anotherapi

| tw // self harm


Haidar Laksana, pernah sandang bahagia, tapi patah karena keluarga.

Haidar Laksana, hidupnya diambang rapuh. Diperkosa luka, dipecundangi norma.

Tolong jangan ejek Haidar kalau harus menangis tersedu-sedu di balik gelap pintu kamarnya setiap jam tengah malam tiba.

Tolong jangan hakimi Haidar, kalau terlalu pengecut menggores luka dengan benda pipih favoritnya yang disembunyikan di dalam laci setiap kali berisiknya kepala datang tanpa permisi.

Dia hanya anak laki-laki yang tersungkur, tersandung realita semesta. Bersyukur meskipun hampir gila, nyatanya Haidar masih hidup dengan waras.

BUGH

Maka ketika satu pukulan keras terjun bebas ke wajahnya, Haidar nihil rasa sakit. Karena semesta dan pukulannya jauh lebih sakit.

“Lo apain adek gue? Hah?”

Ganendra Aji Bimantara, berdiri dengan kecewa. Bertanya, kenapa adiknya harus dibawa menyimpang. Kenapa adiknya dirampas, mau dibawa pergi.

BUGH

“Jawab gue!?”

Haidar bisa apa selain diam, karena dia juga tak punya jawaban. Yang dia tahu, dia jatuh suka lalu mau hidup berdua.

| cw; bxb, kata-kata kasar, kenalakan remaja

| Haruto as Abian Lakeswara Jeongwoo as Jagat Sambara


“Woy anjing brengsek, sini lo kalo berani.”

Jadi lokasi para remaja SMA berselisih, saling unjuk diri siapa paling besar nyali dan pantang undur diri. Katanya mencari jati diri, padahal tak ubahnya sekedar mencari validasi. Situasi gang sempit riuh, ricuh, tak terkendali.

“Bangsat, mati lo anjing.” Abian datang terlambat, lesatkan pukulan-pukulan tajam.

Begitu dengar ada anak buahnya diusik di jalanan sempit, Abian langsung lari layaknya menantang mati. Egonya sebagai ketua panglima tempur dilukai.

“Beraninya main licik, bangsat lo semua.” Meneriaki aksi lawan, yang menurutnya begitu hina, tak tahu malu. Menyerang anak buahnya di jalanan sepi, Abian murka.

“Anjing tawuran.”

Jagat sering dengar gang sempit yang dilewatinya pulang sekolah ini, dan menuju tempatnya kerja paruh waktu adalah lokasi tawuran anak sekolahnya dengan sekolah tetangga sering terjadi.

Tapi baru kali ini, Jagat menemui tawuran itu beneran terjadi. Jagat tak mengerti kenapa mereka begitu mudah cari mati. Babak belur, yang diperjuangkan pun sekedar harga diri tongkrongan remaja labil.

Melihat jumlah mereka dengan almamater yang sama, Jagat berasumsi geng dengan almamaternya akan kalah telak.

“Woy, ada polisi bego.” Suara Jagat menggema, menimbulkan keributan baru bagi berandalan gang di sana. Daripada menunggu lama, Jagat lebih pilih supaya pergulatan di depannya bubar tanpa membawa gelar kemenangan.

Jagat menarik bibirnya, tersenyum. Berandalan sok bengis seperti mereka ternyata mudah dikelabui.

Porak-poranda, bingung cari cara buat sembunyi. Yang tadinya lawan jadi kawan, lari beriringan buat lepas dari kejaran polisi. Padahal hanya akal-akalan Jagat supaya tidak perlu ambil jalan memutar, dan tidak perlu ada gajinya yang harus terpotong nanti.

Abian ikut lari, jiwa sok beraninya ikutan luntur. Polisi bukan lawan yang tepat saat seperti ini. Takut-takut kalau kelakuannya di bawa di hadapan orang paling agung di rumahnya.

“Cepetan pergi, ntar gue bayar. Cepet anjing!”

Motor beat Jagat di ujung gang tiba-tiba punya penumpang. Grasak-grusuk minta segera dibawa pergi, entah kemana tidak peduli.

Jagat langsung tancap gas, pergi membawa penumpang baru nya menyusuri gang sempit dengan kecepatan yang di buat buru-buru. Yang di belakang mencengkram bahunya erat, nafas nya acak-acakan sama seperti rambutnya yang terlihat dari kaca spion.

“Turun lo, gue mau kerja.” Motor beat Jagat sudah mendarat di depan sebuah cafe internet. Tempatnya bekerja paruh waktu selepas pulang sekolah.

“Bentar, —Abian merogoh tiap saku, mencari keberadaan dompet, yang kemudian teringat ternyata tertinggal di sekolah beserta tas—Aduh, duit gue di tas ketinggalan di sekolah.”

“Udah kaga usah, dah sono balik lo.”

Hari itu tawuran berakhir tanpa ada pemenang. Kocar-kacir kabur diterjang badai kebohongan mulut Jagat Sambara. Tapi Abian Lakeswara dan yang lainnya tentu tidak mengetahui. Jagat pun tidak akan membuka aib diri.

Abian tatap punggung malaikat penyelamatnya hari ini—setidaknya baginya—sampai menghilang di balik pintu cafe internet. Pun Abian yang berantakan pergi diawasi mata penuh binar punya Jagat Sambara dari balik pintu kaca.

