anotherapi

Janji Pulang

Cukup lama Bara terdiam, hanya memandang piring dengan sisa-sisa bumbu batagornya. Banyak hal yang muncul yang ingin disampaikan dan tanyakan, tapi berujung mandek tercekat pada ujung tenggorokan.

Bara tahu bahwa ini juga akan jadi keputusan berat bagi Haidar. Dirinya hanya takut bahwa ujung dari bicaranya nanti tak bisa tahan Haidar buat tetap di sini.

Wajahnya dia usap acak, surainya dia sugar ke belakang kemudian tatap Haidar yang sedari tadi cemas menunggu tanggapannya. “Jadi, pergi atau enggak, keputusan kamu?”

Haidar merasa kesulitan untuk menjawab, sebab netra Bara yang menusuk tepat di kedua netranya. Menuntut jawaban pasti mana yang akan keluar dari mulut Haidar.

“Aku bakalan nyusul Mama.” Satu bulir air bening berhasil lolos dari salah satu netra Bara. Rasa sesak juga tiba-tiba memenuhi rongga dadanya.

Hidup Haidar bukan hanya berisi Bara, tapi ada banyak hal yang bahkan lebih penting dan lebih layak untuk Haidar tuju. Dan Bara sadar itu.

“Bagus kalo gitu, Mama kamu juga pasti khawatir kamu di sini sendirian.” Bukan jawaban seperti ini yang Haidar harapkan. Bukan jawaban seperti ini yang Haidar mau.

Apa yang bisa Bara lakukan, menahan Haidar hanya akan jadi ide buruk dari segala ide buruk yang ada. Nantinya takut banyak penyesalan.

Jalannya masih panjang, masih harus menemui banyak persimpangan, maka ketika Haidar pilih untuk pergi dan tak membawa apa yang dia temui di persimpangan saat ini, Bara rasa jalannya akan lebih ringan.

“Kamu mau berangkat kapan emang? apa aja yang kamu butuhin, kalo butuh bantuan bilang aja.” seketika hati Haidar mencolos.

Seharusnya Bara marah, bukan malah tahan emosinya seperti ini. Seharusnya Bara tahan supaya Haidarnya tidak pergi, bukan pura-pura tidak apa-apa seperti ini.

“Sini piring kamu, ntar kalo kering susah dicuci.” Bara hendak berdiri, pergi membawa dua piring untuk di cuci sekaligus pergi karena tak sanggup menahan sesak dadanya di hadapan Haidar.

“Bar, jangan kaya gini.” Haidar tahan tangan Bara.

“Trus aku harus apa, nahan kamu supaya gak pergi, itu namanya aku egois Haidar.”

“Sama sekali enggak egois Bara.”

“Oke, kalau aku bilang jangan pergi, kamu mau tetap di sini?” Bara benar, nyatanya Haidar tak sanggup beri jawab. “Kenapa diem?”

Haidar ambil alih piring di tangan Bara dan di letakkan kembali di atas meja. Dia rengkuh Bara supaya tenang hatinya.

“Kenapa diem Haidar?” Air mata yang dari tadi sudah brontak ingin lolos lepas, kini jatuh terjun bebas melewati pipi Bara yang bertumpu pada bahu Haidar.

Tangisnya tumpah, sebab sekelebat bayangan hidup tanpa ada Haidar memenuhi dirinya bergantian.

Haidar angkat kepala Bara agar netranya sejajar dengan netra Bara. Dia hapus air mata Bara yang basahi spot favoritnya untuk mendaratkan sebuah cubitan.

“Hey, aku janji pasti pulang, dan gak akan lama di sana. Kalo tadi kamu bilang egois, aku mau kamu egois. Aku mau kamu tahan aku di sini. I know, aku akan tetap pergi tapi untuk pulang lagi karena kamu ada di sini.”

Haidar benarkan rambut hitam Bara yang basah akibat peluh. “Aku janji pulang secepatnya.”

Haidar cium kening Bara cukup lama, supaya bisa dia simpan dan ingat nantinya. Kalau-kalau perginya nanti dilanda rindu.

Keduanya saling rangkum, lewati beberapa kali sulitnya bersama kini seolah di uji dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Setelah ini kalau mampu terlewati, sulit setinggi apa lagi yang harus dua adam ini lewati.

Bara menenteng dua bungkus batagor kesukaan Haidar. Rencananya Bara akan mengajak Haidar bicara bahwa bahwa pola hidupnya sekarang sudah salah kaprah, dan berharap hubungannya setelah ini bisa kembali baik-baik lagi seperti dulu.

Saat masuk ke dalam rumah Haidar, Bara kembali di sambut dengan bau asap rokok yang begitu menyengat. Haidar tengah sibuk dengan rokok di sela-sela jarinya, serta begitu tampak berantakan.

“Rokok lagi, stop Haidar.”

“Kamu ngapain ke sini?”

“Aku bawain kamu batagor, makan dulu yuk. Jangan rokok mulu.”

“Kamu makan aja sendiri. Aku gak laper.” Haidar benar-benar tak memperdulikan Bara yang sudah dengan niatnya membawakan dirinya makanan kesukaannya.

“Aku tau kamu belum makan, berhenti ngerokok aku bilang.” Bara merebut rokok di tangan Haidar, dibuangnya rokok itu.

“Kenapa di buang sih, aku bilang aku gak laper, ngerti gak sih.”

“Terserah kamu, sekarang makan dulu pokoknya ayokkk. “Bara membawa lengan Haidar untuk mengikuti dirinya.

“Stop Bar,” Haidar melepaskan lengannya dari cengkraman Bara. “Kalo masih gak paham sama omongan gue, mending lo keluar dari sini.”

Hati Bara sungguh sakit mendengar ucapan yang baru saja di lontarkan Haidar.

“Mau kamu apa sih?”

“Lo keluar dari sini, gak usah banyak bacot soal hidup gue lagi.”

Netra Bara tiba-tiba dipenuhi dengan cairan bening. Bara tatap lamat-lamat orang di depannya yang sudah bukan lagi Haidarnya yang dulu.

“Oke, kamu pikir aku gak capek selama ini. Setelah ini aku gak akan ganggu kamu lagi, lakuin apapun yang kamu mau.” Bara segera berjalan keluar dari rumah Haidar, karena tak sanggup lagi tahan pelupuk matanya yang sudah penuh dan akan jatuh isinya.

