| cw; bxb, kata-kata kasar,
kenalakan remaja
| Haruto as Abian Lakeswara
Jeongwoo as Jagat Sambara
“Woy anjing brengsek, sini lo kalo berani.”
Jadi lokasi para remaja SMA berselisih, saling unjuk diri siapa paling besar nyali dan pantang undur diri. Katanya mencari jati diri, padahal tak ubahnya sekedar mencari validasi. Situasi gang sempit riuh, ricuh, tak terkendali.
“Bangsat, mati lo anjing.” Abian datang terlambat, lesatkan pukulan-pukulan tajam.
Begitu dengar ada anak buahnya diusik di jalanan sempit, Abian langsung lari layaknya menantang mati. Egonya sebagai ketua panglima tempur dilukai.
“Beraninya main licik, bangsat lo semua.” Meneriaki aksi lawan, yang menurutnya begitu hina, tak tahu malu. Menyerang anak buahnya di jalanan sepi, Abian murka.
“Anjing tawuran.”
Jagat sering dengar gang sempit yang dilewatinya pulang sekolah ini, dan menuju tempatnya kerja paruh waktu adalah lokasi tawuran anak sekolahnya dengan sekolah tetangga sering terjadi.
Tapi baru kali ini, Jagat menemui tawuran itu beneran terjadi. Jagat tak mengerti kenapa mereka begitu mudah cari mati. Babak belur, yang diperjuangkan pun sekedar harga diri tongkrongan remaja labil.
Melihat jumlah mereka dengan almamater yang sama, Jagat berasumsi geng dengan almamaternya akan kalah telak.
“Woy, ada polisi bego.” Suara Jagat menggema, menimbulkan keributan baru bagi berandalan gang di sana. Daripada menunggu lama, Jagat lebih pilih supaya pergulatan di depannya bubar tanpa membawa gelar kemenangan.
Jagat menarik bibirnya, tersenyum. Berandalan sok bengis seperti mereka ternyata mudah dikelabui.
Porak-poranda, bingung cari cara buat sembunyi. Yang tadinya lawan jadi kawan, lari beriringan buat lepas dari kejaran polisi. Padahal hanya akal-akalan Jagat supaya tidak perlu ambil jalan memutar, dan tidak perlu ada gajinya yang harus terpotong nanti.
Abian ikut lari, jiwa sok beraninya ikutan luntur. Polisi bukan lawan yang tepat saat seperti ini. Takut-takut kalau kelakuannya di bawa di hadapan orang paling agung di rumahnya.
“Cepetan pergi, ntar gue bayar. Cepet anjing!”
Motor beat Jagat di ujung gang tiba-tiba punya penumpang. Grasak-grusuk minta segera dibawa pergi, entah kemana tidak peduli.
Jagat langsung tancap gas, pergi membawa penumpang baru nya menyusuri gang sempit dengan kecepatan yang di buat buru-buru. Yang di belakang mencengkram bahunya erat, nafas nya acak-acakan sama seperti rambutnya yang terlihat dari kaca spion.
“Turun lo, gue mau kerja.” Motor beat Jagat sudah mendarat di depan sebuah cafe internet. Tempatnya bekerja paruh waktu selepas pulang sekolah.
“Bentar, —Abian merogoh tiap saku, mencari keberadaan dompet, yang kemudian teringat ternyata tertinggal di sekolah beserta tas—Aduh, duit gue di tas ketinggalan di sekolah.”
“Udah kaga usah, dah sono balik lo.”
Hari itu tawuran berakhir tanpa ada pemenang. Kocar-kacir kabur diterjang badai kebohongan mulut Jagat Sambara. Tapi Abian Lakeswara dan yang lainnya tentu tidak mengetahui. Jagat pun tidak akan membuka aib diri.
Abian tatap punggung malaikat penyelamatnya hari ini—setidaknya baginya—sampai menghilang di balik pintu cafe internet. Pun Abian yang berantakan pergi diawasi mata penuh binar punya Jagat Sambara dari balik pintu kaca.
