku larut dalam giat lamunan. Menghiraukan derap bising lantunan nada milik disc jockey yang memenuhi isi ruangan.

Hidup dengan label wanita karir gila kerja hanya karena haus validasi, seringkali kegiatan akhir pekan kuhabiskan dengan menenggak wine atau cairan memabukkan yang lain.

Dengan percaya kuakui bahwa aku memang haus akan validasi, sebab apa yang mati-matian ku lakukan seolah tak berarti. Katanya hanya hasil dari privilege yang tengah kumiliki; putri pemilik perusahaan.

Bukan mau menyangkal masalah privilege, tapi setidaknya bahwa ada waktu dan energi yang juga ku korbankan. Tolong sedikit bisa menghargai.

Tak jarang runguku terusik kala tak sengaja gunjingan digelar pada pantri kantor, entah siapa sang pelopor.

Lamunanku diusik oleh seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahku, yang kuyakini seorang pria tanpa harus memandangnya.

Saat usikan kedua, aku mencoba menelaah wajah seperti apa yang dia punya. Sampai berani mengusik acara minumku malam ini, dengan menawarkan sebotol vodka yang dimilikinya.

Goddam. mengapa ada makhluk begitu tampan di sini Tuhan.

Entah kenapa tanpa pikir panjang, sisa wine yang kupunya buru-buru ku tenggak habis, agar segera diisi vodka miliknya.

Sebaik itu Tuhan memang, aku yang sedang mendosa bisa-bisanya dikirimi salah satu makhluknya yang begitu rupawan.

Setampan itu memang, hingga aku tak berhenti merapalkanya kata puja meski tak lantang ku sampaikan.

Sekuat tenaga aku tahan, agar tak terus-terusan memandang wajahnya. Aku bisa dianggap gila nantinya.

Persetan akan tingkat toleran minumku yang rendah, aku terus mengiyakan tiap cairan yang dituangkan.

“Can i found out your name?”

“aren't things like that unimportant for a meeting like this?” bukankah benar, yang seperti ini tidak perlu adanya identitas.

Dia diam, mungkin setuju dengan apa yang kubilang barusan. Sampai ada getaran yang mengganggunya ternyata berasal dari ponsel di balik saku celananya.

keycard room yang turut jatuh dari sakunya berhasil mencuri perhatianku, hingga kami saling pandang.

Aku yang sudah di bawah pengaruh cairan memabukkan, buru-buru terlebih dulu mengaisnya.

“Do i have to help this too?” pertanyaan kulayangkan, karena jelas bukan dengan keycard room yang dibawa dia tak hanya butuh sekedar teman menghabiskan vodka miliknya.

Tapi dia malah tak menjawab, maka entah bagaimana justru aku pula yang menjawab. “Sure, after this one has finished”

Tak peduli akan dianggap wanita gampangan, karena kepalang mabuk akan paras dan cairan vodkanya.

“What's your name?” kini aku yang bertanya padanya, saat aku dan dia sudah berada di sebuah kamar bernomor 043, dengan tangan yang sudah menggantung pada lehernya.

“Didn't you say earlier it wasn't important.”

“No, your name is important this time, I have to moan your name right?”

Ah Shit, tingkat mabuk ku dibuat semakin tinggi hanya karena senyum tipisnya.

“Gara, Segara.”

Kala bibirnya berhenti menyebut namanya, ku mulai lebih dulu sesi cumbu, lewat lumatan bibir yang kelewat candu. Dia biarkan aku menginvasi rongga mulutnya, serta tangan yang tak lepas membelai dada bidangnya.

Ada yang juga ku beri kecupan manis begitu dalam, yakni tahi lalat di bawah mata kanan miliknya. Tak luput pula bagian yang lainnya, karena aku tak mau menjadi merugi malam ini.

Saat rapat tubuh ku beri jarak, nafas yang beradu kian memburu. Aku hanya mau menandaskan gaun merahku, agar dia puas menyentuh tiap inci bagian kulitku.

Kubantu pula dia yang ingin mengikuti tubuh polos ku, menanggalkan kain yang menutup tubuh kekarnya. Bisa ku tebak bahwasanya dia tak pernah absen berolahraga, lewat tubuh berototnya.

Kini dia yang menjadi rakus akan bibir yang sebelumnya ku bubuhi gincu merah hati. Lenguhan tidak aku tahan, kubiarkan lolos sebagaimana mestinya.

Kubiarkan tubuhku meronta mengemis afeksi darinya, bukankah esok hari kami akan melupa.

Buah dadaku begitu menegang kala tangannya mampir dan membelai puncaknya. Tangan lihainya mampu membuatku kelimpungan saat memanjakan dua benda sintalku dengan tangan dan mulutnya. Hingga bibirku tak berhenti menyebut namanya di tengah desahan dan kata sarat akan penuh kenikmatan.

Namanya Segara, yang malam ini mampu membuatku seolah terbang layaknya menikmati surga di atas sana.

Segara namanya, yang malam ini tengah menjadi tuan akan pemilik tubuh polosku yang tak lagi putih bersih, karena diisi dengan ruam keunguan.

Pun jari dan organ pengecapnya yang menari di atas liang kewanitaan, mampu membuatku basah tak karuan.

Segara. Kalau bisa akan aku ingat namanya hingga sadarku kembali menyapa.

Jeritan akan aksinya yang membawa miliknya merangsek masuk pada pusat tubuhku di bawah sana, menjadi tanda bahwa sakitnya luar biasa perih.

Tampaknya sang tuan sedang khawatir, hingga tak berkutik. Yang di bawah sana dibiarkan saja tanpa pergerakan.

“Is it okay? atau mau berhenti saja.”

Gelengan segera ku berikan agar apa yang dilakukan segera dilanjutkan. “It's okay, I trust you Gara.”

Persatuan kulit di bawah sana begitu nikmat, gerakan dengan tempo yang sempurna mampu menumbuk area paling sensitif milikku di dalam sana berkali-kali.

Saling memburu sebuah pelepasan, kulebarkan lagi kakiku agar dia leluasa menumbuk kewanitaanku lebih dalam. Dan dia seolah paham, karena temponya dibuat semakin cepat.

“Fuck.”

Umpatan juga menjadi kata yang lolos dari bibir milik Gara, apalagi miliknya yang sudah semakin membengkak dan semakin terhimpit liang milikku.

“A-aaahhhh”

Desahan panjang serta kakiku yang bergetar menjadi akhir dari buruan, karena masing-masing dari kami telah mencapai sebuah pelepasan. Cairan hangat keluar bersamaan, miliknya memenuhi tiap dinding kewanitaanku, hingga meluber mengalir diantara kedua paha ku.

Setelah pergulatan penuh nafsu, dia yang telah membersihkan tiap bagian kulitku dan miliknya, kini merangkumku dalam sebuah rengkuhan hangat, hingga mata saling terpejam.

Tolong ingatkan aku bahwa namanya Segara, jikalau aku lupa.

—makaricks, 2022 🌷

Segara Prisma Aji hanya anak tunggal yang berusaha penuhi tiap pinta dari dua insan yang terlampau ia hormati.

Ketika pinta tak kunjung dituruti, maka tanya serta sindir terus mereka beri, menggempur pening kepala tiap hari.

Yang diminta kali ini, entah kenapa sulit sekali. Segara dibuat buntu berkali-kali.

Kelewat sibuk penuhi berbagai yang namanya ekspektasi, Segara lupa akan yang satu ini. Ternyata mereka juga ingin.

Perihal dunia percintaan Segara memang sangat lemah. Meski tampang rupawan nan berdompet tebal, nyatanya tangannya kosong tanpa gandengan.

Pun wanita mana yang tak terpikat akan sosok seorang Segara, tampaknya tak ada—Semua yang melihat rupa elok penuh ketegasan miliknya, tak luput dari kata memuja.

Banyak pula yang terang-terangan mendekatinya, dari kalangan model, aktris serta teman kerjanya.

Lantas kenapa?

Jawabannya, hanya saja Segara abai dan tak pernah peka akan tiap aksi para si wanita.

Saat buntu lagi-lagi mendera, maka Segara hanya bisa sedikit keluar dari jalur yang telah disusun apik kedua orang tuanya.

Seperti saat ini, lewat menenggak gelas demi gelas cairan vodka bersama dua teman dekatnya di salah satu club and bar di kawasan jakarta Selatan. Agar sejenak melupakan bising nyaring di kepalanya, serta berbagai titah sang orang tua.

Toleransinya akan alkohol begitu tinggi, meski jarang mengonsumsi. Karena itu, meski telah mengosongkan satu botol vodka, Segara masih mampu menguasai kesadarannya.

Layaknya seorang gadis dengan balutan dress merah maroon di sudut bar yang netranya masih bisa tangkap begitu jelas. Garis lengkung yang terbentuk pada bibir gadis itu tampak begitu sempurna baginya.

Cantik.

Dari sekian banyak jelita yang sempat ada pada radarnya, baru kali ini Segara mau merapal kata penuh damba akan eksistensi seorang jelita.

Hipnotis seolah mencengkram daksa Segara, terlihat dari kedua bola mata yang tak lepas dari obsidian sang jelita di ujung sana.

Dengan segala afirmasi yang ada, Segara jemput peruntungannya akan gadis cantik si pemilik senyum sempurna di sudut bar, berbekal vodka dengan segel utuhnya.