Tepat di depan gerbang rumah Haidar, Bara berhenti, berjongkok dan menangis. Rasanya begitu sesak, dirinya tak sanggup lagi berdiri.

'Ternyata cuma sampe sini ya Dar, buat apa dulu aku harus jatuh sama kamu.'

Bara merasa bodoh, khawatirnya selama ini akan Haidar yang pergi dan rasa sukanya yang harus bertahan sendiri. Akhirnya benar terjadi. Rasanya begitu sakit.

Harusnya dari awal Bara tak pernah turuti hati, dan Haidarnya yang ternyata ingkar janji.

Sudah cukup lama Haidar membawa mobil menyusuri jalanan malam, hingga sepi para pengendara dan tinggal beberapa saja yang melintas serta berpapasan.

Sudah banyak pula lagu-lagu yang Haidar dan Bara putar, mulai dari lagu-lagu lawas milik The Beatles hingga lagu-lagu Justin Bieber turut mengisi ruang diantara keduanya.

“Berhenti dulu yuk.” Sebenarnya ajakan Haidar tidak lebih kepada pernyataan, karena belum sempat Bara memberinya jawab, Haidar sudah menghentikan laju mobil tersebut.

Genggaman tangan Haidar lepas, kemudian keluar dari mobil dan diikuti Bara. Keduanya duduk di atas trotoar.

Merokok menjadi salah satu opsi yang Haidar pilih untuk dia lakukan saat ini. Sedang Bara memilih untuk tidak menghisap batang racun tersebut.

“Are you happy?” Bara tahu Haidarnya lagi senang hati, tapi ada sedikit rasa penasaran bagaimana rasa bahagia yang Haidar rasakan saat ini.

Haidar terseyum, sebelum memberikan jawabannya dirinya terlebih dulu menghisap batang rokoknya. “I don't know—

Kembali dengan menghisap rokoknya, Haidar rasanya butuh waktu untuk mengolah kata yang akan disampaikan, karena rasa bahagianya kali ini cukup rumit Haidar rasa.

Aku seneng ngeliat Papa dan perubahannya hari ini, tapi gak tau kenapa ini tuh rasanya abu-abu.” Haidar menoleh, mempertemukan netra keduanya. Berharap Bara bisa paham dengan apa yang sedang dirasakannya.

“Tapi tiba-tiba aku juga ngerasa takut, takut kalau-kalau Papa pergi. Entah Papa yang malam ini pergi karena sudah berganti hari dan jadi Papa yang lain lagi, atau Pergi tanpa kembali karena merasa sudah berpamitan dengan baik malam ini.”

Sadar nafas yang Haidar buang cukup berat, Bara mulai paham dengan bahagia dan khawatirnya Haidar.

“Kalau ini beneran jadi pamitnya Papa, rasanya akan lebih sakit. karena, Papa udah jadi yang Aku mau.” Ujung rokoknya yang sudah menjadi abu karena sibuk urai perasaannya lewat kata, Haidar buang.

“Lebih baik Aku bangun, dengan ngeliat Papa kembali jadi orang yang gak banyak punya rasa peduli.”

Bara tidak pernah tau bagaimana rasanya begitu takut kehilangan, yang Bara tahu adalah bahwa kehilangan adalah sesuatu yang begitu menyakitkan. Apalagi yang pergi tanpa berpamitan.

Antara rasa takut kehilangan dan rasa ketika sudah ditinggalakan, Bara juga tak paham mana yang lebih menyakitkan. Bisa jadi rasa takut kehilangan akan lebih menyakitkan, karena disiksa dengan yang namanya suatu ketidakpastian.

Bara tak memberi tanggapan sepatah katapun, dia hanya mengambil satu tangan Haidar yang menganggur. Dia genggam dan sembunyikan di balik kemejanya. Ibu jarinya bergerak pelan di atas tangan Haidar, berharap memberikan rasa tenang dan meredakan rasa khawatirnya akan banyak hal.

Bara bukan orang yang pandai memberikan respon dengan rangkaian kata manis atau kata yang mampu memberikan solusi dan ketenangan hati. Tapi dia akan menjadi telinga yang siap sedia mendengar semua keluh kesah Haidar. Setidaknya Haidar tidak harus merasakan khawatirnya seorang diri.

“Kehilangan kamu sekarang juga jadi bagian rasa takutku Bar.” Haidar injak batang rokoknya yang tinggal putungnya saja. “Jangan kemana-kemana,”

Bara sanggupi dengan anggukan, dan mempererat yang tersembunyi di balik kemejanya.

Keduanya kemudian sama-sama diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing sampai 4rcukup lama.

“Kok aku udah ngantuk ya.” senyum canggung mengiringi Bara menatap Haidar sambil menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menulusup ke dalam dirinya.

“Tadi aja minta sampek pagi, masa udah ngantuk duluan.”

“Ya kan yang bikin ngantuk, gak ngantuk bukan aku. Masuk ajalah mau tidur bentar aja.” Bara berdiri, menepuk celana belakangnya yang mungkin saja ada kotoran yang menempel. Haidar mau tak mau mengikuti.

“Pulang aja biar enak tidurnya, lagian mau ngapain lagi sih.” Melihat Bara yang sudah pasang posisi untuk tidur dengan posisi yang menurutnya tidak nyaman. “Tidur dulu juga gapapa, nanti aku bangunin.”

Rasa kantuk sepertinya benar-benar sudah menguasai Bara, sehingga dirinya mengiyakan ajakan Haidar dan betulan tertidur setelahnya. Hingga tak terasa Haidar sudah membangunkan dirinya.

“Udah nyampek, masuk gih.”

“Lah kok pulang ke rumah, kamu pulangnya?” Bara baru sadar kalau mobilnya berhenti di sekitar kompleks rumahnya.

“Aku udah pesen grab. Tenang aja.”

“Emang ada jam segini?”

“Ada. Dah sana masuk, tidur.”

“Nunggu kamu dulu deh,”

“Mata udah merah banget gitu, lagian drivernya udah deket. Dah sana masuk.” Haidar berniat untuk keluar dari mobil Bara, supaya Bara segera masuk ke rumahnya dan menyelesaikan tidurnya yang belum selesai dan sama sekali tak nyaman.

“Bentar.” Pintu belum terbuka, Bara menahan tangan Haidar untuk tidak buru-buru keluar terlebih dulu.

“Kenapa la— belum selesai kalimatnya Bara menghadiahi pipi kiri Haidar dengan ciuman singkat. —gi.”