Gang sempit hari ini sepi. Abian berdiri bertumpu pada dinding lusuh penuh coretan abstrak menghalangi cat putih asli. Tidak ada agenda menyerang kubu lawan, atau agenda bertemu di jalanan sempit menggelar tawuran. Abian berdiri sendiri dengan agenda pribadi;

Menghadang pengendara motor beat, Abian hanya ingin membalas budi atas kebaikannya di tempo hari. Tak sudi kalau sampai jadi hutang nanti. Atau ada sesuatu yang menarik diri, sampai sudi menunggu di jalanan sepi.

“Ngapain sih anjing, gue bukan ojek ya monyet.” Jagat terpaksa berhenti. Tidak ada salahnya menuruti manusia kelewat ganteng ini.

“Gue mau bayar tumpangan yang kemarin.” Abian lakeswara mau bayar budi sekaligus perjelas isi hati sebab terpercik nyalang di tempo hari.

Jagat dan Abian, keduanya cuma remaja denial yang belum banyak mengerti perihal asmara apalagi rasa suka. Tidak mengerti bahwa jatuh cinta bisa tentang mereka, bukan melulu yang digariskan norma—laki-laki dan perempuan.

“Gue nggak mau punya utang budi. Bilang aja lo mau berapa?” Abian berdalih, padahal minta tanggung jawab atas kalutnya hati.

“Buset, enak banget ya jadi anak orang kaya. Dah gue ini aja. Simpen aja duit orang tua lo.” Jagat rampas isi saku di dada seragam sekolah Abian; satu bungkus rokok yang mahal harganya bagi Jagat tidak bagi Abian. Itung-itung ngerasain rokok mahal.

Kalau saja Jagat orang tamak, maka isi di balik dadanya mau Jagat sekalian rampas. Padahal tidak tahu saja, kalau Abian juga rela di rampas hatinya, di buat debar setiap harinya.

Yang Jagat tahu selama ini, hidupnya cuma untuk bisa makan. Kerja sana-sini buat nambal perutnya yang kadang masih kosong di tengah malam. Jagat nggak tahu kalau hatinya yang kosong juga perlu diberi makan.

Lagi.

Dua remaja saling bertaut mata di jalanan sempit lagi. Jagat dan Abian punya rasa yang butuh dikasih validasi.

“Jagat, gue suka. Jadi pacar gue mau?”

“Lo punya apa mau jadiin gue pacar?”

Remaja miskin duit dan afeksi seperti Jagat sebenarnya bisa apa. Sok jual mahal, biar terlihat sedikit punya harga diri tinggi. Padahal hati sudah berteriak mengamini.

“Lo mau apa? Gue bisa jadi sugar daddy buat lo, kalo lo mau.”

Sekali lagi siapa Jagat sembara, mau ditanya berapa kali, Abian Lakeswara sudah terlampaui buat hatinya jatuh pada jurang tak berdasar.

Selanjutnya Jagat bisa apa selain mengiyakan. Dan Abian sambut dengan senyum merekah. Hatinya sudah punya tambatan.

Hati bertaut dan jalanan sempit cuma jadi saksi diam dua remaja yang saling lempar senyum dan mulai titip hati masing-masing.

Keduanya cuma dua anak adam yang sama-sama jatuh hati. Jadi tolong jangan dihakimi. Abian hanya kebetulan dititipi harta berlebihan oleh Tuhan dan Jagat tidak, Abian hanya laki-laki yang hatinya maunya dijabat Jagat bukan yang lain.

“Dah gue mau kerja, gausah cringe karena gue bukan cewek cantik ataupun sugar baby apalah itu. Gue masih cowok yang kebetulan punya gelar pacar panglima tempur.”

Jagat dan motor beatnya pergi dengan gelar baru menggantung di lehernya—'sebagai pacar panglima tempur'.


Written by anotherapi

Menjadi tempat yang paling sering Dika kunjungi, Dufan sebenarnya punya makna tersendiri. Bisa dibilang ada kenangan yang buatnya ingin selalu mengenang, dan tak ingin ia lupakan. Maka kembali ke tempat ini adalah pilihan paling serius agar momentum yang pernah ada tidak terenggut oleh lupa.

Weekend akan selalu menjadi hari dimana tempat wisata manapun berakhir dengan lonjakan jumlah para pengunjung. Meskipun hari sabtu, tentu saja Dufan terlihat cukup padat. Apalagi Dika dan Dewa datang sudah begitu siang, dikarenakan tabiat dewa yang bangun kesiangan.

Sinar matahari bahkan sudah terasa seperti membakar kulit keduanya. Dewa hanya bisa misuh-misuh dalam hatinya, karena seharusnya dirinya sedang bermalas-malasan di rumahnya.

“Ini mau kemana dulu Dik?” Dewa bertanya kepada yang punya rencana dan sedang melihat isi ponselnya, mungkin Dika membuatnya menjadi sebuah kegiatan yang begitu terencana dan mencatat di ponsel miliknya.

“Balik atau nggak ganti tempat aja gimana wa, gue ilang mood disini.”

“Anjing banget mood lu Dika, ini lu serius nggak sih?”

“Serius.”

“Yaudah sih ayo aja gue, panas banget anjir.”