Membawa botol vodka keduanya, Segara meninggalkan table miliknya dan dua kawannya yang entah sudah berada dimana.

“Just one glass of red wine?” pertanyaan retorik Segara layangkan tepat saat sang gadis sedang menyesap gelas berisikan wine.

“Yeah, just having one.” Jawaban diberikan sang gadis tanpa penasaran akan rupa sosok sang penanya. Yang kini duduk di sebelahnya, dengan mata sarat akan memuja paras ayu miliknya.

Segara tengah dibuat mabuk oleh satu botol vodka serta garis lekuk indah objek di depannya. Indra penglihatannya tak lepas dari tiap gerak-gerik sang jelita.

“Want to help me?”

Botol vodka di tangannya, mendarat di meja bar. Segara tawarkan pada sang jelita untuk membantu menenggaknya, berharap jadi ajang saling mengenal.

Tawaran Segara nyatanya mampu buat si jelita menoleh. Sisa wine di gelasnya dia habiskan dalam satu tenggak.

“Sure.” Gelas kosong disodorkan, minta diisi dengan yang ditawarkan. Maka, buru-buru Segara tuangkan, bersamaan rona senang karena tawarannya diiyakan.

Belum ada lagi percakapan diciptakan. hanya komunikasi lewat cairan vodka yang saling dituangkan. Hingga dering ponsel Segara rasakan di saku celananya.

Saling pandang terjadi saat sebuah kartu terjatuh dari saku Segara, ketika berusaha meraih ponselnya.

keycard room

Shit. Segara dibuat menegang sekujur tubuhnya. Hingga melupakan ponsel di genggaman yang tak lagi bersuara.

Tolong ingatkan Segara nanti untuk memutus pertemanannya dengan dua orang yang datang bersamanya hari ini, yang dengan sengaja memasukkan keycard room di sakunya, tanpa izin darinya.

“Do i have to help this too?” tanya si gadis dengan keycard room di tangannya, karena sang pemilik tak kunjung memungutnya.

—makaricks, 2022 🌷

Menjadi dewasa secara angka acap kali membawa tiap-tiap jiwa dan raga pada hadapan peliknya rasa yang ditawarkan semesta.

Kalau tidak merana ya bahagia.

Lantas bagaimana sesungguhnya definisi merana juga bahagia yang kadang kala bergantian mangkir pada tiap insan yang semestinya.

Banyak teori yang telah kubaca, tapi nihil akan jawaban pastinya. Katanya senyum itu gambaran bahagia, lantas kenapa saat aku tersenyum tak jarang malah umpatan serta makian yang muncul dalam hati tanpa suara.

Aku ini bukan wira yang pandai mendefinisikan akan tiap gelenyar nyata yang datang dalam jiwa.

Tampaknya aku buta akan sebuah rasa. Entah aku bahagia atau justru merana, pada akhirnya aku tetap gagal untuk mengenalinya.

Berangkat dari tuntutan yang terus berdatangan, hingga aku samar akan mana tuntutan dan keinginan.

Lahir sebagai putra tunggal, yang katanya banyak icip dunia penuh nikmat dalam balut hangat sebuah keluarga.

Sini para anak tunggal, apa benar yang katanya itu benar adanya?.

Dari pecahnya nyaring suara tangis dari bibir mungilku di tengah-tengah beberapa pasang mata yang penuh harap cemas menanti, sedang menarik masing-masing ujung bibir hingga membentuk sebuah lengkungan.

Sampai pada obsidian diriku yang capai angka dua puluh lima, ekspektasi demi ekspektasi mengalir deras.

Hanya aku sang anak tunggal yang dibuat penuh jejal akan segala bentuk rupa ekspektasi demi wujud insan ideal.

Padahal labeling sebagai anak manja sering kali ku bantah, namun tetap tak diubah. Padahal aku hanya anak adam yang juga penuh hasrat ingin, namun berakhir pada sang pemilik kendali.

Aku di setir habis-habisan demi wujudkan keinginan, hingga wujud asliku jauh terkubur semakin dalam.

Berakhir tak punya pendirian serta kesulitan sekedar memilih pilihan sederhana, karena aku tak pernah punya kuasa, atau sekali saja diberi kuasa.

Demi dua insan yang begitu ku hormati.

Apapun jika dua insan itu yang pinta, maka aku dengan ikhlas turuti adanya. Karena hanya aku yang bisa mereka pinta.

Pun jika harus menggali lebih dalam tuk kubur sang wujud asli milikku, maka akan ku gali sedalam mungkin, hingga tak terlihat sedikit pun.

Akan kubuatkan senyum seindah dan selebar mungkin, tepat saat netra bersitatap.

Kubiarkan, meski hati menangis sesak.

Menjadi dewasa ternyata menjadi ajang asah kemampuan senyum palsu.

—makaricks, 2022 🌷

Kanaya dibuat gusar atasannya itu, karena tidak segera menurutinya untuk segera ke ruangannya.

Telepon kantor galen sengaja gunakan untuk terus menelpon Kanaya. Sengaja agar keinginannya segera terealisasi. Membuat Kanaya berjengit kesal.

“Kenapa Nay?” teman sebelah Naya dibuat kebingungan dengan tingkah Naya dan suara telepon yang terus berdering di mejanya.

“Eeh... ini gue disuruh ke ruangan pak Galen, kayaknya kerjaan gue ada yang nggak beres deh.” bohongnya kepada salah satu rekan kerjanya, yang kebetulan meja kerjanya paling dekat dengan dirinya itu.

“Ya udah nggak usah takut, mending lo cepet kesana deh, bentar lagi jam makan siang.”

Kanaya melihat jam yang melingkar apik pada pergelangan tangannya, benar saja sepuluh menit lagi jam makan siang kantor.

“Iya juga, ya udah nanti kalo gue belum keluar lo makan duluan aja ya.” Yang kemudian diberi anggukan oleh temannya sebagai jawaban.

Sebelum masuk ke dalam ruangan Galen, Kanaya sedikit membenahi kemejanya agar tampak lebih rapi, layaknya baru tiba di kantor pada pagi hari. Bibirnya ia olesi kembali dengan liptint yang sudah sedikit memudar.

Kanaya gugup, jantungnya berdetak tak karuan. Gugupnya sama seperti saat dirinya tengah duduk mengantri menunggu giliran ketika wawancara kerja pertamanya. Hembusan nafas berat ia keluarkan setelah itu, ia gunakan sebagai tanda bahwa dirinya telah siap dengan apa yg terjadi setelahnya.

Tanpa disadarinya rasanya Kanaya sudah jatuh terperosok oleh jurang yang seakan Galen telah ciptakan. Jika saja ia tidak jatuh pada pesonanya pada malam itu, maka akan Kanaya tolak mentah-mentah permintaannya, tak peduli jika ia harus didepak dari kantor nantinya.

Namun nyatanya Kanaya iyakan, berkat jerat pesona sang lanang pada malam sebelumnya.

Diketuknya pintu milik atasanya itu, tak ada jawaban, namun setelahnya pintu dibuka oleh pemiliknya, muncul dari balik pintu sebagai jawaban. Kanaya segera masuk dengan muka was-was.

Galen tutup pintu ruangannya, kemudian ia merengkuh pinggang Kanaya, dituntunnya tubuh itu bersandar pada pintu, satu tangannya bertumpu pada pintu. Ia telusuri garis wajah ayu Kanaya, lalu netranya jatuh pada bibir ranum miliknya.

“Nay, can i kiss you now?” tanya Galen pada juwita di hadapannya, sambil mengusap lembut bibir ranumnya yang sedikit licin akibat liptint yang baru saja dibubuhkan oleh sang pemilik.

Haruskah ia perlu menanyakan itu, pikir Kanaya. Untuk apa Kanaya datang kalau masih harus bertanya. Kanaya seolah dibuat bingung dengan orang didepannya yang saat ini mengungkungnya di depan pintu kerjanya.

Bukankah jika ia mendatanginya berarti Kanaya mengiyakan.

Pandangan keduanya kemudian seolah beradu, Kanaya dengan tatapan bingung sedangkan Galen dengan tatapan lesu dengan mata sayu. Tampaknya benar bahwa Galen butuh distraksi.

Mata dengan lingkaran hitamnya menunjukkan bahwa ia telah bekerja hingga larut malam, bahkan tidak tidur untuk barang satu atau dua hari. Dua minggu sudah ia menjabat sebagai kepala divisi pemasaran di kantor ini, banyak hal yang ternyata ia harus bereskan dari apa kinerja kepala divisi sebelumnya yang cukup berantakan, hingga menyita banyak sekali waktunya.

Dan dengan melihat netra Galen yang penuh pinta, serta air muka yang begitu lesu, maka Kanaya cepat beri jawaban dengan anggukan.

Lalu dengan gerakan pelan, Galen hapus jarak di antara keduanya—yang sebenarnya hampir sudah tidak ada—ia jatuhkan bibirnya pada bibir Kanaya secara singkat.

Hanya sebuah kecupan singkat.

Lalu Galen pandangi lagi lamat-lamat netra Kanaya, seolah meminta izin untuk melakukan lebih. Padahal Kanaya telah menyiapkan diri lebih-lebih dari itu. Kanaya sudah mengizinkan sedari awal.

Kanaya seolah menemukan diri lain pada diri Galen, caranya yang memintanya dengan segala kelembutan, mampu membuatnya layaknya tuan putri.