Haidar tersenyum, menampilkan gigi-gigi rapihnya. “Tumben banget, kenapa?”

“Aku gak bisa janji tapi aku bisa bilang untuk saat ini aku bakalan gak akan kemana-mana Haidar.”

“Makasih ya.” Haidar tangkup wajah si manis. Sedikit rapikan rambut yang berantakan akibat tidurnya tadi.

“Udah, sana masuk.” Haidar kembali akan membuka pintu mobil.

“Gitu doang.”

“Hah? apanya?” Haidar mengerutkan dahi.

“Tau ah.”

“Kenapa lagi? bilang aja, aku mana tau kalau kamu gak ngomong.”

Bara hanya menyentuh pipi kanannya dengan jari telunjuknya, tanpa ada keberanian sampaikan lewat suara. Dan matanya beri isyarat supaya Haidarnya mendekat.

“Pamrih juga kamu ternyata ya. Sini.” Bara mendekatkan pipi kanannya. Tapi Haidar malah tangkup wajahnya kembali dan memberikan ciuman pada beberapa titik di wajah Haidar. Dahi, pipi kanan dan kiri, hidung. Bara sama sekali tak bisa melawan.

“Ini mau juga gak?” Haidar menatap bibir Bara.

“Ish udah-udah, gak bakalan pulang kamu nanti. Lagian udah dikasihnya sekali malah ngelunjak kamu.” Bara mendorong tubuh Haidar.

“Hahaha, yaudah. Aku keluar ya, kamu langsung masuk.”

“Hmm”

Mobil Bara sudah meninggalkan Haidar yang berdiri sendiri, menunggu driver grab dengan senyum yang tak bisa lepas karena sikap manis Bara yang masih utuh di pikirannya.

Bara dibuat bingung dengan Haidar, dari tadi malam handphone miliknya sudah tidak aktif setelah pesan terakhir. Hari ini pun dirinya tidak masuk kelas, padahal Bara coba tanya yang lain sempat lihat Haidar datang tadi pagi.

Haidar selalu seperti ini, memilih pergi dan menenangkan diri kalau ada yang buat dirinya risau hati.

Sebenarnya Bara sudah hafal, tapi tiap kali Haidarnya menghilang begini, Bara masih saja tak bisa kalau tidak menahan rasa kesal dan khawatirnya.

Setidaknya untuk kali ini Bara tahu harus pergi kemana. Belakang toilet cowok yang berada di pojok sekolah.

Benar.

Haidar ada di sana, berdiri bersandar ke tembok, tangannya mengapit satu batang nikotin.

“Mau dong.” Suara Bara berhasil buat Haidar mau tak mau bersitatap dengan Bara. Dan tanpa sepatah kata Haidar mengeluarkan satu bungkus rokok miliknya dari kantong, dan disodorkan pada Bara.

“Mau yang itu.” Bara malah menunjuk batang rokok yang sedang dihisap oleh Haidar.

Setelah rokok miliknya berpindah kepemilikan, Haidar menghidupkan batang rokok baru.

Beberapa menit keduanya merenung dan sibuk menghisap batang rokok masing-masing. Sesekali mata Haidar pilih buat pandangi Bara, Bara yang sedang merokok di depannya ini entah kenapa buat Haidar tenang hatinya.

Sorry.” Haidarnya akhirnya buka suara. Bara menoleh sekilas.

“Buat?”

“Cemburu.” Haidar jujur bahwa sikapnya kemarin adalah bentuk atas dirinya yang dilingkupi perasaan cemburu.

Bahwa Haidar tiba-tiba tidak memiliki rasa percaya diri. Baranya takut kalau harus berpaling hati, takut posisinya yang sudah sulit ini, harus diambil orang lain.

I know Dar, aku juga minta maaf. Harusnya aku bisa hargai kamu dengan tidak bersikap berlebihan.”

Kalau saja Bara yang di posisi Haidar, dirinya tidak menutup kemungkinan akan bersikap sama seperti Haidar.

“Sulit ya Bar?” Haidar tanya sambil menghembuskan asap rokoknya.

“Kamu serius nanya kaya gitu?” bukankah sudah dari awal kalau keduanya memilih jalan sulit ini.

“Masih sanggup gak?” Bara cuma tanggapi pertanyaan Haidar dengan tawa rendah. Buat apa Bara iyakan dari awal kalau sudah tidak sanggup di tengah jalan.

“Disya, suka sama kamu.”

“Tau, aku sukanya kan kamu.” Ucap Bara sambil menatap netra Haidar. Rokoknya sudah kandas, puntung rokoknya Bara injak dengan sepatunya.

“Kalau gitu kasih tau kalau kamu punya pacar, biar gak kebablasan.”

“Oke.” Bara iyakan maunya Haidar. Nanti biar dia kasih tahu pada Disya, bahwa dia tidak suka dan sudah punya orang yang begitu dicintainya.

Keduanya kemudian saling tertawa, pandangan di antara keduanya tidak pernah bohong, bahwa rasa cinta yang keduanya punya, makin besar dirasa.

Rokok punya Haidar juga kandas, dibuangnya puntung rokok begitu saja. Tangannya dibuka lebar.

“Sini mau peluk dulu.”

Bara tersenyum, Haidarnya sudah kembali. Dirinya berjalan gontai seolah tidak ikhlas memberi pelukan untuk Haidar. Tapi ketika jarak sudah tak lagi jadi penghalang, Bara yang lebih erat memeluk Haidarnya. Menghirup rakus wangi Haidar yang menguar dari ceruk lehernya.

“Udah gak marah kan?” Haidar hanya sanggup menggelengkan kepala. Pelukan Bara adalah satu tempat yang paling nyaman buatnya bersandar ketika dunia sedang jahat padanya. Begitu nyaman, sampai Haidar nggak mau buat lepas.

Kalau saja Bara tahu, Haidar ini tidak bisa marah kalau dia buat salah. Yang ada Haidar lebih marah kepada dirinya ketika Bara tidak bisa tahu apa maunya. Haidar merasa apa yang salah dari dirinya sampai Bara bisa tak paham dengan isi hati dan kepalanya.

“Lain kali tolong jangan bikin khawatir.” Bara merenggangkan pelukannya, mengerutkan dahi dan pasang wajah bingung dengan ucapan Haidar.

“Aku takut kamu pergi.” Haidar buru-buru kasih penjelasan atas kalimatnya, dan mengeratkan kembali pelukan.

