Janji Pulang
Cukup lama Bara terdiam, hanya memandang piring dengan sisa-sisa bumbu batagornya. Banyak hal yang muncul yang ingin disampaikan dan tanyakan, tapi berujung mandek tercekat pada ujung tenggorokan.
Bara tahu bahwa ini juga akan jadi keputusan berat bagi Haidar. Dirinya hanya takut bahwa ujung dari bicaranya nanti tak bisa tahan Haidar buat tetap di sini.
Wajahnya dia usap acak, surainya dia sugar ke belakang kemudian tatap Haidar yang sedari tadi cemas menunggu tanggapannya. “Jadi, pergi atau enggak, keputusan kamu?”
Haidar merasa kesulitan untuk menjawab, sebab netra Bara yang menusuk tepat di kedua netranya. Menuntut jawaban pasti mana yang akan keluar dari mulut Haidar.
“Aku bakalan nyusul Mama.” Satu bulir air bening berhasil lolos dari salah satu netra Bara. Rasa sesak juga tiba-tiba memenuhi rongga dadanya.
Hidup Haidar bukan hanya berisi Bara, tapi ada banyak hal yang bahkan lebih penting dan lebih layak untuk Haidar tuju. Dan Bara sadar itu.
“Bagus kalo gitu, Mama kamu juga pasti khawatir kamu di sini sendirian.” Bukan jawaban seperti ini yang Haidar harapkan. Bukan jawaban seperti ini yang Haidar mau.
Apa yang bisa Bara lakukan, menahan Haidar hanya akan jadi ide buruk dari segala ide buruk yang ada. Nantinya takut banyak penyesalan.
Jalannya masih panjang, masih harus menemui banyak persimpangan, maka ketika Haidar pilih untuk pergi dan tak membawa apa yang dia temui di persimpangan saat ini, Bara rasa jalannya akan lebih ringan.
“Kamu mau berangkat kapan emang? apa aja yang kamu butuhin, kalo butuh bantuan bilang aja.” seketika hati Haidar mencolos.
Seharusnya Bara marah, bukan malah tahan emosinya seperti ini. Seharusnya Bara tahan supaya Haidarnya tidak pergi, bukan pura-pura tidak apa-apa seperti ini.
“Sini piring kamu, ntar kalo kering susah dicuci.” Bara hendak berdiri, pergi membawa dua piring untuk di cuci sekaligus pergi karena tak sanggup menahan sesak dadanya di hadapan Haidar.
“Bar, jangan kaya gini.” Haidar tahan tangan Bara.
“Trus aku harus apa, nahan kamu supaya gak pergi, itu namanya aku egois Haidar.”
“Sama sekali enggak egois Bara.”
“Oke, kalau aku bilang jangan pergi, kamu mau tetap di sini?” Bara benar, nyatanya Haidar tak sanggup beri jawab. “Kenapa diem?”
Haidar ambil alih piring di tangan Bara dan di letakkan kembali di atas meja. Dia rengkuh Bara supaya tenang hatinya.
“Kenapa diem Haidar?” Air mata yang dari tadi sudah brontak ingin lolos lepas, kini jatuh terjun bebas melewati pipi Bara yang bertumpu pada bahu Haidar.
Tangisnya tumpah, sebab sekelebat bayangan hidup tanpa ada Haidar memenuhi dirinya bergantian.
Haidar angkat kepala Bara agar netranya sejajar dengan netra Bara. Dia hapus air mata Bara yang basahi spot favoritnya untuk mendaratkan sebuah cubitan.
“Hey, aku janji pasti pulang, dan gak akan lama di sana. Kalo tadi kamu bilang egois, aku mau kamu egois. Aku mau kamu tahan aku di sini. I know, aku akan tetap pergi tapi untuk pulang lagi karena kamu ada di sini.”
Haidar benarkan rambut hitam Bara yang basah akibat peluh. “Aku janji pulang secepatnya.”
Haidar cium kening Bara cukup lama, supaya bisa dia simpan dan ingat nantinya. Kalau-kalau perginya nanti dilanda rindu.
Keduanya saling rangkum, lewati beberapa kali sulitnya bersama kini seolah di uji dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Setelah ini kalau mampu terlewati, sulit setinggi apa lagi yang harus dua adam ini lewati.