Matanya yang begitu dalam serta lembut kala menatapnya seolah penuh akan kata damba, layaknya anak anjing yang butuh afeksi majikannya.

Dengan jas yang sudah tidak melekat pada tubuhnya, serta lengan kemeja yang digulung nya hingga siku, membuatnya sedikit tampak berantakan.

Namun anehnya justru menambah kesan semakin tampan saja. Aneh memang.

[alias makin berantakan makin cakep—author]

Maka dengan tangan cekatan, Kanaya tarik terlebih dahulu rahang sang lanang untuk kembali menyatukan bilah bibir yang sudah saling mendamba.

Galen biarkan sang puan mendominasi lumatan demi lumatan, membiarkan Kanaya menginvasi rongga mulutnya terlebih dahulu. Hingga dirasa pasokan oksigen semakin menipis dari keduanya.

Benang saliva membentang diantara keduanya kala pagutan di lepas, dahi yang menempel serta mata yang saling berbicara, keduanya kemudian tersenyum.

Kini Galen yang menguasai ritme kala pagutan kembali terjalin, rongga mulut sang juwita tak ada yang luput dari absensi lidahnya.

Rakus, dan semakin penuh tuntut.

Tautan terjadi begitu lama dan semakin menuntut, Kanaya dibuat kewalahan mengimbangi permainan.

Tekanan di tengkuk sang juwita Galen perdalam, bibir ranum nan manis dia lumat seakan begitu penuh candu. Lenguhan kecil yang turut muncul dari bibir Kanaya menggelitik rungu sang tuan hingga membuat tensinya semakin memanas. Membuatnya menginginkan lagi, lagi dan lagi.

Jika saja bisa Galen lakukan untuk seharian penuh, maka akan ia lakukan. Tapi sadar bahwa sang juwita bisa saja mati karena habisnya pasokan oksigen yang dimilikinya.

Melodi yang menguar akibat pertautan kedua bibir mampu mengaburkan debar jantung keduanya yang saling bersahutan semakin keras.

Pagutan dilepas, Galen beralih turun ke leher jenjang milik Kanaya, kecupan demi kecupan di bubuhkan Galen. Meski tanpa meninggalkan jejak kepemilikan sang puan menggeram nikmat.

Kabut birahi semakin tebal memenuhi kepala Kanaya. Dengan kedua tangannya ia tuntun kepala sang tuan agar turun menjamah dua gundukan sintal miliknya, yang menegang meski masih berbalut kemeja putihnya.

Maka dengan senang hati jika sang juwita yang meminta, Galen turuti dengan kancing kemeja yang sudah tuntas ia lepaskan. Serta bra hitam yang sebelumnya menutupi, luruh terjatuh juga karena kelihaian tangannya.

Puting yang menegang dengan warna merah jambu yang menggoda, Galen sentuh halus dengan kedua tangannya. Jarinya kemudian mempermainkannya dengan gerakan memutar hingga membuat Kanaya membusungkan dadanya.

Tak cukup dengan itu Galen raup salah satunya dengan mulutnya. Sesapan dan jilatan Galen berikan, serta sesekali gigitan hingga Kanaya mendongak atas kenikmatan yang membuat kesadarannya seolah hilang, Kanaya benar-benar dibuat mabuk oleh afeksi manis nan gila yang Galen berikan.

Salah satu tangan yang menganggur milik Galen, Kanaya bawa untuk menyapa miliknya yang sudah basah dibawah sana. Maka lagi-lagi Galen turuti.

Dibawanya terlebih dulu Kanaya pada sofa miliknya, dibaringkan dan di kungkungnya. Kini atensinya hanya menuju ke arah liang surgawi milik sang juwita yang sudah ia lepas celana penutupnya.

Ia jilati dengan sensual klitoris milik Kanaya yang sudah sangat basah. Sesekali ditekannya. Hingga menimbulkan suara desahan yang terus keluar dari bibir Kanaya, yang mengisi ruangan yang awalnya berselimut senyap.

“Tidak akan saya masukkan Kanaya.” Galen memberikan pernyataannya pada Kanaya, saat jemarinya tengah memainkan pusat kewanitaan itu.

Sebelum Kanaya bertanya, Galen sudah melanjutkan perkataannya. “Saya tidak akan tega, kamu masih harus bekerja untuk hari ini Kan.”

Masih harus memikirkan Kanaya dengan pekerjaannya, padahal Galen sejatinya sudah tidak bisa menahan lagi, beruntung sedetik kesadarannya mampu mengingatkan dirinya akan hal itu.

Jika itu maunya maka Kanaya hanya akan mengikuti alurnya, yang jelas ada yang harus segera diselesaikan lewat sebuah jamahan.

Oleh karena itu, jari-jarinya terus menggelitik liang vagina yang sudah membengkak. Gesekan serta cubitan pada klitoris Kanaya juga Galen berikan hingga membuatnya menggelinjang tak karuan.

Kedua paha milik sang juwita diremas, lalu jilatan serta sesapan untuk cairan yang mengalir dari kewanitaan Kanaya, Galen lakukan dengan penuh kelembutan. Hingga saat lidah Galen dibuat memutar di lubang kewanitaan itu, bola mata serta kepala sang puan berputar.

Nafsu kian memburu kala luang kewanitaan Kanaya yang membengkak hampir mencapai pelepasan. Jemari Kanaya bertumpu pada surai hitam legam milik Galen tatkala gesekan terus diberikan dengan begitu piawai.

Sampai pada pelepasannya Kanaya berusaha mengatur nafasnya, sementara Galen dengan rakus menghisap cairan putih itu hingga tak bersisa.

Kanaya masih berusaha menetralkan kembali deru nafasnya, sedangkan Galen membersihkan sisa cairan pada paha milik sang juwita.

“Terima Kasih Kanaya.” Ucap Galen dengan mencuri kecupan di bibir Kanaya setelahnya. “Saya sudah membelikan kamu makan siang, nanti kamu ambil ya.”

Hanya anggukan yang Kanaya lakukan. Kemudian memunguti helaian pakaiannya yang tercecer di lantai ruangan milik atasannya itu.

“Saya pergi ke toilet duluan ya.” Galen pergi meninggalkan Kanaya menuju toilet ruangannya, untuk menuntaskan getaran hebat miliknya yang belum terselesaikan. Akan ia tuntaskan seorang diri, melihat jam istirahat kantor telat habis. Jadi Galen biarkan Kanaya meninggalkan ruangannya.

—makaricks, 2022 🌷

“Kok lo bisa tau itu gue yang punya.”

Ara langsung menyodorkan pertanyaan kepada Gez sambil mendaratkan dirinya pada kursi di depan Gez. Ara berusaha mungkin tidak menatap langsung pada matanya, ia benar-benar berharap bahwa laki-laki di depannya ini sudah lupa terhadapnya dan tidak mengenalinya lagi.

“Lo gak inget sama gue, apa karena gue makin ganteng kali ya.

Ghazy Adnan Magani, yang dulu lo panggil Gani.” Gez perjelas siapa dirinya.

Perkiraannya salah.

Ternyata laki-laki itu mengingatnya. Sedang Ara hanya diam karena tak tau lagi harus merespon bagaimana. Sejujurnya ia merasa sangat canggung.

“Lupa gapapa kali Ra, gue bukan mantan terindahkan”

“Eh gak gitu.” jawab Ara tergesa, karena merasa tidak enak pura-pura lupa terhadapnya.

“Jadi gue mantan terindah nih”

“Hah”

Gez tersenyum tipis dengan tingkah Ara yang berhasil digodanya. Ara salah tingkah.

Semburat merah yang muncul pada pipi Ara, semakin membuatnya malu. Ia mengutuk dirinya sendiri.

“Maaf banget tapi gue buru-buru banget, kalo gue pergi dulu gapapa nih.” Ara teringat akan ia yang harus beres-beres untuk pindahan.

“Ini udah gue pesenin minum, nggak diminum dulu Ra” minuman yang memang sudah tersaji di meja sudah Gez pesan sejak dirinya sampai terlebih dahulu di cafe.

Melihat Ara yang sepertinya memang sedang terburu, Gez tidak mungkin menahannya.

“It's Okay Ra, nih journal book lo” disodorkan buku yang tidak sengaja membawa mereka bertemu kembali.

“Sorry banget ya. Nanti gue hubungin lo lagi, gue pergi dulu ya.”

Ara pamit, tubuhnya dibawa keluar dari cafe tersebut. Sedang Gez di sana masih tidak percaya bahwa yang ia temui itu benar Ara, yang sempat menjadi gadisnya; dulu.

Entah mengapa hatinya seakan merapalkan banyak rasa syukur saat kembali bertemu dengannya lagi.

And without Gez knowing it, he fell again for her


Cw : mature content 🔞

Setelah mengirim pesan kepada Aca, Marel langsung ijin keluar dari ruang rapat bersama anggota BEM itu, tentunya dengan alasan yang sudah dipersiapkan.

Marel tak ingin sahabatnya itu menunggu terlalu lama, karena itu akan merusak mood nya dan berujung akan mendiamkannya. Kalau sudah begitu, akan sulit untuk membujuknya.

Sudah dua minggu sejak kejadian acara dating yang diisi dengan menonton, lalu keduanya malah lepas kontrol. Kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan, ketika ikatan diantara keduanya hanya sebagai sahabat.

Tapi semenjak itu pula, keduanya tidak ada yang berani membahas akan hal itu. Baik Marel maupun Aca keduanya seolah saling menghindari pembahasan tersebut.