Bara tersenyum dan seketika wajah dan telinganya memerah, untung saja Haidarnya tidak bisa melihat.

Cemburunya Haidar begitu valid, rasa khawatir akan banyak hal yang kemungkinan terjadi, menumbuhkan rasa takut akan kehilangan Bara. Dan hal ini yang menjadi paling berisik dari isi kepalanya, sampai mengusik isi hatinya.

Buat Disya maaf ya, rasa suka kamu buat Bara sebaiknya kamu hapus saja. Sebab Haidar dan Bara keduanya sudah pasang ikatan yang simpulnya terlalu kuat.

Susah buat dilepasnya.

Langkah kaki Haidar bawa masuk dirinya ke sebuah cafe yang bisa Haidar lihat isinya lebih banyak didominasi oleh anak-anak muda seperti dirinya.

Berhenti sebentar.

Kaki Haidar berhenti melangkah, sebab matanya tangkap dua muda-mudi dalam satu meja. Keduanya duduk bersebelahan, menatap layar laptop sambil sesekali tersenyum akibat lelucon yang mungkin turut hadir di tengah-tengah keduanya.

Orang lain yang melihatnya, mungkin akan bilang kalau keduanya layaknya pasangan anak remaja yang baru saja memadu kasih. Sedang Haidar, rasakan sedikit nyeri hati.

“Woy Bar, di sini lo.” Haidar tentu berpura-pura tak sengaja bertemu keduanya.

Bara putar malas bola matanya, melihat Haidar yang sudah tiba-tiba ada di hadapannya. Bara ini sadar, Haidarnya sedang cemburu. Tapi bukankah semestinya dia tidak bertingkah seperti ini.

“Dis. lagi nugas lo pada?” giliran Disya yang Haidar kasih tatapan matanya.

“Iya dar, lo sendirian aja?”

“Iya nih, gue gabung boleh kali.”

“Boleh lah, duduk aja situ. Kita tadi udah pesen makan, lo pesen aja dulu.”

Senyum miring Haidar berikan buat Bara yang kesal pandangi dirinya.

Bara dan Disya seolah sibuk dan tak memperdulikan Haidar yang ada di depan mereka.

Intensitas obrolan mereka juga terlihat intim, seolah Haidar tak boleh dengar satu kalimat pun apalagi ikut campur.

Kesal.

Haidar kesal dengan Bara yang tak paham dengan apa maunya, malah semakin terlihat akrab saja dengan Disya.

“Ekhem, ekhem. Lo berdua sering ya ngerjain tugas di sini?”

“Lumayan gak sih Bar, akhir-akhir ini soalnya gue sama Bara satu kelompok terus. Enak gitu suasananya.” Disya yang jawab pertanyaan basa-basi Haidar.

Haidar terus memecah keseriusan antara Bara dan Disya dengan pertanyaan-pertanyaan nyeleneh.

Bara hanya berdecak kesal. Apa sih maunya Haidar, kalau dianya tanya terus kapan ini selesainya, pikir Bara.

“Eh makanan gue dah dateng duluan, ini tuh enak banget. Dari kemarin kehabisan mulu, nih cobain Bar.” Disya bawa satu sendok berisi cake yang katanya kesukaanya, supaya Bara bisa cicipi bagaimana rasanya.

sendoknya sudah di depan mulut, tapi Bara lirik Haidar yang ternyata beri dia tatapan jengah. Tapi apa boleh buat, gak enak juga kalo harus ditolak.

“Aduh jadi belepotan Bar, sorry.” Tangan Disya yang tanggap, ambil tisu buat lap bibir Bara yang sedikit belepotan. Tapi ditangkis duluan tangannya sama Bara, keduanya malah liat-liatan gak tau kalau ada orang yang lagi tahan buat gak balikin meja di depannya.

Haidar rasakan amarah menguasai dirinya, kalau bisa sudah dia tarik Baranya untuk pulang. Kekesalannya meningkat saat Bara malah meladeni Disya dengan entengnya, padahal ada Haidar di depannya. Gak mikir apa!.

“Gue ke depan dulu deh, mau ngerokok.” Haidar pergi, Bara yang sadar sebenarnya tak enak hati. Tapi kalau Bara susul Haidar yang lagi emosi begini, sama aja gak bakalan reda.

Menghabiskan satu batang rokok, Haidar akhirnya pilih buat meninggalkan cafe saja. Percuma juga Baranya masih sibuk dengan orang lain, dan tak menggubrisnya.

Haidar tau betul bahwa si manis miliknya sedang jadi objek sukanya Disya, teman satu kelasnya. Yang tentu saja tak tahu terkait hubungannya dengan Bara. Haidar cuma mau bahwa miliknya jangan sampai pindah hati, sebab susah payah dia dapatnya.

Juga beri Bara peringatan, bahwa Haidarnya sedang cemburu, jadi tolong kalau bisa jauh-jauh. Disya ini berpotensi ambil posisinya.

Haidar benar-benar sudah di buat rindu setengah mati untuk bisa kembali bersua dengan si manis. Kalau bukan karena dorongan teman-temannya mungkin dirinya masih saja menunggu kesiapan diri Bara untuk mau kembali berbicara dengan dirinya. Sedangkan Bara dengan ego tingginya, juga menunggu, tak mau kalau harus memulai terlebih dahulu.

Bel pulang yang di tunggu akhirnya berdering, menimbulkan kegaduhan di dalam kelas. Haidar memperhatikan Bara yang sibuk mengemasi barang-barangnya, kemudian berlalu meninggalkan kelas tanpa melihat ke arahnya sama sekali.

Haidar sengaja tak meninggalkan kelas lebih lama, membiarkan Bara untuk melakukan sesi belajarnya terlebih dulu. Kemudian akan menyusulnya, kalau di rasa waktunya sudah tepat untuk dirinya muncul.

Bara yang sudah berada di dalam perpustakan terlebih dulu, sama sekali tidak bisa konsentrasi. Pikirannya sedang sibuk memikirkan skenario apa yang akan dirinya lakukan ketika berhadapan dengan Haidar nanti.

“Wah anjing, kenapa gue deg-degan sih.”

Umpatan itu Bara tujukan untuk dirinya sendiri, sebab detak jantungnya yang terpompa sama sekali tak seperti biasanya.

Mondar-mandir di depan rak buku, dan membaca judul-judul buku yang bisa dia tangkap dengan matanya, Bara gunakan untuk mengusir kegugupannya. Berharap detak jantungnya bisa kembali normal ketika Haidar tiba nantinya.