—
Gang sempit hari ini sepi. Abian berdiri bertumpu pada dinding lusuh penuh coretan abstrak menghalangi cat putih asli. Tidak ada agenda menyerang kubu lawan, atau agenda bertemu di jalanan sempit menggelar tawuran. Abian berdiri sendiri dengan agenda pribadi;
Menghadang pengendara motor beat, Abian hanya ingin membalas budi atas kebaikannya di tempo hari. Tak sudi kalau sampai jadi hutang nanti. Atau ada sesuatu yang menarik diri, sampai sudi menunggu di jalanan sepi.
“Ngapain sih anjing, gue bukan ojek ya monyet.” Jagat terpaksa berhenti. Tidak ada salahnya menuruti manusia kelewat ganteng ini.
“Gue mau bayar tumpangan yang kemarin.” Abian lakeswara mau bayar budi sekaligus perjelas isi hati sebab terpercik nyalang di tempo hari.
Jagat dan Abian, keduanya cuma remaja denial yang belum banyak mengerti perihal asmara apalagi rasa suka. Tidak mengerti bahwa jatuh cinta bisa tentang mereka, bukan melulu yang digariskan norma—laki-laki dan perempuan.
“Gue nggak mau punya utang budi. Bilang aja lo mau berapa?” Abian berdalih, padahal minta tanggung jawab atas kalutnya hati.
“Buset, enak banget ya jadi anak orang kaya. Dah gue ini aja. Simpen aja duit orang tua lo.” Jagat rampas isi saku di dada seragam sekolah Abian; satu bungkus rokok yang mahal harganya bagi Jagat tidak bagi Abian. Itung-itung ngerasain rokok mahal.
Kalau saja Jagat orang tamak, maka isi di balik dadanya mau Jagat sekalian rampas. Padahal tidak tahu saja, kalau Abian juga rela di rampas hatinya, di buat debar setiap harinya.
Yang Jagat tahu selama ini, hidupnya cuma untuk bisa makan. Kerja sana-sini buat nambal perutnya yang kadang masih kosong di tengah malam. Jagat nggak tahu kalau hatinya yang kosong juga perlu diberi makan.
—
Lagi.
Dua remaja saling bertaut mata di jalanan sempit lagi. Jagat dan Abian punya rasa yang butuh dikasih validasi.
“Jagat, gue suka. Jadi pacar gue mau?”
“Lo punya apa mau jadiin gue pacar?”
Remaja miskin duit dan afeksi seperti Jagat sebenarnya bisa apa. Sok jual mahal, biar terlihat sedikit punya harga diri tinggi. Padahal hati sudah berteriak mengamini.
“Lo mau apa? Gue bisa jadi sugar daddy buat lo, kalo lo mau.”
Sekali lagi siapa Jagat sembara, mau ditanya berapa kali, Abian Lakeswara sudah terlampaui buat hatinya jatuh pada jurang tak berdasar.
Selanjutnya Jagat bisa apa selain mengiyakan. Dan Abian sambut dengan senyum merekah. Hatinya sudah punya tambatan.
Hati bertaut dan jalanan sempit cuma jadi saksi diam dua remaja yang saling lempar senyum dan mulai titip hati masing-masing.
Keduanya cuma dua anak adam yang sama-sama jatuh hati. Jadi tolong jangan dihakimi. Abian hanya kebetulan dititipi harta berlebihan oleh Tuhan dan Jagat tidak, Abian hanya laki-laki yang hatinya maunya dijabat Jagat bukan yang lain.
“Dah gue mau kerja, gausah cringe karena gue bukan cewek cantik ataupun sugar baby apalah itu. Gue masih cowok yang kebetulan punya gelar pacar panglima tempur.”
Jagat dan motor beatnya pergi dengan gelar baru menggantung di lehernya—'sebagai pacar panglima tempur'.
Written by anotherapi