Dua minggu sudah, meskipun begitu kedua nya masih bersikap seperti biasa. Keduanya masih dekat tanpa rasa canggung. Seolah kegiatan panas sebelumnya hanya angin lalu.

Marel berdecak kala tempat martabak yang diinginkan Aca lumayan ramai pengunjung, terpaksa dirinya harus mengantri dengan sabar.

Setelah setengah jam lebih, akhirnya keluar dari kerumunan antrian, lantas membuat Marel membuang nafas lega. langsung ia bawa mobilnya melaju kencang agar segera sampai apartemen sahabatnya itu.

Aca sebenarnya tidak terlalu perduli dengan martabak yang akan dibawa Marel untuknya, ia hanya sedang ingin bertemu dengannya. Martabak hanya sebagai alasan saja.

Entah kenapa Aca benar-benar dibuat bingung hari ini, dirinya seakan dibuat gila karena seharian terus memikirkan Marel.

Aca yang terus mengganti channel TV nya merasa semakin bosan menunggu Marel. Tapi setelah itu pintu apartemennya terbuka, ia pura-pura tidak peduli.

Marel segera duduk di sebelah Aca, dan meletakkan martabak pesanan Aca pada nakas di depannya.

“Sorry lama, antri banget” Marel berkata sambil mengusak pelan puncak kepala Aca. Itu yang Aca rindu.

Dibukanya bungkusan martabak, lalu di masukkan ke dalam mulut. Aca seolah begitu menikmati martabaknya.

“Ca ambilin gue minum dong, capek banget gue ngantri.”

“Ambil sendiri kenapa sih, lo gak liat gue lagi makan.”

“Yaelah Ca, bentar doang.” Aca seakan tidak peduli ocehan Marel, ia terus melahap martabaknya.

Marel yang geram melihatnya, lantas mengambil bantal di pangkuan Aca dan melemparnya. Marel memaksa Aca untuk segera berdiri.

Aca berdecak kesal, Marel layaknya bayi yang merengek minta di beri susu. Akhir nya Aca berdiri dan berjalan menuju lemari es nya.

“Gitu kek dari tadi.” Marel tersenyum senang.

Tapi saat Aca berjalan di depannya menuju lemari es, ada sesuatu yang Marel sadari. Ia susul sahabatnya itu yang sudah berdiri membuka pintu kulkas.

Aca sedikit kaget kala merasakan ada tangan yang melingkari pinggangnya dari belakang, kepala di bahunya serta wajah yang menempel pada ceruk lehernya. Aca bisa merasakan hembusan nafas menyapu lehernya.

“Ca, lo sengaja mancing gue ya?” Aca tersenyum tipis yang tak bisa Marel lihat. “Lo lagi pengen hmm?” nafas Marel di lehernya semakin membuatnya meremang.

Aca buang jauh-jauh gengsi dan egonya. Ia balikkan badannya menghadap Marel, lalu tersenyum miring.

Memang. Aca memang sengaja, di balik kaos oversize nya Aca sama sekali tak mengenakan apapun. Ia sengaja, karena sudah hampir gila dibuat sangat menginginkan Marel.

Sentuhan Marel dua minggu lalu ternyata memberinya candu, hingga ia dibuat merindu.

“Anjing, lo beneran sengaja” Marel benar-benar dibuat heran dengan sahabatnya ini yang terang-terangan menggodanya.

“I miss you so bad Marel” Bisikan lembut di telinga Marel membuat kakinya lemas. Namun tetap berdiri tegak di depan Aca.

Marel pandangi lamat-lamat garis wajah sahabatnya yang kelewat indah, diusapnya lembut wajah itu, disingkirkannya beberapa anak rambut yang mengganggu pandangannya, ia selipkan di balik telinga Aca.

Bibir merah nan kenyal diusap Marel dengan ibu jarinya, lalu ia dekatkan wajahnya untuk bisa menggapai bibir itu.

“Nih minumnya, minum dulu” Aca tempelkan satu kaleng minuman soda pada mulut Marel yang hampir menyapa bibir ranumnya. Marel dibuat berdecak kesal, Aca tersenyum senang menggodanya.

Aca tutup pintu lemari es yang sedari tadi masih terbuka, dan memberikan sensasi dingin pada tubuh belakangnya.

Kedua tangan Aca kalungkan pada leher Marel yang sedang menenggak minuman sodanya. Kaleng dibuang, lantas Marel segera menyatukan bibir ranum milik Aca dengan bibir miliknya yang sempat tertunda karena kejailan sahabatnya itu.

Marel angkat tubuh Aca untuk melingkarkan kakinya pada pinggangnya, digendongnya layaknya bayi koala untuk menuju sofa agar kegiatannya nyaman, tanpa melepaskan tautan bibirnya.

Aca berada di pangkuan Marel dan bersandar pada sandaran sofa. Bibir keduanya masih saling bertaut, tidak tergesa, saling bertukar saliva.

Didorongnya tengkuk Aca oleh Marel, untuk mempermudah memperdalam ciumannya.

Selagi mengeksplor rongga mulut sahabatnya, tangan Marel menelusup masuk ke dalam kaos kebesaran milik Aca, dan menemukan payudara sintal tanpa berbalut bra.

Diusap lembut payudara Aca secara bergantian, sesekali meremas, dan memilin puting itu hingga membuatnya semakin mengeras.

“Mpphhh……” lenguhan-lenguhan kecil berhasil keluar dari mulut Aca di sela-sela peraduan lumatan.

Aca memukul-mukul dada Marel serta mendorongnya pelan, nafasnya dirasa sudah habis. Kala pagutan dilepas Aca raup oksigen secara rakus.

Sementara Marel turun ke bawah menuju ceruk leher Aca, membenamkan wajahnya di sana, menghirup aroma sahabatnya yang menyeruak memenuhi hidungnya.

Bibirnya menjilat, menghisap hingga membuat beberapa kissmark di sana. Aca menengadah, mendesah merasakan nikmat.

Marel lepas satu-satunya kain yang membungkus tubuh sahabatnya itu.

Ditangkupnya kedua payudara Aca yang menyembul dengan kedua tangannya, di usapnya memutar, diremasnya perlahan, lalu dijilatnya bergantian.

Puting Aca yang sudah begitu mengeras dimainkan, dijilat, serta sesekali digigitnya kecil. Marel semakin agresif tatkala di tengah kegiatannya dirinya mendongak dan melihat Aca yang menengadah, desahan nikmat yang juga terus keluar dari mulutnya.

“Fuck” Ucap Marel saat dirinya sudah tidak bisa membendung nafsu birahinya, yang di bawah sudah sangat tegang dan minta di keluarkan.

“Masukin sekarang rel, gue juga udah nggak tahan”

Dilucutinya dengan sendiri pakaian Marel, dibuang sembarang, hingga tidak ada satupun helai benang yang menutupi tubuh nya.

Dibaringkannya tubuh Aca di atas sofa, di kecupnya singkat bagian-bagian tubuh sahabatnya itu dari atas hingga turun ke bagian vaginanya.

Disesap, dijilat serta di permainkan klitoris milik Aca dengan lidahnya, didorongnya lidah itu memasuki lubang hangat itu, hingga Aca mendesah keenakan.

“Ahhh…..Marel…..” Desahnya sambil meremas sofa dan rambut Marel.

Jemari Marel mulai membelai lubang vagina Aca, lalu dua jarinya melesak masuk, digerakkan dengan pelan, namun tempo gerakan terus berubah dipercepat.

“Ahhh….Nghhh…..” Marel makin dibuat buat semakin agresif dengan lolosnya desahan-desahan yang keluar dari mulut Aca semakin terdengar jelas.

Junior Marel yang sudah berdiri tegak diurut, kemudian ujungnya digesekkan pada bibir vagina sahabatnya itu, pelan-pelan Marel masukkan hingga penisnya masuk sempurna.

Sementara Aca meringis merasakan perih dan nyeri yang begitu kentara saat junior Marel memenuhi lubang vaginanya.

“Arghhh...sakit…”

“Sabar Ca,” Marel usap peluh yang membasahi kening dan pipi sahabatnya itu, lalu lumatan kembali Marel berikan pada bibir Aca. Lantas, yang di bawah sana mulai bergerak maju mundur.

Tempo yang dilakukan Marel perlahan makin dipercepat, membuat tubuh Aca menggelinjang merasakan kenikmatan, hingga desahan nikmat makin keras yang lolos dari bibirnya, beradu dengan milik Marel yang memenuhi ruangan.

“Ahhh….faster Ma...nghhh...rel—

aku mau keluar….”

Ucap Aca yang bercampur dengan desahan hebat dan menarik rambut Marel. Dirinya sudah ingin mencapai klimaksnya.

“Barengan ya Ca, arghhh…..” Marel yang juga merasakan juniornya semakin membesar dan dijepit kuat oleh vagina Aca, menambah tempo gerakannya.

Marel terus mempercepat dan beberapa kali menghentakan dengan keras dan mengenai spot sensitif milik sahabatnya.

Hentakan entah yang keberapa, akhirnya Marel dan Aca mencapai pelepasannya secara bersamaan.

“Ahhhhh….” Desahan panjang di akhir pun keluar sebagai penutup.

Cairan sperma yang hangat milik Marel memenuhi rahim milik Aca.

“Mau langsung tidur aja, atau mandi dulu Ca?”

“Tidur aja, aku capek.”