“Nyari buku apasih, bolak-balik mulu.”

Sialnya saat sosok Haidar muncul tiba-tiba di belakangnya, detak jantungnya sama sekali tak terpompa dengan normal kembali. Malah semakin menjadi, rasanya jantungnya justru tercecer di lantai-lantai perpustakaan.

“Hah.”

Saat keduanya bisa bersitatap dengan dekat kembali. Haidar kalau bisa sudah raih tubuh si manis untuk dibawa ke dalam dekapan, kalau bisa bibir si manis langsung dirinya sambar untuk di bawa dalam lumatan. Tapi Haidar kuatkan supaya masih bisa kontrol diri.

Munafik kalau Bara juga tidak rasakan hal yang sama dengan apa yang Haidar rasakan. Sejak kepulangan Haidar dari Belanda, Bara sebenarnya sudah menunggu, momen Haidar mau melakukan segala hal seperti dulu lagi kepada dirinya.

“Nyari apa? malah bengong bocah.” Haidar lambaikan tangannya di depan muka Bara, karena yang ditanya malah diam mematung memandanginya.

“Gak ada lupa gue,” Baru saja langkahnya yang belum sempurna untuk berniat pergi ke arah meja, tangannya di tahan oleh yang lebih tinggi.

“Bar, gue mau jelasin yang waktu itu.” Bara akhirnya menoleh, dan kembali pada posisinya semula.

“Gak perlu dar, gue udah tau semuanya.”

“Karel?” Bara hanya beri jawaban dengan sebuah anggukan, tapi Haidar sudah cukup puas dengan jawabanya.

“Jadi?”

“Jadi apa Haidar?” Ah, sudah lama Haidar tidak mendengar namanya keluar dari bibir si manis, rasanya mendadak ada sebuah ladang bunga yang di huni ribuan kupu-kupu terbangun di dalam perutnya.

“Jadi kapan lo mau jadi pacar gue Bara?”

“Jawabanya emang mau sekarang banget?” Haidar berikan anggukan penuh antusias, meskipun ada rasa was-was akan jawaban yang di berikan Bara nantinya tidak sesuai dengan apa maunya.

“Emang udah siap?.”

“Seratus persen gue siap denger apapun jawaban lo Bara.”

Satu menit Bara justru tak kunjung mengeluarkan suara, sibuk pandangi yang lebih tinggi dengan khidmat. Bara Coba tembus mata Haidar untuk cari yakin, bahwa keputusannya setelah ini tidak akan dirinya sesali.

Dua menit berlalu, akhirnya Bara perlahan melangkah untuk mendekat dan memangkas jarak yang masih tersisa di antara keduanya. Haidar hanya menatapnya bingung, namun tetap diam mengikuti alur yang Bara ciptakan.

Dengan kepercayaan penuh Bara mendaratkan satu tangannya di bahu Haidar. Serta tatapan intens keduanya yang belum sama sekali berubah, Bara kembali ambil langkah berani, bibirnya dia pertemukan dengan bibir Haidar, yang mana Bara tak berani mengelak bahwa bibir Haidar adalah candu baru bagi dirinya. Kalau saja Bara tahu, Haidar itu bahkan merasakan candu yang lebih dari yang dia rasakan kepada bibirnya itu.

“Jawabanya apa dulu, tiba-tiba udah cium aja.” Haidar sengaja menggoda Bara, mnghentikan aktivitasnya dan sekaligus dirinya masih belum percaya bahwa Bara bisa melakukan hal tersebut terlebih dulu kepada dirinya.

“Lo lama.”

Keduanya tersenyum lalu kembali saling menautkan diri melalui yang keduanya sama-sama jadikan candu. Saling bertukar saliva dengan saksi buku-buku yang berjejer di rak buku diantara keduanya. Lumatan yang terjadi seolah menyalurkan rindu yang selama ini tertahan dan tertumpuk akhirnya bisa dikeluarkan.

Selama sesi cumbu lewat bibir yang berlangsung itu, Bara meremas kuat pinggang Haidar, sedang Haidar satu tangannya meraih tengkuk Bara untuk memperdalam ciuman. Dan satu tangannya merangkum Bara supaya jarak tidak lagi tercipta diantara keduanya.

Penantian Haidar akhirnya terbalas lunas. Meski apa yang terjadi adalah garis dosa yang akan di catat semesta dan dilaporkan pada tuhannya.

Haidar rasa kali ini semesta cukup berbaik hati kepadanya, semoga saja nanti dan seterusnya semesta tak perlu jahat kepada keduanya. Cukup dengan catat dosanya, kemudian lapor, tidak dengan sebuah kerumitan hidup yang nantinya membuat mereka kalang kabut.

Kepada buku-buku yang berjejer di rak buku, tolong jangan adukan mereka kepada siapapun yang mengunjungi perpustakaan nantinya.

Haidar dan Bara yang dengan berani mendosa di tempat penuh aturan ini, semoga saja rumitnya kalian sampai sini saja ya. Jangan ada rumit-rumit lain yang datang.

Jangan Dilepas

Tentu saja dengan muka murkanya, Bara keluar dari rumahnya dan mendekati mobil Haidar yang terparkir di depan gerbang rumahnya.

“Masuk.” Haidar yang membuka kaca jendela mobilnya memberi perintah pada Bara untuk memasuki mobilnya. Entah kenapa perintah Haidar terdengar seperti sebuah perintah mutlak yang tidak bisa Bara lawan. Sehingga lebih memilih untuk menurutinya saja.

Setelah itu Haidar sama sekali tidak bersuara, malah langsung menghidupkan mobilnya kembali dan melaju meninggalkan jalanan depan rumah Bara.

Bara merasa bingung, tapi lidahnya terasa kelu untuk membuka suara dan memprotes tindakan Haidar.

Setelah cukup jauh meninggalkan kompleks perumahan Bara, Haidar melipir. Menepikan mobilnya di pinggir jalan yang terlihat tidak ramai sama sekali, lumayan sepi.

“Siniin HP lo.” Haidar kembali menampakkan suara intimidasinya, seolah Bara adalah tawanan yang harus menuruti segala perintahnya.

“Apaan sih gak jelas lo.” Karena semakin muak melihat Haidar dan segala ketidakjelasannya, Bara abaikan perintah Haidar.