Dewa tidak mengerti kenapa Dika menjadi super aneh, baru saja sampai di tempat yang dirinya mau, tapi malah tiba-tiba mengajaknya untuk kembali saja ke kosan hanya karena mood nya.

Tapi Dewa justru tidak banyak protes, karena jujur dirinya tak sanggup kalo harus berada di bawah terik matahari ini untuk beberapa jam kedepan.

“Sialan.” Dika mengumpat ketika mobilnya tiba-tiba sedikit oleng dan kemudian berhenti di tengah perjalanan saat berpindah dari Dufan dan akan mengunjungi sebuah cafe baru atas rekomendasi Dewa.

“Etdah kenapa Dik?”

“Kaga tau, bocor kayaknya.”

“Kampret bener hidup gue sama lu Dik.”

Dika menghela nafas kasar, melihat mobilnya yang mandek di tengah jalan. Dan mempertanyakan kenapa hari ini dirinya harus begitu sial.

“Gimana? lu minta tolong Ian dah.”

“Kaga ah, gue udah banyak ngerepotin si Iyan.”

“Kaga mau apa cemburu?”

Tebakan Dewa sepertinya benar, dari pertanyaan nya saja Dika tidak memberinya suatu jawaban yang memperlihatkan bahwa dirinya menyangkal pertanyaan tersebut.

Dewa sempat melihat sebuah postingan milik temannya satu kelas yaitu Ana yang memposting foto Ian, tampaknya mereka sedang bersama. Dewa sempat pikir itu yang membuat mood Dika tadinya menjadi berubah aneh, namun Dewa mencoba tidak peduli mungkin Dika saja yang memang lagi tidak mood karena hal lain.

Tapi melihat responnya kali ini, sepertinya perubahan mood anehnya tadi juga disebabkan karena hal itu.

| cw ; sexual tension, kissing.


Puncak bogor menjadi destinasi pelarian bagi Ian untuk mengusir penat setelah hari-harinya diisi menjadi tim sukses bagi calon presiden mahasiswa yang kini telah terpilih dan resmi menjabat.

Dika sudah terbiasa dengan ajakan dadakan Ian. Entah sekedar jalan-jalan malam atau liburan singkat ke luar kota motoran atau hal dadakan lainnya. Begitupun juga kali ini, Dika ngikut aja.

Dari kedatangannya di lokasi pertama; Warpat. Dika dan Ian sudah menghabiskan dua mangkok indomie dan dua gelas susu milo hangat. Obrolan mengalir, meja sudah kosong bersisa bungkus rokok dan isinya yang sudah berkurang. Beralih diapit oleh jari-jari milik Ian dan Dika.

kepulan asap rokok keduanya berbaur dengan angin yang sedari tadi juga tidak berhenti mengusik rambut keduanya. Tapi Ian maupun Dika tidak merasa marah, meskipun harus menyisir rambutnya berulang kali dengan jari-jarinya. Keduanya setuju untuk menanti sampai senja datang. Entah apa yang akan disuguhkan senja hari ini, sampai keduanya mau menunggu begitu lama.

“Liat Dik, makin siang makin banyak yang dateng bawa gandengan. lu mana gandengannya?” Ian bertanya sambil tersenyum setelah mengabsen pengunjung warpat yang kebanyakan muda-mudi kasmaran.

Dika yang ditanya ikutan senyum dan sedikit menelisik para pengunjung lain, memastikan kalau Ian tidak salah bicara. “Harusnya gue yang nanya, gandengan lu mana? masa ngajaknya gue mulu.”

“Justru karena itu, gue ngajaknya lu mulu. Ya karena gue kaga punya yang bisa digandeng. Lu mau gue gandeng?”

Dika mesam-mesem, jelas sumringah. Ian seketika membuatnya memerah. Tapi Dika buru-buru mungut warasnya, karena jelas pertanyaan Ian hanyalah sebuah candaan.

“Lu pikir gue kaga bisa nyebrang sendiri pake digandeng segala.”

Yang disuguhkan senja hari ini adalah corak hangat yang membentang menyelimuti apa yang ada di bawahnya. Ian dan Dika beranjak, tujuan keduanya adalah tempat untuk menginap. Dika tidak tahu di mana mereka akan bermalam. Karena lagi-lagi Dika ngikut aja, Ian yang ngatur semuanya.

Glamping; tujuan kedua, adalah pilihan Ian untuk bermalam.

“Anjay cakep banget yan.” Dika terpana dengan pemandangan yang tersaji di depan matanya.

“Suka kan lu, gue kaga pernah salah milih tempat.”

Akhir pekan Dika memang benar kebanyakan diisi dengan mengunjungi tempat-tempat pilihan Ian yang selalu terkesan nyaman, meskipun seringkali dadakan. Sedangkan pilihan Dika melulu hanya Dufan.

Tentu saja Ian memilih tempat bukan hanya dengan pertimbangan yang dirinya suka, tapi juga mempertimbangkan apa yang akan disukai Dika. Ian tidak akan membiarkan orang yang dibawanya sebagai teman urai isi kepalanya yang sedang acak-acakan merasakan ketidaknyamanan. Dan orang itu seringkali adalah Dika.

“Lu gak capek apa Yan?”

Berbaring bersama, setelah menikmati suasana malam dan hamparan bintang yang bergelantungan. Dika lontarkan tanya pada Ian yang tidur terlentang dan mata menengadah menatap langit-langit.