“Ya udah bentar” Marel beranjak dari sofa dan mengambil tissue di samping tv, ia bersihkan tubuh Aca dari cairan kenikmatan mereka, juga membersihkan miliknya.

Digendongnya Aca ala bridal style, dibawanya masuk ke dalam kamar dan direbahkannya di atas kasur.

Marel berbaring di sebelahnya dan meletakkan satu tangannya sebagai bantalan Aca, keduanya masih tanpa busana.

“Ca, lo gapapa gue gak pake pengaman?” Tanya Marel ragu.

“Nggak papa, gue udah minum obat, lo nggak usah khawatir Marel.” Jawabnya kelewat santai, kemudian memeluk Marel dan membenamkan wajahnya pada dada bidangnya.

Marel dibuat tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu, rupanya ia benar-benar menggodanya dengan penuh persiapan, senyuman manis pun terbit pada bibir Marel.


cw : mature content 🔞

Hawa dingin malam yang semakin menusuk pertanda bahwa malam sudah semakin petang. Jam dinding yang terpatri dan menggantung di atas televisi sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.

Di ruang tengah ini, aku sengaja menunggu Raka—suamiku yang belum pulang dari kerjanya. Sepertinya hari ini dia sedang lembur hingga sudah larut malam begini belum kunjung pulang.

Usia pernikahan ku dengan Raka baru saja memasuki bulan ke dua. Sudah dua bulan kita tinggal bersama di apartemen milik Raka. Sudah dua bulan pula semenjak kita mengikrarkan janji suci kita di depan orang tua dan para kerabat. Serta dua bulan sudah sejak menikah kami belum sama sekali melakukan hubungan intim layaknya suami istri.

Bukan Raka yang tidak mencintaiku. Justru aku tahu dia begitu mencintaiku, hingga untuk melakukan itu Raka butuh kesiapan diriku, yang entah sampai saat ini aku belum bisa mengizinkan Raka melakukan itu padaku.

Karena suatu alasan yang Raka juga tahu, aku selalu menolak saat Raka beberapa kali meminta akan hal itu. Dan berakhir dengan kata 'maaf' dariku.

Aku tahu Raka sudah susah payah menahan dirinya selama ini. Tapi Raka tak pernah sekalipun menuntunku, dia selalu mengatakan 'tidak apa-apa' padahal jelas-jelas air mukanya mengatakan bahwa dirinya kecewa.

Lantas apakah aku sendiri tidak kecewa?, tentu saja. Aku bahkan merasa lebih kecewa, aku merasa tidak bisa menjadi istri yang baik bagi Raka.

Pernikahan kami masih begitu muda, Raka masih bisa menerima itu dan mencintai ku. Lalu bagaimana dengan bulan dan tahun-tahun selanjutnya?. Apakah aku akan terus menjadi seorang istri yang gagal seperti ini? akankah Raka bersedia untuk terus bersamaku jika aku terus bersikap seperti ini?.

Tepat pukul sebelas lewat lima belas menit, aku mendengar seseorang memasuki unit apartemen. Benar, itu Raka yang baru saja pulang bekerja dengan wajah lesu yang mendominasinya. Raka lantas tersenyum tipis saat melihatku dan mengecup singkat keningku.

“Kamu kenapa gak tidur dulu sayang? Aku udah chat kamu loh bakalan lembur” protes Raka padaku yang masih terjaga menunggu nya pulang.

“Aku gak bisa tidur, kalo kamu belum pulang.”

Raka meletakkan tas miliknya di atas nakas, di lepasnya jas serta dasi yang sudah longgar. Raka lantas membaringkan tubuh lelahnya di atas kedua pahaku sebagai bantalan, mukanya ia sembunyikan menghadap perutku, tangannya ia lingkarkan pada pinggangku.

“Kayak gini dulu ya, aku capek.” keluhnya padaku, rambut hitam legam miliknya ku sugar, sesekali punggungnya kuusap perlahan guna mengalirkan rasa nyaman.

Lima belas menit berlalu Raka terbangun dari tidur singkatnya.

“Mandi dulu ya? udah aku siapin air angetnya” Raka hanya mengangguk lantas berdiri dan mengecup singkat bibirku sebelum beranjak pergi untuk membasuh diri.

Raka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut basahnya. Tubuhnya hanya berbalut handuk dari perut hingga bawah lutut.

Aku yang sedang menyiapkan pakaian untuknya, merasakan tangan yang mulai melingkari perutku dari belakang. Raka meletakkan kepalanya pada ceruk leherku, bisa kurasakan hembusan nafasnya yang menyapa leher jenjangku.

Tangan dingin itu justru memberikan rengkuhan yang begitu hangat, kecupan-kecupan ringan dari bibir manisnya pada leherku membuat bulu kudukku seketika meremang.

Jemari Raka mulai menyusup ke dalam kaos yang menyelimuti tubuhku. Tangannya memberikan sentuhan yang menggelitik luar biasa, seakan jutaan kupu-kupu tengah bersarang di dalam perutku.

Tanpa sadar lenguhan pelan keluar dari mulutku akibat dari cumbuan itu. “Ahhh”

Raka membawa tubuhku untuk berbalik menghadapnya, menatap lamat-lamat setiap inci wajahku. Disisihkan nya rambut yang menghalangi wajahku dan diselipkannya ke belakang telingaku..

“can we do it?, it's okay if you're not ready”

Degup jantungku seolah berpacu kala mendengar kalimat itu keluar dari bibir Raka. Aku terdiam, Mulutku sama sekali tak mampu menjawab.

Raka melihat perubahan air mukaku berubah sendu. “it's okay sayang, next time if you're really fine” dikatakannya dengan mengelus lembut pipiku.

Aku sibuk berkecamuk dengan pikiranku sendiri, banyak hal seolah singgah di benakku. Tapi, rasa takut yang biasa mendominasi kini seolah mulai terkikis. Perasaan berani mulai muncul ke permukaan.

'Apakah hari ini adalah hari itu?' 'Apakah aku bisa?' 'Setidaknya aku harus mulai mencobanya'

Raka hendak memakai kaos yang sudah kusiapkan. Tapi, sebelum kaos itu membungkus tubuhnya aku terlebih dulu merengkuh tubuhnya dari belakang. Ia pun berbalik lantas menatapku.

“I want Rak, but please do it slowly”

“I won't treat you like those bastards 20 years ago, sayang”

Bibir kami lantas bertemu, berpagut dalam satu tautan mesra. Kusambut perlahan bibir manis Raka yang melumat dengan penuh hati-hati bibirku yang memberikan rasa candu.

Lumatan demi lumatan yang dilakukan Raka begitu lembut. Kedua tangannya sibuk melucuti pakaianku, lalu tubuh polosku direbahkan di atas ranjang, ditindihnya lalu ia berikan kecupan-kecupan manis pada bibirku. Kemudian menciumi leherku, menyesapnya hingga meninggalkan bekas kemerahan.

Tubuhku melengkung tatkala tangan Raka mulai menggerayangi payudaraku. Diremasnya pelan dua gundukan itu secara bergantian membuat ku menggeliat frustasi.

Raka memberiku rangsangan yang begitu hebat. Diremas serta sesekali dimainkannya puting payudaraku yang sudah begitu mengeras. Sesekali ia gigit puting yang begitu memerah itu.

Aku dibuatnya menggila dengan setiap sentuhan yang Raka berikan, setiap sentuhannya begitu lembut. Hingga hanya lenguhan dan desahan namanya yang menguar dari mulutku di dalam ruang kamar kami.

“Ahhh…..Raka”

“Ssst….Ahhh….Ahhh”

Mulut Raka bergerak semakin rakus, ia jilati puncak payudaraku, dipermainkan dengan lidahnya yang begitu lihai. Dilahapnya dengan mulutnya secara bergantian. Hingga membuatku menggelinjang hebat.

Lalu perlahan bisa kurasakan tangan Raka mulai merambat turun ke bawah, meraba milik ku yang sudah sangat basah. Menyapa klitorisku dengan jemarinya secara perlahan. Hingga membuat wajahku memerah tersipu.

“Nngghh Rak”

Raka memasukkan satu jarinya ke dalam liang vagina ku, aku tersentak hingga tanganku meremas sprei akibat rasa nyeri yang hadir di bawah sana.

Peluh keluar membasahi tubuh kami, Raka usap pipiku lembut serta ditariknya ke belakang telingaku beberapa anak rambut di wajahku. Ia tatap lamat kedua netraku kemudian mendaratkan kecupan pada bibirku, lalu menjadi lumatan yang berbeda, dimana sedikit lebih menuntut dari permulaan.

Lidahnya menerobos masuk dan mengeksplor tiap bagian dalam mulutku, saling bertaut dan bertukar saliva.

Ia lumat bibirku guna mengaburkan rasa sakit di bawah sana. Mulai digerakkan jari tengah yang menancap di bawah sana perlahan. Aku mendesah ringan di tengah pagutan ketika pergerakan itu mulai menjalarkan rasa nikmat.

“Ahhh…..Nggghh”

Kini sudah dua jari yang bersarang di bawah sana, jari itu Raka gerakkan dengan begitu lihai, tempo gerakan semakin ditambah kala desahan-desahan yang keluar dari bibirku semakin kencang.

Di bawah sana milikku mulai berkedut dan mengetat, hingga akhirnya aku mendapat pelepasan pertamaku. Cairan itu membasahi kedua jari Raka dan mengalir di antara pahaku.