“Siniin dulu Bara, gue mau liat apa sih yang buat lo marah kaya gini.” Tekanan suara diturunkan oleh Haidar, tapi tetap saja kalimat dan wajahnya menafsirkan bahwa dirinya tak mau di abaikan perintahnya. “Gue sama sekali gak tau lo ngomong apa, dan chat sebelumnya itu bukan gue.”

“Jelas-jelas itu lo Hiadar, lo pikir gue anak TK apa?”.

“Yaudah siniin dulu, gue pengen liat. Kalau lo bukan anak TK, harusnya lo tau gimana model typing gue. Emang itu keliatan gue?”

Setelah ucapan Haidar tersebut, Bara kembali mengingat isi chat sebelumnya dirinya dengan Haidar, kalo dipikir-pikir memang aneh, bukan seperti Haidar seperti biasanya. Tapi bagaimana dengan foto yang Fara kirimkan, rasanya Bara sudah capek meladeni Haidar dan kepura-puraannya.

“Ya mana gue tau.”

“Makanya liat dulu, boleh ya.” Suara Haidar sudah berubah, yang sebelumnya penuh intimidasi, kini melas butuh dikasihani.

Bara melihat sekilas ke arah Haidar, wajahnya semrawut, tampak lelah dan sulit buat diterka apa yang sedang Haidar rasakan.

Akhirnya perlahan Bara sodorkan HP miliknya yang menampilkan chatnya dengan Fara kepada Haidar. “Gue bahkan masih bisa maklum dengan chat lo, tapi setelah chat dari ni cewek satu. Apalagi Haidar yang lo mau jelasin?.”

“Lo salah paham Bara, gue gak ngapa-ngapain.”

“Lucu banget sih, pelukan dibilang gak ngapa-ngapain. Trus yang ngapa-ngapain itu gimana? yang kaya gini yang bikin gue susah buat percaya sama lo Haidar.”

Kalau dibilang suka, Bara ini bahkan sudah kelewat jatuh cinta. Haidar dengan segala bentuk perhatiannya, sepertinya sudah lebih dari kata layak untuk bisa dapat balasan untuk setiap kata cintanya.

Tapi entah kenapa yakinnya Bara selalu saja belum bisa bawa dirinya untuk bisa beri jawaban pasti. Atau mungkin, Bara ini masih takut, takut jika nanti Haidarnya pergi, takut nanti hanya dia yang masih bertahan dan Haidarnya memilih pergi lalu melupakan.

Bara tak mau kalau dirinya dan Haidar hanya turuti nafsu, dan berakhir ketika nafsunya sudah tak lagi menggebu. Jalin hubungan dengan Haidar itu berat, kalau berjuangnya nanti hanya sia-sia lebih baik mundur dari sekarang bukan.

“Bar,” tangan milik Bara yang menganggur Haidar raih dengan satu tangannya, sementara satu tangan lain Haidar gunakan untuk meraih wajah Bara, agar mau menatapnya.

Haidar cukup lelah hari ini, kalau harus menjelaskan segala yang terjadi antara dirinya dengan Fara tadi, rasanya Bara juga akan sulit percaya. Karena emosi sama-sama sedang melingkupi keduanya.

“Gue sama sekali gak bohong Bar, please percaya sama gue.”

Pandangan keduanya saling mengunci dengan jarak wajah yang begitu dekat. Keduanya seolah tidak bisa bohong bahwa dari kerlingan mata keduanya, perasaan saling ingin memiliki tak bisa lagi untuk di tahan.

Haidar kembali mendominasi, kini wajah keduanya sudah hampir tak ada lagi jarak, nafas mereka yang saling beradu terasa begitu kentara. Haidar sudah dekat dengan bibir manis milik Bara, yang demi apapun Haidar dibuat gila hanya karena rindu terhadap objek kenyal tersebut.

Tapi Bara dengan sisa kewarasannya, membuka mata lalu mendorong bahu Haidar untuk mundur dan memberi jarak kembali antara keduanya.

“Gue capek, dan lo lebih keliatan capek. Pulang ya, istirahat.”

“Bar,”

“Pulang Haidar, kasih gue waktu.” Haidar dibuat tidak bisa memiliki kuasa atas ultimatum Bara.

“Oke, balik. Tapi please jangan lepas tangan gue Bara.”

“Hmm.” Bara sanggupi.

Kalau sudah begini, apalagi yang bisa Haidar lakukan selain memutar balik mobilnya dan membawa kembali Bara untuk pulang. Meskipun kembali hanya sunyi yang mengisi sepanjang perjalanan mereka. Genggaman tangan saja sudah cukup untuk Haidar.

“Kenapa lo? baru balik?”

Bagas yang tiba-tiba menghampirinya dengan membawa satu toples makanan ringan di tangan kanan, dan satu gelas jus jambu merah di tangan kirinya merasakan mimik wajah aneh milik Haidar.

Keduanya tengah ada di kediaman Karel yang memang biasanya digunakan untuk berkumpul dan menginap bersama, pasalnya Karel itu sering kali kesepian di rumah. Orang tuanya terlalu sibuk bekerja di negera orang.

“Lo ngaku!, ngechat apa lo ke Bara?”

Bagas pasang wajah bingung seketika, karena dirinya sama sekali tak mengerti apa yang Haidar maksud dengan pertanyaannya.

“Bercandaan lo sama sekali gak lucu Gas.”

“Apaan, lo ngomong apa? gue gak ngerti.”

“Hp gue daritadi ketinggalan di sini, dan siapa lagi kalau bukan lo yang berulah.” Nada bicara Haidar mengisyaratkan bahwa dirinya sedang benar-benar marah.

“Berulah apa sih anjing, gue gak sentuh sama sekali HP lo ya. Gue bahkan gak tau kalau itu ketinggalan.” Bagas yang merasa sama sekali tidak melakukan apa yang Haidar tuduhkan, dengan jelas membela diri.

“Karel kali, lo tanya dah lagi di kamar noh anaknya.”

Haidar segera berlalu meninggalkan Bagas yang masih sedikit tersulut emosi karena tuduhan tidak berdasar yang Haidar layangkan kepada dirinya. Tapi pelan-pelan mengekor mengikuti Haidar ke arah kamar Karel.

“Kasih tau gue bukan lo yang otak-atik Hp gue tadi?” Karel yang melihat Haidar masuk ke dalam kamarnya dan langsung menodongnya dengan pertanyaan, merasa cukup kaget.

“Otak-atik apaan?”