“Capek sih capek Dik, tapi gue seneng kok. Lu tau sendiri gue dari kecil sendiri makanya selalu nyari kesibukan sama orang lain, biar rame aja hidup gue.”

Ian sebagai anak tunggal memang seringkali merasakan rasanya sepi. Mungkin ini juga salah satu alasan Ian suka banget gangguin Dika.

“Diem Dik!”

PLAK

“Anjing sakit goblok.” Ian tidak dengan sengaja menepuk pipi Dika dengan cukup keras, hanya saja nyamuk di pipi Dika seperti sedang menantangnya. Dika ngamuk dan meringis merasakan sensasi panas di pipinya.

Dika masih tak terima, tendangan dilayangkan pada tubuh Ian beruntung tubuhnya tidak terhempas dari sisi kasur.

“Ada nyamuk tadi,” Ian protes tapi sambil ketawa-ketawi karena melihat wajah Dika yang merengut lucu akibat ulahnya. Kalau Dika tahu nyamuknya berhasil kabur pasti lebih ngamuk.

“Sorry Dik, sakit banget emang? coba sini gue liat.

Sebenarnya sakitnya sudah mereda, tapi Dika juga tahu cara bermain-main dengan sedikit melebih-lebihkan. Ian mengusap lembut pipi Dika supaya merah dan marahnya Dika reda.

Merah banget dik, emang gue keras banget tadi?”

“Hah” Dika hilang fokus sejak tangan Ian mampir di pipinya lagi bukan untuk memburu nyamuk.

Nafas Dika pendek-pendek seperti diajak berlari, jantungnya memompa tak terkendali. Sedangkan Ian tak kunjung mengerti kalau gerakan tangannya yang buat pipi Dika makin memerah.

Ian tidak mengerti kenapa pipi Dika justru terlihat makin merah. Ian juga tidak mengerti kenapa fokusnya kini ada yang ambil alih; bibir Dika.

“Bibir lu bagus Dik.” Bukan Ian kalau tidak mengutarakan isi kepalanya. Tapi setidaknya yang kali ini hanya satu point yang disuarakan, sedangkan point lainnya—ingin menciumnya—lebih baik dia simpan.

“Enak buat di cium maksud lu?”

“Dih, kaya jago aja.”

“Yang jelas lebih jago daripada lu.”

Posisi keduanya sama sekali tidak berubah, tangan keduanya masih bertengger di atas pipi Dika dengan jarak tubuh yang begitu minim. Yang berubah kini adalah tensi diantara keduanya setelah jawaban Dika sedikit menekan titik harga diri Ian.

“Ngomong doang, bisa buktiin gak lu?”

“Ntar ketagihan lu yang ada.”

Dika sepertinya salah langkah, boro-boro jago ciuman, terakhir kali dirinya ciuman saja di kelas satu SMA itu pun serampangan. Tapi tubuh Ian yang makin menantang membuat dirinya penasaran.

Darah berdesir, keduanya tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Pandangan sudah jatuh pada masing-masing objek yang jadi perdebatan milik siapa yang paling hebat ketika berjabat.

Seharusnya logika yang menentang keduanya patuhi, bukan malah jadi aksi layaknya dua orang yang kehausan afeksi.

Jiwa kompetitif Ian rasakan pada tautan pertama, ciuman Dika terkesan terburu-buru seolah tak mau ucapannya tadi terbantah.

Tautan kedua Dika biarkan Ian yang yang mendominasi. Lembut dan tidak terburu-buru, Ian membiarkan Dika mengerti bagaimana menikmati waktu. Dika merasa kalah telak, karena ciuman Ian jauh terasa lebih adiktif.

Dika tau keduanya sudah kepalang dikuasai nafsu, tapi Dika nggak tahu pertemanan apa yang akan berlanjut diantara keduanya setelah ini.

Maka ketika ada sesuatu yang menelusup ke dalam kaosnya dan menyapu perutnya, Dika lebih dulu melepas tautan. Menyingkirkan tangan dingin Ian dari dalam kaosnya.

“Mau ngapain Yan?”

Pertanyaan Dika membuat Ian kembali berbaring seperti semula kembali. Nafas keduanya masih tidak beraturan, kemudian muncul tawa di sela-sela mengatur nafas diantara keduanya.

Ian tidak menjawab, dadanya masih naik turun. Dirinya juga bingung.

“Gatau Dik, aneh banget sumpah.”

“Emang, mana ada temenan model kaya gini. Dahlah gue mau tidur, lain kali kalo mau ciuman sama pacar anjing!”

“Bilang aja jagoan gue.”

“Bodo amat, gue ngantuk.”

“Udah mau lulus nyari perkara aja sih.” Bara mengomel tidak memperdulikan Haidar yang mendesis akibat rasa perih di ujung bibirnya.

“Si bangsat yang nyari perkara, mulutnya emang pantes banget buat di tonjok tadi.” Haidar protes dengan wajah merah, masih kesal.

Duduk di sofa, paha Bara jadi sandaran kepala Haidar buat rebah. Dia tatap nanar Haidar yang wajahnya masam dan kacau. Dia sisir surai hitam legam Haidar lembut dengan jarinya, berharap bisa urai isi kepala Haidar yang sedang semrawut, juga hatinya yang ikut sakit.