Raka yang masih berbalut handuk segera melepaskannya ketika merasakan miliknya yang sudah menegang di bawah sana. Aku menegang tatkala melihat penis milik Raka yang panjang dan besar serta berdiri tegak membuatku bergidik merinding dan menutup mataku setelahnya.

Gesekan ujung penis Raka bisa aku rasakan pada bibir liang vaginaku. Aku mencengkram kuat punggung Raka ketika penisnya mulai merangsek memasuki liang vaginaku.

Penis Raka teras begitu penuh di bawah sana, kakiku secara otomatis kubuka lebar untuk memberikan akses mudah untuk Raka bergerak.

Raka gerakkan penisnya perlahan, agar aku tak merasakan sakit luar biasa di bawah sana. Tubuhku melengkung, mulutku tak habis meracau dan mendesah ketika gerakan Raka yang semakin menambah tempo kocokannya.

“Ahhh...fas..ter...Rak”

Suara gesekan peraduan kulit saling bersahutan dengan suara desahan dari mulutku serta Raka. Hentakan yang Raka berikan beberapa kali menyentuh titik sensitif milikku. Hingga rasanya sangat mengetat dan mencengkram penis milik Raka.

Raka semakin menambah tempo gerakannya saat merasakan kita berdua hampir memperoleh klimaks, hentakan yang begitu keras membuat kita mengeluarkan cairan secara bersamaan, cairan Raka memenuhi vaginaku, hal itu mampu membuat tubuhku bergetar dan kedua kakiku lemas seketika.

“Thank you sayang, I love you”

Bisikan Raka di telingaku membuat tubuhku meremang, Raka lepas miliknya di bawah sana dan merebahkan dirinya di samping tubuhku. Kita mengatur nafas masing-masing.

“It's fine sayang, you are really fine”

Air mataku tiba-tiba saja menggenang mendengar kalimat itu, dan seketika jatuh membasahi pipiku tatkala Raka membawa tubuh polosku masuk kedalam pelukannya.

“I am Rak?”

Raka mengusap pelan punggungku, memberikan rasa nyaman serta seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.


cw : mature content 🔞

Hawa dingin malam yang semakin menusuk pertanda bahwa malam sudah semakin petang. Jam dinding yang terpatri dan menggantung di atas televisi sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.

Di ruang tengah ini, aku sengaja menunggu Raka—suamiku yang belum pulang dari kerjanya. Sepertinya hari ini dia sedang lembur hingga sudah larut malam begini belum kunjung pulang.

Usia pernikahan ku dengan Raka baru saja memasuki bulan ke dua. Sudah dua bulan kita tinggal bersama di apartemen milik Raka. Sudah dua bulan pula semenjak kita mengikrarkan janji suci kita di depan orang tua dan para kerabat. Serta dua bulan sudah sejak menikah kami belum sama sekali melakukan hubungan intim layaknya suami istri.

Bukan Raka yang tidak mencintaiku. Justru aku tahu dia begitu mencintaiku, hingga untuk melakukan itu Raka butuh kesiapan diriku, yang entah sampai saat ini aku belum bisa mengizinkan Raka melakukan itu padaku.

Karena suatu alasan yang Raka juga tahu, aku selalu menolak saat Raka beberapa kali meminta akan hal itu. Dan berakhir dengan kata 'maaf' dariku.

Aku tahu Raka sudah susah payah menahan dirinya selama ini. Tapi Raka tak pernah sekalipun menuntunku, dia selalu mengatakan 'tidak apa-apa' padahal jelas-jelas air mukanya mengatakan bahwa dirinya kecewa.

Lantas apakah aku sendiri tidak kecewa?, tentu saja. Aku bahkan merasa lebih kecewa, aku merasa tidak bisa menjadi istri yang baik bagi Raka.

Pernikahan kami masih begitu muda, Raka masih bisa menerima itu dan mencintai ku. Lalu bagaimana dengan bulan dan tahun-tahun selanjutnya?. Apakah aku akan terus menjadi seorang istri yang gagal seperti ini? akankah Raka bersedia untuk terus bersamaku jika aku terus bersikap seperti ini?.

Tepat pukul sebelas lewat lima belas menit, aku mendengar seseorang memasuki unit apartemen. Benar, itu Raka yang baru saja pulang bekerja dengan wajah lesu yang mendominasinya. Raka lantas tersenyum tipis saat melihatku dan mengecup singkat keningku.

“Kamu kenapa gak tidur dulu sayang? Aku udah chat kamu loh bakalan lembur” protes Raka padaku yang masih terjaga menunggu nya pulang.

“Aku gak bisa tidur, kalo kamu belum pulang.”

Raka meletakkan tas miliknya di atas nakas, di lepasnya jas serta dasi yang sudah longgar. Raka lantas membaringkan tubuh lelahnya di atas kedua pahaku sebagai bantalan, mukanya ia sembunyikan menghadap perutku, tangannya ia lingkarkan pada pinggangku.

“Kayak gini dulu ya, aku capek.” keluhnya padaku, rambut hitam legam miliknya ku sugar, sesekali punggungnya kuusap perlahan guna mengalirkan rasa nyaman.

Lima belas menit berlalu Raka terbangun dari tidur singkatnya.

“Mandi dulu ya? udah aku siapin air angetnya” Raka hanya mengangguk lantas berdiri dan mengecup singkat bibirku sebelum beranjak pergi untuk membasuh diri.

Raka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut basahnya. Tubuhnya hanya berbalut handuk dari perut hingga bawah lutut.

Aku yang sedang menyiapkan pakaian untuknya, merasakan tangan yang mulai melingkari perutku dari belakang. Raka meletakkan kepalanya pada ceruk leherku, bisa kurasakan hembusan nafasnya yang menyapa leher jenjangku.

Tangan dingin itu justru memberikan rengkuhan yang begitu hangat, kecupan-kecupan ringan dari bibir manisnya pada leherku membuat bulu kudukku seketika meremang.

Jemari Raka mulai menyusup ke dalam kaos yang menyelimuti tubuhku. Tangannya memberikan sentuhan yang menggelitik luar biasa, seakan jutaan kupu-kupu tengah bersarang di dalam perutku.

Tanpa sadar lenguhan pelan keluar dari mulutku akibat dari cumbuan itu. “Ahhh”

Raka membawa tubuhku untuk berbalik menghadapnya, menatap lamat-lamat setiap inci wajahku. Disisihkan nya rambut yang menghalangi wajahku dan diselipkannya ke belakang telingaku..

“can we do it?, it's okay if you're not ready”

Degup jantungku seolah berpacu kala mendengar kalimat itu keluar dari bibir Raka. Aku terdiam, Mulutku sama sekali tak mampu menjawab.

Raka melihat perubahan air mukaku berubah sendu. “it's okay sayang, next time if you're really fine” dikatakannya dengan mengelus lembut pipiku.

Aku sibuk berkecamuk dengan pikiranku sendiri, banyak hal seolah singgah di benakku. Tapi, rasa takut yang biasa mendominasi kini seolah mulai terkikis. Perasaan berani mulai muncul ke permukaan.

'Apakah hari ini adalah hari itu?' 'Apakah aku bisa?' 'Setidaknya aku harus mulai mencobanya'

Raka hendak memakai kaos yang sudah kusiapkan. Tapi, sebelum kaos itu membungkus tubuhnya aku terlebih dulu merengkuh tubuhnya dari belakang. Ia pun berbalik lantas menatapku.

“I want Rak, but please do it slowly”

“I won't treat you like those bastards 20 years ago, sayang”

Bibir kami lantas bertemu, berpagut dalam satu tautan mesra. Kusambut perlahan bibir manis Raka yang melumat dengan penuh hati-hati bibirku yang memberikan rasa candu.

Lumatan demi lumatan yang dilakukan Raka begitu lembut. Kedua tangannya sibuk melucuti pakaianku, lalu tubuh polosku direbahkan di atas ranjang, ditindihnya lalu ia berikan kecupan-kecupan manis pada bibirku. Kemudian menciumi leherku, menyesapnya hingga meninggalkan bekas kemerahan.

Tubuhku melengkung tatkala tangan Raka mulai menggerayangi payudaraku. Diremasnya pelan dua gundukan itu secara bergantian membuat ku menggeliat frustasi.

Raka memberiku rangsangan yang begitu hebat. Diremas serta sesekali dimainkannya puting payudaraku yang sudah begitu mengeras. Sesekali ia gigit puting yang begitu memerah itu.

Aku dibuatnya menggila dengan setiap sentuhan yang Raka berikan, setiap sentuhannya begitu lembut. Hingga hanya lenguhan dan desahan namanya yang menguar dari mulutku di dalam ruang kamar kami.

“Ahhh…..Raka”

“Ssst….Ahhh….Ahhh”

Mulut Raka bergerak semakin rakus, ia jilati puncak payudaraku, dipermainkan dengan lidahnya yang begitu lihai. Dilahapnya dengan mulutnya secara bergantian. Hingga membuatku menggelinjang hebat.

Lalu perlahan bisa kurasakan tangan Raka mulai merambat turun ke bawah, meraba milik ku yang sudah sangat basah. Menyapa klitorisku dengan jemarinya secara perlahan. Hingga membuat wajahku memerah tersipu.

“Nngghh Rak”

Raka memasukkan satu jarinya ke dalam liang vagina ku, aku tersentak hingga tanganku meremas sprei akibat rasa nyeri yang hadir di bawah sana.