“Bangsat, cuma ada lo berdua di sini, siapa lagi sih.”

“Lo mending tenangin diri lo dulu dah Dar, ceritain kenapa?” Bagas coba supaya Haidar bisa berkepala dingin dulu, karena sungguh Bagas penasaran yang sebenarnya terjadi. Bagas juga enggak mau jadi sasaran tuduhan yang bahkan masalahnya aja dia gak ngerti sama sekali.

“Hah? kenapa gini dah”. Bagas yang langsung di tunjukkan isi kolom chat Haidar-Bara oleh Haidar, malah jadi makin bingung. “Sebelumnya lo beneran kaga ada ngomong apa gitu ke dia”.

“Kaga ada, baik-baik aja gue bilang, cuman ya itu gue tadi telat ngabarin soalnya ketinggalan tadi.”

“Ini aneh sih, kalau kaga ada chat lain sebelumnya, si Bara juga kaga bakalan rancu begini chatnya.”

“Makanya anjing. Dan cuma ada lo berdua di sini, ngaku dah lo siapa yang ngelakuin. Rel nggak mungkin lo kan? Jawab!”. Haidar mulai kesal karena temannya seolah pura-pura, Haidar tau kalau Karel bukan tipe orang yang akan ikut campur urusan orang lain, sedangkan Bagas mungkin saja, karena tingkahnya yang kadang aneh meski dalam konteks bercandaan.

Tapi melihat Bagas yang benar-benar menyangkal dengan serius, Haidar jadi ragu. Sejak kecil bersama Karel, Haidar tampaknya taruh curiga meski sebenarnya dirinya sendiri tak percaya.

“Sorry.” Belum sempat Haidar tanyakan kembali, Karel sudah ucap kata permintaan maaf yang buat Haidar terpengarah tak percaya. “Gue yang lakuin.” ucapnya lagi sembari mengigit bibirnya yang tampak kering.

Haidar diam, tau kalau sahabatnya itu sudah menggigit bibir, pertanda bahwa dia memang sedang melakukan pengakuan atas kesalahan.

“Bercandaan doang kan, gak ada maksud lain?”

“Fara.”

“Bangsat.”

“Dia tau kalau gue make, makanya dia nyuruh gue, kalau gue gak mau nyokap-bokap gue bakalan tau dar.”

“Apa yang lo takutin Rel, lo aja udah gak make lagi.” Haidar tau temannya itu pernah terjurumus untuk mengkonsumsi obat-obat terlarang, manakala sepi sering kali merambati hidupnya.

Haidar dan Bagas pernah memergoki dirinya saat sedang menggunakan obat-obatan tersebut, makanya Haidar dan Bagas seringkali mengawasi Karel dan juga menginap di rumahnya supaya tidak lagi mengkonsumsi barang-barang tersebut sebelum candunya semakin parah.

“Gue make lagi, dan Fara tau.”

Bagas dan Haidar terkejut mendengar pengakuan Karel, pasalnya kapan dia mengkonsumsi barang itu lagi, sementara mereka masih sering mengawasi. Ya memang tidak setiap hari, karena tentunya mereka juga punya kesibukan lain.

“Kecolongan kita Dar, percuma, selama ini gue sama Haidar lo anggep apa sih Rel.” Bagas mengusak rambutnya frustasi.

“Goblok.” Haidar pergi meninggalkan keduanya setelah mengumpati Karel dengan begitu kesal.

Kesalnya Haidar hari ini, benar-benar campur aduk. Pertama, karena merasa berasalah, temannya itu kenapa bisa lagi jatuh ke obat-obatan yang jelas hanya merusak diri dan dirinya tidak sadar. Kedua, Karel ini apa sudah tidak menganggap keberadaannya sampai-sampai harus lari ke situ-situ lagi.

Yang paling membuat dirinya kesal adalah, Karel yang ternyata selama ini harus dimanfaat oleh si Fara karena hal tersebut. Cewek itu benar-benar sudah membuat emosinya memuncak hari ini.

Haidar melangkahkan kaki jenjangnya dengan tergesa, berharap segera menemukan wajah si manis di ruang perpus sana.

Rasa hatinya sesaat setelah berkirim pesan dengan Bara adalah nelangsa namun jua rasa berbunga. Sebab Bara yang kuasai pikirnya, sampai-sampai hilang waras bukan beri dia kata tolakan dan umpatan pada perasaannya, justru takut akan kisah cinta dua adam di mata semesta.

Maka langkahnya diliputi banyak tanya, sikap Bara yang seperti ini sudah luluh hatinya, atau hanya memperjelas penolakannya saja. Tapi jujur Haidar pasang banyak harap. Bahwa Bara ini sudah luluh hati dan hanya takut pada semesta yang katanya jahat pada dua adam yang saling menautkan rasa.

Biar Haidar yang lawan kalau Bara takut, semesta saja Haidar mampu, asal Baranya mau.

Jejak suara sepatu Haidar mengisi ruang perpustakan sekolah yang sepi, sebab jam pulang yang sudah 30 menit lebih berlalu.

Bara yang berkutat dengan kamus-kamus dan buku panduan belajar bahasa Jepang, sedikitnya merasa gugup apa yang akan Haidar lakukan. Tapi Bara coba biasa saja, dan berpura-pura fokus ketika Haidar terlihat sudah mendekat ke arah mejanya.

“Bar,” usahanya untuk tidak menatap kehadiran Haidar sebentar lagi mungkin akan goyah, sebab suara beratnya yang dengan lancang ternyata Bara rindu.

“Bar liat gue dulu.” Buku-buku di hadapan Bara ditutup oleh Haidar, sengaja supaya atensi Bara saat ini cukup hanya ke dia saja. Sedang Bara berdecak sebal.

“Ngomong langsung sama gue, apa yang barusan lo bilang.” Haidar langsung menodong Bara saat Bara mulai mau menempatkan sepasang netranya pada daksanya yang sudah kepalang penuh tanya.

“Ngomong apaan?” Bara pasang wajah tak mengerti. Dan diam-diam kagumi garis wajah si tampan.

“Yang barusan di chat.”

“Ya apa Haidar?” Bara kembali tanya, mungkin yang ada di pikirannya bisa tak sama dengan yang dimau Haidar.

Hati Haidar seakan mau melonjak loncat dari rongga dadanya, saat panggilan Haidar keluar dari mulut Bara. Entah kenapa tiap kali Bara memanggilnya dengan Haidar hatinya dibuat berantakan, perutnya seolah diisi oleh ribuan kupu yang berterbangan. Padahal banyak juga yang memanggilnya Haidar.