“Masih bisa nggak sih Bar?”

Bara diam. Rumah Haidar sepi ditambah keheningan di antara keduanya. Hanya isi kepala yang saling bersahutan. Lidah Bara kelu buat jawab pertanyaan Haidar.

“Baru gini aja udah sakit, dunia jahat banget dah.” Haidar mengeluh, dunia kenapa begitu kaku buat mereka yang mau juga ukir bahagia.

Bara lagi-lagi nggak menyahut. Matanya panas, ada yang minta buat bebas lepas. Tangannya bergerak dari surai, turun ke wajah milik Haidar. Telapak tangannya menyapu pahatan yang kelewat indah dicipta Tuhan.

Giliran telapak tangan Haidar yang mampir pada kulit wajah Bara, jarinya mengusap bibirnya lembut. Netra yang bersitatap, saling mengadu.

“Boleh?”

“Lakuin apa yang mau lo lakuin.”

Lewat hembusan nafas yang saling bertegur sapa, bibir yang saling bertaut, serta saliva yang saling ditukar. Air mata yang sudah diberi kebebasan tak luput buat saling bersentuhan, saling tukar rasa sesak milik tuan masing-masing—keduanya menyatu.

Sentuhan dingin bibir keduanya ternyata mampu bawa hangat. Mata yang saling memejam, resapi sesapan lembut yang setiap detiknya sarat akan keputusasaan. Rasa sesak yang tangan Haidar berikan pada tengkuknya, Bara tidak akan protes. Dadanya jauh lebih sesak dari itu.

Di tiap decakan, ada harapan yang terus digantungkan.

Bertukar ciuman tidak pernah terasa sehina ini. Kejadian di kantin sekolah hari ini, seolah beri isyarat bahwa dunia tidak akan pernah mau menjadi sekutunya.

Keduanya tutup afeksi pilu dengan susunan harapan, dan kecupan tipis serta genggaman tangan yang terlampau erat.

‘Dunia kalau nggak mau jadi sekutunya, tolong jangan jahat-jahat ya.’


[haidar, bara] by anotherapi

Menjadi tempat yang paling sering Dika kunjungi, Dufan sebenarnya punya makna tersendiri. Bisa dibilang ada kenangan yang buatnya ingin selalu mengenang, dan tak ingin ia lupakan. Maka kembali ke tempat ini adalah pilihan paling serius agar momentum yang pernah ada tidak terenggut oleh lupa.

Weekend akan selalu menjadi hari dimana tempat wisata manapun berakhir dengan lonjakan jumlah para pengunjung. Meskipun hari sabtu, tentu saja Dufan terlihat cukup padat. Apalagi Dika dan Dewa datang sudah begitu siang, dikarenakan tabiat dewa yang bangun kesiangan.

Sinar matahari bahkan sudah terasa seperti membakar kulit keduanya. Dewa hanya bisa misuh-misuh dalam hatinya, karena seharusnya dirinya sedang bermalas-malasan di rumahnya.

“Ini mau kemana dulu Dik?” Dewa bertanya kepada yang punya rencana dan sedang melihat isi ponselnya, mungkin Dika membuatnya menjadi sebuah kegiatan yang begitu terencana dan mencatat di ponsel miliknya.

“Balik atau nggak ganti tempat aja gimana wa, gue ilang mood disini.”

“Anjing banget mood lu Dika, ini lu serius nggak sih?”

“Serius.”

“Yaudah sih ayo aja gue, panas banget anjir.”

Dewa tidak mengerti kenapa Dika menjadi super aneh, baru saja sampai di tempat yang dirinya mau, tapi malah tiba-tiba mengajaknya untuk kembali saja ke kosan hanya karena mood nya.

Tapi Dewa justru tidak banyak protes, karena jujur dirinya tak sanggup kalo harus berada di bawah terik matahari ini untuk beberapa jam kedepan.

“Sialan.” Dika mengumpat ketika mobilnya tiba-tiba sedikit oleng dan kemudian berhenti di tengah perjalanan saat berpindah dari Dufan dan akan mengunjungi sebuah cafe baru atas rekomendasi Dewa.

“Etdah kenapa Dik?”

“Kaga tau, bocor kayaknya.”

“Kampret bener hidup gue sama lu Dik.”

Dika menghela nafas kasar, melihat mobilnya yang mandek di tengah jalan. Dan mempertanyakan kenapa hari ini dirinya harus begitu sial.

“Gimana? lu minta tolong Ian dah.”

“Kaga ah, gue udah banyak ngerepotin si Iyan.”

“Kaga mau apa cemburu?”

Tebakan Dewa sepertinya benar, dari pertanyaan nya saja Dika tidak memberinya suatu jawaban yang memperlihatkan bahwa dirinya menyangkal pertanyaan tersebut.

Dewa sempat melihat sebuah postingan milik temannya satu kelas yaitu Ana yang memposting foto Ian, tampaknya mereka sedang bersama. Dewa sempat pikir itu yang membuat mood Dika tadinya menjadi berubah aneh, namun Dewa mencoba tidak peduli mungkin Dika saja yang memang lagi tidak mood karena hal lain.

Tapi melihat responnya kali ini, sepertinya perubahan mood anehnya tadi juga disebabkan karena hal itu.