Peluh keluar membasahi tubuh kami, Raka usap pipiku lembut serta ditariknya ke belakang telingaku beberapa anak rambut di wajahku. Ia tatap lamat kedua netraku kemudian mendaratkan kecupan pada bibirku, lalu menjadi lumatan yang berbeda, dimana sedikit lebih menuntut dari permulaan.

Lidahnya menerobos masuk dan mengeksplor tiap bagian dalam mulutku, saling bertaut dan bertukar saliva.

Ia lumat bibirku guna mengaburkan rasa sakit di bawah sana. Mulai digerakkan jari tengah yang menancap di bawah sana perlahan. Aku mendesah ringan di tengah pagutan ketika pergerakan itu mulai menjalarkan rasa nikmat.

“Ahhh…..Nggghh”

Kini sudah dua jari yang bersarang di bawah sana, jari itu Raka gerakkan dengan begitu lihai, tempo gerakan semakin ditambah kala desahan-desahan yang keluar dari bibirku semakin kencang.

Di bawah sana milikku mulai berkedut dan mengetat, hingga akhirnya aku mendapat pelepasan pertamaku. Cairan itu membasahi kedua jari Raka dan mengalir di antara pahaku.

Raka yang masih berbalut handuk segera melepaskannya ketika merasakan miliknya yang sudah menegang di bawah sana. Aku menegang tatkala melihat penis milik Raka yang panjang dan besar serta berdiri tegak membuatku bergidik merinding dan menutup mataku setelahnya.

Gesekan ujung penis Raka bisa aku rasakan pada bibir liang vaginaku. Aku mencengkram kuat punggung Raka ketika penisnya mulai merangsek memasuki liang vaginaku.

Penis Raka teras begitu penuh di bawah sana, kakiku secara otomatis kubuka lebar untuk memberikan akses mudah untuk Raka bergerak.

Raka gerakkan penisnya perlahan, agar aku tak merasakan sakit luar biasa di bawah sana. Tubuhku melengkung, mulutku tak habis meracau dan mendesah ketika gerakan Raka yang semakin menambah tempo kocokannya.

“Ahhh...fas..ter...Rak”

Suara gesekan peraduan kulit saling bersahutan dengan suara desahan dari mulutku serta Raka. Hentakan yang Raka berikan beberapa kali menyentuh titik sensitif milikku. Hingga rasanya sangat mengetat dan mencengkram penis milik Raka.

Raka semakin menambah tempo gerakannya saat merasakan kita berdua hampir memperoleh klimaks, hentakan yang begitu keras membuat kita mengeluarkan cairan secara bersamaan, cairan Raka memenuhi vaginaku, hal itu mampu membuat tubuhku bergetar dan kedua kakiku lemas seketika.

“Thank you sayang, I love you”

Bisikan Raka di telingaku membuat tubuhku meremang, Raka lepas miliknya di bawah sana dan merebahkan dirinya di samping tubuhku. Kita mengatur nafas masing-masing.

“It's fine sayang, you are really fine”

Air mataku tiba-tiba saja menggenang mendengar kalimat itu, dan seketika jatuh membasahi pipiku tatkala Raka membawa tubuh polosku masuk kedalam pelukannya.

“I am Rak?”

Raka mengusap pelan punggungku, memberikan rasa nyaman serta seolah mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja.


mature content 🔞 please be a wise, i've warned you.

Acara yang dilakukan dalam rangka penyambutan beberapa karyawan baru oleh divisi pemasaran di salah satu restoran terjadi begitu membosan bagi Galen sebagai pengganti ketua divisi pemasaran yang baru.

Setelah berbincang secara singkat Galen memilih untuk membiarkan anak buah barunya untuk menikmati makanannya, dan dirinya melangkah keluar restoran untuk sekedar mencari udara segar.

Pemindah tugasan Galen di kantor barunya, cukup membuatnya pusing pasalnya dirinya juga harus pindah dari apartemen nya yang lama, sehingga banyak menguras tenaganya.

Saat sudah berada di luar restoran netranya menangkap sosok perempuan dengan satu batang nikotin diapit mulutnya yang belum terbakar, sedangkan tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam saku celananya.

Galen mendekat lalu menyalakan sebuah pemantik tepat di depan batang nikotin milik perempuan itu.

“Kamu cari ini kan?” Tanya Galen kemudian mematikan pemantik api miliknya yang sudah membakar batang nikotin milik perempuan tersebut.

“Pak Galen, kenapa bapak di luar? maaf pak saya malah di sini” Ucap perempuan itu.

“Tidak apa-apa lagipula di dalam membosankan”

“Bapak mau ngerokok juga? tapi maaf pak rokok saya tinggal ini saja.”

“Tidak usah, saya lagi tidak ingin merokok” perempuan itu hanya mengangguk sambil menyesap kemudian mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya.

Keduanya terdiam tak ada yang mengeluarkan suara, hanya asap nikotin dari si perempuan yang begitu menikmati rokok terakhirnya itu.

“Nama kamu siapa?” akhirnya Galen mencoba membuka suara dan menanyakan beberapa hal sekadar untuk basa-basi menghilangkan kecanggungan.

“Kanaya, panggil Naya saja pak” Jawabnya sambil menjatuhkan lalu menginjak sisa batang nikotin yang sudah sangat pendek dengan kaki jenjangnya. “Bapak gak masuk?” Tanya Naya kemudian.

“Memangnya kenapa? nanti saja.”

“Ohh, saya mau ke indomaret depan pak. Mau beli rokok masih sepet mulut saya.”

“Kamu mau yang lain gak?”

“Maksud bapak?” Tanya Naya heran.

“Mau yang lain gak, biar mulut kamu gak sepet. Saya punya, tapi bukan rokok.” Naya mengernyitkan dahinya bingung dengan ucapan Galen. “Kamu tinggal jawab mau apa enggak?”

“Boleh deh pak” Jawab Naya seadanya.

“Kalau begitu kamu ikut saya.” Galen menarik lengan Naya untuk di bawanya ke arah basement tempatnya memarkirkan mobil. Menyuruh Naya untuk duduk di bangku depan dan dirinya kemudian duduk di sebelahnya.

Naya yang bingung dengan tindakan Galen padanya, menatap Galen di sebelahnya penuh selidik. Ketika pintu mobil milik Galen sudah sepenuhnya tertutup, Galen mengalihkan pandangannya kepada Naya yang sedari tadi menatapnya.

Pandangan keduanya bertemu, bola mata keduanya saling beradu lalu kemudian saling mengunci. Diraihnya tengkuk milik Naya oleh Galen. Dengan gerakan yang begitu gesit Galen melumat bibir ranum milik Naya.

Naya terlonjak kaget kemudian mendorong bahu Galen untuk menjauh.

“Kenapa Nay?”

“Tapi pak—Mmphh” belum selesai Naya bicara, Galen kembali menarik tengkuk Naya, dan menyatukan bibirnya kembali. Dilumatnya pelan bibir ranum itu oleh Galen. Hingga membuat Naya mengeluarkan desahan-desahan kecil dari bibirnya.

Ketika Naya sudah mulai mengimbangi ciuman milik Galen, tiba-tiba saja Galen melepas pagutan itu dan membuat Naya berdecak sebal.

“Kamu tunggu dulu sini ya Nay, saya pamit dulu ke yang lain. Jangan kemana-mana saya akan balik cepet.” Galen mengecup singkat bibir Naya kemudian pergi untuk masuk kembali ke dalam restoran.

Naya kesal karena dirinya sudah sangat menikmati lumatan yang diberikan Galen, tapi tiba-tiba saja di tinggal begitu saja. Naya sebenarnya tidak menyangka bahwa atasan barunya itu begitu menarik perhatiannya. Bahkan hanya untuk ciuman berikutnya Naya rela untuk menunggunya.

Lima belas menit berlalu, Galen kembali masuk ke dalam mobilnya dan Naya masih menunggunya. Naya yang merasa kesal sebelumnya, kini bertindak agresif dengan menarik Galen dan kembali menyatukan pagutan yang tadinya belum terselesaikan. Naya meraih bibir Galen dengan rakus, namun Galen melepas pagutan itu.

“Kenapa lagi pak? tadi bapak yang nawarin saya.”

Galen tersenyum tipis, melihat Naya yang terlihat lebih agresif darinya. Padahal mereka baru saja bertemu, Naya sudah sangat menggodanya.

“Jangan di sini Naya, kita pergi dulu dari sini ya?” Naya hanya mengangguk, lantas Galen membawa kemudinya keluar dari parkiran restoran.

Galen melirik Naya sekilas, bisa dilihat bahwa wajah Naya kini berubah sendu. Melihat itu Galen mengarahkan tangan sebelah kirinya mengelus pelan pipi Naya, kemudian memasukkan jari tengahnya ke dalam mulut Naya.

“Isep Nay” Dengan lembut Naya menyesap jari tengah milik Galen, hingga jari itu basah.

Tak sampai situ tangan Galen mengelus paha putih mulus milik Naya yang terekspos di depan mata Galen. Naya yang merasakan itu mengeluarkan lenguhan kecil.

Tangan Galen terus bergerilya masuk ke dalam dress pendek milik Naya, hingga drees tersebut tersingkap dan menampilkan celana dalam hitam yang menutupi kehormatan milik Kanaya.

Tangan Galen menemukan dua gundukan milik Kanaya yang ternyata tidak dilapisi sesuatu apapun. Diremasnya pelan salah satu gundukan itu hingga Naya mendesah yang membuat Galen semakin bersemangat.

“Akhh”

Pandangan Galen yang terfokus pada jalanan, tidak bisa melihat wajah berantakan Naya akibat sentuhannya. Naya menggelinjang dan menggigit bibir bawahnya saat Galen meremas payudaranya.

Mendengar desahan yang terus keluar dari mulut Kanaya, membuat Galen sudah bisa menahan nafsunya yang sudah begitu tinggi. Dibantingnya setir mobil itu di jalanan yang begitu sepi, injakan rem yang begitu mendadak membuat kepala Kanaya hampir terbentur kaca pintu mobil.

“Naya saya sudah tidak kuat, di sini saja tidak apa-apa kan?” Anggukan dari Naya lantas membuat Galen menyuruh Naya untuk pindah ke kursi belakang. Dan Galen melucuti dress yang digunakan Naya. Kini Naya hanya menyisakan celana dalamnya saja.

Tangan Naya juga bergerak untuk membantu melepas kemeja serta celana milik Galen. Suasana di dalam mobil Galen terasa semakin panas.

Kedua tangan Naya di tarik ke atas kepala dengan satu tangan Galen. Di bawah kungkungan Galen Kanaya sudah bisa bergerak sama sekali. Bibir Galen mngecup manis mulai dari kening Kanaya, lalu turun ke pucuk hidung mancung, kemudian turun lagi ke bibir ranum yang begitu merah merekah. Dilumatnya bibir itu lembut.

Lenguhan dari bibir Kanaya terus menguar memenuhi mobil milik Galen. Lumatan yang lembut sudah mulai tergantikan dengan pagutan penuh tuntutan, Galen absen semua hal yang ada di mulut Kanaya. Lidah mereka saling berkaitan dan bertukar saliva. Tangan Galen juga sibuk memilin puting Kanaya yang sudah mengeras.

Kanaya dibuat makin menggila tak kala bibir Galen turun di perpotongan leher miliknya.

“Ahhh...Ahhhh...pak..” Suara desahan Kanaya benar-benar mengisi penuh ruangan mobil Galen. Dan Galen begitu menyukai suara itu, hingga membuatnya tidak ingin berhenti untuk menyentuh setiap inci tubuh Kanaya.

“Desahin nama saya Naya, tidak perlu dengan pak. Galen saja” Perintah Galen pada Kanaya.

Galen tersenyum puas kala melihat banyak tanda kepemilikan yang dibuatnya di leher Kanaya. Kini bibirnya telah berpindah turun ke area payudara sintal milik Kayana.

Kedua payudara itu di raup rakus oleh mulut dan tangan Galen, membuat Kanaya menggelinjang dan membusungkan dadanya.

“Ahhh… Teruskan Galen, Enak banget” Kanaya mendesah serta berceloteh merasakan kenikmatan yang dirasakan akibat sentuhan Galen.

Galen goda payudara Kanaya dengan lidahnya yang menjilati sekitar putingnya yang sudah mengeras, Kanaya dibuat pusing dengan nya.

“Isep Galen” Kanaya yang sudah tidak tahan membusungkan dadanya dan menekan kepala Galen untuk menghisap payudaranya yang begitu tegang.

Mulutnya Sibuk menghisap payudara Kanaya, tangan Galen turun ke bawah untuk meraba daerah kewanitaan Kanaya yang masih terbungkus rapi. Dirabanya dari luar, dan celana dalam Kanaya sudah sangat basah.

“Ahhh… Sssst….Ahhhh” Desahan yang begitu menggoda masuk ke telinga Galen saat dirinya menggesekkan jarinya dari luar celana dalam.

“Kamu sudah sangat basah dibawah sana Kanaya” Yang diajak bicara hanya menggit bibir bawahnya. Galen segera melepas celana dalam milik Kanaya. Saat tangan Galen hendak menyentuk liang Vagina itu Kanaya menahan tangan Galen.

“Saya belum pernah sampai sejauh itu pak” Ucapnya pelan pada Galen, tapi tidak berani menatap wajahnya. Kanaya terlalu malu.

“Kalau begitu harus kamu coba, saya akan pelan-pelan Kanaya.” Galen mencoba meyakinkan Kanaya. Dan hanya anggukan respon yang diberikan oleh Kanaya. Itu saja sudah cukup bagi Galen.

Pelan-pelan Galen usap lubang kewanitaan Kanaya dan di tekan-tekannya klistorisnya. Kanaya menggeliat di buatnya. Jari tengah Galen arahkan ke mulut Kanaya agar dibasahi dengan salivanya. Setelah dihisap dan basah Galen bawa jari tengah lubang vagina milik Kanaya. Perlahan Galen masukkan jari itu ke dalam lubang milik Kanaya.

“Akhhh sa-kit Galen” Kanaya memikik merasakan perih dan nyeri di bawah sana. Galen yang melihatnya langsung melumat bibir Kanaya untuk mengaburkan fokus Kanaya.

“Saya tambah lagi ya?” Tanya Galen di sela-sela lumatannya.

“Pelan-pelan ya”

“Iya” Galen menambahkan satu jari lagi masuk ke dalam lubang vagina Kanaya tanpa melepas pagutan mereka, agar Kanaya tak terlalu merasakan perih di bawah sana. “Aku gerakin ya?” Galen kembali meminta persetujuan dari Kanaya. Kanaya mengangguk.

Galen menggerakkan jarinya begitu pelan, meski begitu Kanaya bisa merasakan begitu nyeri. Hingga menggores punggung Galen dengan kuku jarinya. Galen terus mengocok lubang itu dengan dua jarinya.

“Akhhh, Galen…”

“Masih sakit gak?” Tanya Galen saat melepas pagutan mereka. Kanaya menggeleng pertanda bahwa Galen bisa menambah tempo kocokannya.

“Ahhhh….Galen….Ssstt...Ahhhh”

“Terus Naya, terus desahin nama saya”

Penis Galen sudah menegang di dalam celana dalamnya. Dilepasnya celana itu, dan menampakkan penisnya yang besar dan panjang. Kanaya dibuat melongo melihat kejantanan milik Galen yang sudah begitu tegak.

“Tenang saja Naya, saya akan pelan-pelan” Merasa Kanaya ketakutan dengan penisnya, Galen menenangkannya. Dari laci dasbor depan mobilnya Galen ambil kondom yang tersimpan di sana. Dipakaikan pada kejantanannya, sebelum melesak masuk ke dalam liang surgawi milik Kanaya.

Dilebarkan kaki Kanaya oleh Galen, agar mempermudah akses penisnya untuk masuk nantinya. Digesekkan perlahan ujung penis Galen pada lubang milik Kanaya. Kanaya mendongakkan kepalanya, dia benar-benar dibuat berantakan oleh Galen malam ini.

Pelan-pelan Galen mulai melesakkan penisnya masuk kedalam lubng vagina milik Kanaya. Belum seutuhnya masuk Kanaya sudah memekik kesakitan, tubuhnya serasa dibelah menjadi dua.

“AKHHH…..GALEN” Sambil menarik rambut Galen begitu kuat.

Galen usap pipi Kanaya, diusapnya juga keringat yang keluar bercucuran di wajah Kanaya.

“Kanaya, lihat saya” Kanaya menatap lamat Galen dengan nafasnya yang tidak beraturan. “Relax Kanaya” Dilumatnya kembali bibir Kanaya sambil perlahan memasukkan yang di bawah sana agar masuk sempurna ke dalam lubang milik Kanaya. Kanaya menyalurkan rasa sakitnya lewat tangan yang meremas dan mencakar punggung milik Galen.

Setelah masuk seutuhnya, Galen perlahan menggerakkan penisnya maju mundur hingga suara desahan nikmat yang keluar dari mulut Kanaya. Galen terus menambah tempo pergerakannya hingga suara decakan pertemuan kulit itu begitu mendominasi.

Galen angkat tubuh Kanaya untuk berada di atasnya yang duduk. Galen gerakkan pinggul Kanaya naik turun. Kanaya bisa merasakan suatu kenikmatan yang begitu hebat ketika penis Galen sesekali menyentuh titik sensitifnya.

“Ahhh….Ahhhh...Ahhhh” Suara desahan di keluarkan Kanaya seolah tanpa jeda dan menambah semangat bagi Galen untuk terus menggenjot Kanaya.

Lubang Kanaya dirasakan Galen sudah sangat mengetat dan mengeras, pertanda bahwa Kanaya akan segera mencapai pencapaiannya. Galen terus menambah tempo gerakannya. Benar saja, dengan tiga kali hentakan Kanaya mencapai pelepasannya. Bersamaan dengan sperma Galen yang menyembur di dalam kondom kondomnya.

Cairan yang mengalir di paha milik Kanaya di jilat habis oleh Galen, hingga membuat Kanaya bergidik dibuatnya.

“Terima kasih Kanaya” Galen mengecup singkat bibir Kanaya hingga membuat wajah Kanaya memerah dibuatnya.

“Mau dilanjut di sini apa di apartemen saya Kanaya?” Nampaknya satu ronde belum cukup bagi Galen.

Biarlah mereka melanjutkan entah tetap berada di mobil milik Galen atau apartemen milik Galen. Karena memang Galen akan siap jika harus melakukannya hingga pagi, tergantung Kanaya nantinya.


©makaricks