Menjadi tempat yang paling sering Dika kunjungi, Dufan sebenarnya punya makna tersendiri. Bisa dibilang ada kenangan yang buatnya ingin selalu mengenang, dan tak ingin ia lupakan. Maka kembali ke tempat ini adalah pilihan paling serius agar momentum yang pernah ada tidak terenggut oleh lupa.

Weekend akan selalu menjadi hari dimana tempat wisata manapun berakhir dengan lonjakan jumlah para pengunjung. Meskipun hari sabtu, tentu saja Dufan terlihat cukup padat. Apalagi Dika dan Dewa datang sudah begitu siang, dikarenakan tabiat dewa yang bangun kesiangan.

Sinar matahari bahkan sudah terasa seperti membakar kulit keduanya. Dewa hanya bisa misuh-misuh dalam hatinya, karena seharusnya dirinya sedang bermalas-malasan di rumahnya.

“Ini mau kemana dulu Dik?” Dewa bertanya kepada yang punya rencana dan sedang melihat isi ponselnya, mungkin Dika membuatnya menjadi sebuah kegiatan yang begitu terencana dan mencatat di ponsel miliknya.

“Balik atau nggak ganti tempat aja gimana wa, gue ilang mood disini.”

“Anjing banget mood lu Dika, ini lu serius nggak sih?”

“Serius.”

“Yaudah sih ayo aja gue, panas banget anjir.”

Dewa tidak mengerti kenapa Dika menjadi super aneh, baru saja sampai di tempat yang dirinya mau, tapi malah tiba-tiba mengajaknya untuk kembali saja ke kosan hanya karena mood nya.

Tapi Dewa justru tidak banyak protes, karena jujur dirinya tak sanggup kalo harus berada di bawah terik matahari ini untuk beberapa jam kedepan.

“Sialan.” Dika mengumpat ketika mobilnya tiba-tiba sedikit oleng dan kemudian berhenti di tengah perjalanan saat berpindah dari Dufan dan akan mengunjungi sebuah cafe baru atas rekomendasi Dewa.

“Etdah kenapa Dik?”

“Kaga tau, bocor kayaknya.”

“Kampret bener hidup gue sama lu Dik.”

Dika menghela nafas kasar, melihat mobilnya yang mandek di tengah jalan. Dan mempertanyakan kenapa hari ini dirinya harus begitu sial.

“Gimana? lu minta tolong Ian dah.”

“Kaga ah, gue udah banyak ngerepotin si Iyan.”

“Kaga mau apa cemburu?”

Tebakan Dewa sepertinya benar, dari pertanyaan nya saja Dika tidak memberinya suatu jawaban yang memperlihatkan bahwa dirinya menyangkal pertanyaan tersebut.

Dewa sempat melihat sebuah postingan milik temannya satu kelas yaitu Ana yang memposting foto Ian, tampaknya mereka sedang bersama. Dewa sempat pikir itu yang membuat mood Dika tadinya menjadi berubah aneh, namun Dewa mencoba tidak peduli mungkin Dika saja yang memang lagi tidak mood karena hal lain.

Tapi melihat responnya kali ini, sepertinya perubahan mood anehnya tadi juga disebabkan karena hal itu.

Seperti yang Ardio bilang, kali ini Bara nurut.

Tidak seperti beberapa hari kemarin, kebas Haidar sama sekali tidak bisa buat keras kepalanya Bara melunak.

Haidar sudah seperti seorang intel atau bahkan seorang teroris. Bolak-balik masuk komplek perumahan Bara dan hanya berdiam diri.

Yang diharapkan ya cuma perkara Bara mau diajak berdiskusi.

Karena di sekolah pun Haidar juga tidak diberi ruang, selalu menghindar. Atau pasang muka buta dan tuli buat eksistensi Haidar.

“Thank you, Bar.”

“Langsung jalan aja bisa kan?”

Bara masih dengan egonya. Haidar bisa apa selain menuruti, daripada berubah gagal kunjungi makam papanya hari ini.

Sesi perjalan terisi dengan yang namanya sunyi. Ada yang berisik, tapi cuma isi kepala Haidar yang nggak bisa dilantangkan.

Meributkan banyak hal tentang orang di sebelahnya. Tapi Haidar cuma jadi pengecut yang pilih bungkam, karena belum berani lawan ego milik Bara yang kelewat tinggi.

Nanti, nanti Haidar akan berusaha lagi.

“Gue tunggu di sini.” Katanya. Lihat Haidar yang sudah mau turun dari mobilnya. Karena sudah sampai pada titik tujuan.

Pintu mobil ditutup kembali. Haidar diam sejenak.

“Bar, gue minta maaf karena udah ganggu lo hari ini. Tapi buat apa gue nyari temen ke sini kalo cuma nemenin sampe sini.

Kalo gue bisa sendiri, gue bakalan dateng sendiri Bar. Tapi sayangnya gue belum sanggup kalo harus sendirian.”

Haidar tidak bohong. Dan Bara sebenarnya tahu betul itu dari sorot mata Haidar. Sempat terus ingin bersikap bodo amat tapi berakhir mengekor di balik punggung Haidar.

Karena inilah Bara seringkali menghindar, karena dia tahu bakalan kalah.

Senyum getir dari Haidar muncul saat berhasil berjongkok di depan makam papanya.

“Pa, maaf ya Idar baru bisa dateng hari ini.” Batu nisan diusap lembut.

“Pa, Idar dateng sama orang yang sama lagi. Masih nggak berani dateng sendiri hehe.

Kalau nanti dia nggak mau, Idar dateng sama siapa ya pa?”

Tawa renyah Haidar sebenarnya menutup luka yang tiba-tiba menganga di hatinya.

“Maaf ya kemarin Idar kelamaan di rumah mama. Papa nggak kangen kan? Nggak sih pasti, yang kangen pasti aku doang.

Mama hidupnya udah bahagia pa. Idar seneng, papa juga pasti seneng kan?

Papa nggak usah khawatir lagi.” Kali ini tubuh Haidar bergetar, air matanya juga sudah tidak bisa bersembunyi lagi.

“Haidar tahu pa, selama ini yang papa khawatirin cuma hidup aku sama mama.

Papa selalu nyalahin diri sendiri.” Tubuhnya bergetar makin hebat, tangisnya juga halangi dia buat nafas tanpa sesak.

Semua memori dia bersama papa dan mamanya berputar memenuhi otaknya. Mengembalikan masa paling bahagia dan sedih saat hidup bersama.

Bara nggak tahu harus apa, tapi hatinya tiba-tiba juga ikutan sesak.

Rangkulan buat Haidar, Bara harap sedikit bantu buat hatinya tenang. Karena tidak ada yang bisa Bara lakukan selain itu.

Buyar.

Semua keluh kesah yang mau Haidar sampaikan seketika buyar, hanya karena tangan sesorang yang merangkul pundaknya.

Dia mau berteriak supaya papanya dengar, kalau tangan ini yang biasanya dia buat bersandar, sedang marah. Tapi masih mau menawarkan jadi sandaran. Tapi Haidar nggak sanggup, buat nafas saja dia tersengal-sengal.

“Tenangin diri Dar, papa lo pasti nggak suka liat lo nangis.” Punggungnya Bara usap dengan lembut.

Tidak sanggup lagi buat bicara, Haidar hanya banyak rapalkan doa buat papanya lewat batinnya.

Tapi dari segala doa, ada frasa yang dia sisipkan;

Pa, doain juga dong dia marahnya jangan lama-lama. Idar udah nggak sanggup.

“Mau abis berapa batang lagi sih lo?”

Semrawutnya hati, mungkin Ardio tidak bisa mengerti. Tapi kawannya yang berwajah kusut dan hisap batang rokok keempatnya ini dia coba pahami.

Bolos di hari pertama sebagai kelas 12, setidaknya buat Ardio bisa lepas dari kebosanan ruang kelasnya.

“Bagus dong doi balik, jadi lo kaga galau-galau lagi.”

“Gue capek Ar, polanya bakalan terus kayak gini.” katanya. Hisap sisa batang keempatnya, diinjak supaya mati bara apinya juga hatinya kalo bisa.

“Kaga ada yang tahu masa depan ego, besok aja lo nggak ngerti bakalan ngapain aja.

Bar,” panggilnya. Ada beban yang dia rasa perlu buat bantu kawannya ini urai sesuatu yang ruwet di kepalanya.

Bara jawab cuma dengan deheman. Merasa kecewa karena yang baru diapit jarinya adalah batang terakhir yang tersisa.

“Lo, Haidar itu manusia paling keren yang pernah ada dalam hidup gue.

Gak semua orang punya berani. Selagi bisa diperjuangkan, tolong buat dilanjutkan.” Sama sekali tidak ada kalimat yang Ardio jadikan bualan.

Dia anggap jatuh cintanya Haidar, Bara itu keren. Melawan dunia dan segala isi bacotannya.

Ardio pikir cinta tidak lagi bisa diukur oleh standar norma.

Dari awal sampai sekarang Ardio akan jadi orang nomor satu yang siap jadi tameng buat mereka. Mendukung apapun yang mereka sanggup jalani, meski tahu konsekuensi apa yang ditanggungnya nanti.

“Gue tahu Haidar mungkin salah, tapi lo liat, dia masih perjuangin lo dengan balik lagi.”

Dibawah langit yang merunduk dengan rona abu, Bara nggak tahu dunia mau uji dia dengan rasakan kehilangan berapa kali lagi nanti. Tapi dia mau jatuh cintanya nggak sia-sia.

Tapi apa ada akhir bahagia buat dua orang yang jatuh cintanya salah?

Berkali-kali Haidar menekan tombol 'calling' namun tidak ada satupun yang berhasil mendapatkan respon.

Nafasnya sudah tidak beraturan akibat berusaha menemukan si manis yang tiba-tiba berubah sikap dan menghilang.

Haidar mengacak rambutnya dengan frustasi sambil terus berjalan gusar berharap bisa dengan cepat menemukan keberadaan Bara.

Kata 'udahan' yang Bara sampaikan melalui kolom pesan, turut berdengung mendominasi kebisingan kepala Haidar saat ini. Karenanya Haidar sama sekali tidak bisa berpikir jernih, apa yang salah dari dirinya belum sempat dia temukan.

Langkahnya tiba-tiba berhenti saat panggilan kesekian kalinya ternyata mendapat respon oleh Bara yang entah saat ini sedang berada dimana. Betulan sudah pulang meninggalkan bandara sesuai apa yang dia bilang atau justru berbohong dan bersembunyi dari pandangan Haidar.

“Bar, kamu di mana?” Haidar berusaha selembut dan setenang mungkin agar yang di seberang telepon mau berkompromi. Tapi tidak ada jawaban sama sekali yang Haidar dengar, bahkan ketika pertanyaan sudah diulanginya sebanyak tiga kali.

“Oke, kalau kamu nggak mau kasih tahu kamu di mana,” Haidar masih berusaha menahan sikap supaya tidak jadi makin keruh. “Tolong kasih tau ya, aku salah apa kali ini, biar aku ngerti harus gimana.”

Setidaknya Haidar mau mendengar bahwa yang di seberang masih mau berbicara kepadanya. Bukan hanya diam dan mengabaikannya. Sebab diam dan abainya Bara adalah lemah yang sulit Haidar bisa sanggup hadapi. Dan kali ini harapannya dikabulkan, tapi dengan suara isak tangis yang ditahan dari seberang, bukan suara jawaban atas pertanyaan.

“Kamu nangis Bar?” Haidar tanya dengan penuh hati-hati.

Kaki yang tadinya berdiri tegak seketika lemas, seakan sudah tak mampu menopang diri. Apa yang Haidar dengar benar-benar buat dirinya merasakan sesak luar biasa ketika lagi-lagi hanya suara isak tangis yang didengar.

“Hey, jangan nangis,” Meskipun begitu, Haidar biarkan meski tak sanggup mendengar. Haidar sadar Bara mungkin perlu melepas apa yang menyesakki dadanya. Cukup lama, hingga yang terjadi sama sekali tak ada kata yang saling terdengar dari keduanya.

“Udah ya, jangan nangis. I'm sorry.” Meskipun belum paham apa kesalahannya, Haidar berusaha untuk menjadi selayaknya orang yang harus meminta maaf. “Aku nggak akan kemana-mana, ayo ngobrol kalau kamu udah siap.”

“Nggak Haidar.” Jawaban dari seberang telepon terdengar sedikit bergetar.“Berhenti di sini, dan silahkan pergi.”

“Aku bilang stop bilang gitu Bara!.” Apa yang Haidar tahan sejak tadi sepertinya sudah muak ingin meledak. “Segampang itukah kamu ngomong kaya gitu?” Tak habis pikir bagaimana Bara beberapa kali mengucapkannya semudah itu. Apa yang sudah mereka lewati selama ini tampaknya sama sekali tidak ada yang memiliki arti bagi Bara.

“Apa sulitnya Haidar, justru akan lebih mudah semuanya kan? daripada bikin capek doang.”

“Sekarang, kamu mau gimana?”

“Stop di sini.”

“Oke, tapi aku tanya sekali lagi apa alasannya Bar?”

“Udah gak ada lagi yang bisa dilanjut Dar, percuma. Dari awal hubungan ini gak ada gunanya.”

“Bukan jawaban itu yang gue mau Bara!, lo ngerti gak sih apa yang gue tanyain?”

Tiba-tiba hening. Haidar tak tahu apa yang Bara lakukan. Ucapannya barusan cukup membuat dirinya sendiri terkejut.

Sudah cukup rasanya Haidar dibuat bertanya-tanya, dan harus kalah dengan keras kepalanya Bara.

Terdengar tawa kecil dari seberang serta nafas yang turut tak wajar.

“Ngomong Bara, ngomong!.” Haidar terus berusaha mendesak Bara.

“Selamat buat beasiswa Belanda.”

Akhirnya Haidar berhenti mengira-ngira letak tingkah salahnya. Dirinya bungkam seketika, tidak ada satu katapun yang menyambut ucapan selamat dari Bara. Mulut dan lidahnya terasa beku.

“Apa lagi yang mau lo denger? apa lagi Haidar? kenapa sekarang lo diem? Hah?”

“Bar, aku bisa jelasin.”

“Tapi gue gak butuh Haidar.”

“Bar, ini gak sep-”

“Stop this fucking shit Haidar, gue bilang gue gak butuh.”

Ketika suara panggilan ‘Haidar’ dari si manis yang biasa terdengar begitu candu sehingga ingin dirinya dengar berulang-ulang, kini justru berubah tak ingin Haidar dengar berulang kali. Yang biasanya menghasilkan rasa menggelitik, kini menghasilkan rasa sesak.

“Aku harus apa Bara?”

“Pergi Haidar, selesai di sini. Karena semua rencana lo gak akan pernah ada gue di dalamnya.”

“Enggak Bar,” Haidar menggelengkan kepalanya seakan yang di seberang telepon bisa melihatnya. “Kamu salah.”

“Pergi Haidar,” Suara Bara kali ini melemah, menyiratkan bahwa Bara sudah lelah dengan semua yang terjadi. Yang ada dalam pikirnya saat ini hanyalah ingin mengakhiri semuanya. Dan Haidar sudah kehilangan kata-kata untuk menyakinkan Bara.

Keduanya ada dalam kabut emosi yang sama, sehingga perdebatan lewat sambungan telepon berakhir dengan luka yang sama terasa perih. Sebab, bukan hanya sambungan telepon yang berakhir tapi juga hubungan keduanya yang dipaksakan untuk berakhir.