“Bilang lo cuma takut sama semesta.” Haidar perjelas, supaya Bara ingat.

“Kenapa?”

“Perasaan lo sendiri gimana Bara? Please bilang kalo lo juga suka, tapi lo cuman takut. Gue bisa Bara, kalau cuma mau lawan semesta.”

“Kata siapa gue suka?”

“Kalau gitu bilang depan muka gue, kalau lo gak suka sama gue, kalau lo benci sama gue, atau kalau perlu bilang kalau lo jijik sama gue.”

Bara mulai tak sanggup menatap netra Haidar yang penuh intimidasi saat ini. Jadi Bara beralih untuk tatap objek lain yang bisa dia temukan di belakang tubuh Haidar.

“Ngomong Bara!” Intonasi Haidar dibuat meninggi, manakala sepasang netra hitam legam milik si manis tak lagi fokus menyelami kedua netra kecoklatannya.

Bara dibuat ngeri, badanya bergetar manakala Haidar menggoyang bahunya, meminta apa maunya segera dituruti.

“Seenggaknya jangan bohong sama perasaan lo sendiri Bara, biar gue tau gue harus gimana.” Kalimat Haidar semakin menuntut dan terdengar frustasi.

'Bug'. Tangan Bara dibuat mengepal sebelumnya, dan akhirnya melayang pada rahang tegas milik Haidar. Perasaan Bara penuh kecamuk dengan segala tekanan yang Haidar beri, sehingga Bara tak mampu beri jawab. “Lo bilang mau dipukul kan.”

Haidar tak kuasa buat lawan barang sedikitpun. Haidar malah mengangguk, pertanda bahwa itu yang dia mau. “Ayo pukul gue lagi, sepuas lo mau. Tapi setelah itu lo bilang, lo maunya gue gimana?”

Bara malah tutup wajahnya dengan dengan telapak tangan, tubuhnya gemetar. Pikirnya semrawut, sebab Haidar dan rasa sukanya.

Buat Haidar tolong mengerti barang sejenak, Bara ini masih banyak takutnya. Takut beri banyak kecewa pada papa dan juga abang, kakak dan adiknya, bukan hanya takut pada semesta yang jahatnya sudah di depan mata.

“Bar,” Haidar coba buka telapak tangan yang masih gemetar yang tutupi wajah yang tak kalah frustasi milik Bara, coba tangkap apa yang Bara ingin sampaikan.

Haidar bisa lihat wajah frustasi Bara. Haidar kemudian coba buat cari jawab dengan lain cara, bukan dengan tanya jawab. Haidar mendekatkan wajahnya hingga Bara tersentak kaget, namun tak beralih dari sana.

Nafas keduanya seolah saling sapa manakala hidung keduanya menempel. Haidar coba buat tutup mata, supaya Bara ikuti buat tutup mata juga. Maka ketika Haidar membuka matanya kembali, benar adanya Bara sudah menutup rapat matanya.

Haidar pandangi bibir lembut milik Bara lamat-lamat, yang mana dia yakin rasa manis akan timbul nantinya saat bibir Haidar bertubrukan dengan bibir itu.

Perlahan tapi pasti Haidar coba tempelkan bibir miliknya dengan bibir Bara, ternyata tidak ada penolakan dari si manis yang masih menutup mata. Lumatan lembut perlahan tanpa menuntut, hanya salurkan rasa supaya si manis tau bahwa Haidar betulan mendamba dirinya. Ternyata benar, rasa manis dan juga jawaban yang sebelumnya tidak dia dapatkan, sekarang bisa dia rasakan.

Bara sama sekali tidak melakukan penolakan, dia selami juga bibir milik Haidar. Bara juga butuh buat penguat yakin apa yang dia rasa pada Haidar juga gak main-main. Air mata tiba-tiba mengalir dari mata Bara di tengah percumbuan bibir mereka.

Bara hanya sadar, ternyata dia sudah jatuh sejauh ini untuk Haidar, sedang Bara masih punya banyak takut buat mengakui kalau perasaannya valid.

Haidar lepas persatuan bibir mereka, saat sadar ada yang merembes membasahi pipinya. Kemudian menatap lekat pada Bara yang ternyata menangis entah karena apa, Haidar tak bisa menerka.

“Kenapa lo harus usaha dar, kenapa?” Bara keluarkan kelakar protesnya, kalau saja Haidar tidak berusaha, maka dirinya juga tidak akan jatuh suka.

Haidar usap pipi Bara supaya air mata yang basahi pipinya pergi. Tak mau jawab pertanyaan si manis.

“Rumit Haidar, rumit. Jadi stop sampe sini ya.” Haidar tak kuasa melihat Bara yang frustasi dan melas meminta pada Haidar.

“Enggak Bara, kalau lo mau jalan berdua, semuanya gak akan rumit dirasa.” Ragu dan takutnya Bara di buat Haidar supaya pudar, supaya mau jalani bersama.

Haidar tarik tangan Bara supaya tubuhnya dekat tanpa jarak, supaya bisa dia bawa dalam rengkuh, bawa dia pada percaya yang lebih kuat pada dirinya. Bara menurut meletakkan wajahnya pada ceruk leher Haidar yang sedikit lebih tinggi darinya hanya beberapa senti. Aroma Haidar yang bisa Bara hirup, jadi aroma baru yang akan jadi favoritnya, parfum kesayangannya nampaknya akan bergeser takhta.

Bara sepertinya luluh, jadi buat Haidar tolong pelan-pelan supaya Bara hilang takut dan mau berjuang.

POV HAIDAR

Aku ini tak pernah mafhum akan citra cinta yang katanya banyak bentuknya. Karena itu, yang ini entah bentuk cinta yang seperti apa, aku gagal memahaminya.

Ataukah ini bukan bentuk cinta? sebab sang objek yang terlihat berbeda.

Sosok Bara Bimantara tiba-tiba menjadi objek yang tak pernah luput dari mata, presensi nya sejak awal sudah mengundang rasa egoisme dalam diri; memiliki.

Senyum yg mengembang di bawah terik matahari manakala masa orientasi SMA saat itu, menjadikan aku makin jatuh dan tak punya cara bagaimana menghilangkan rupa manis miliknya yang mampir di tiap kesempatan.

Sejak awal rasa yang muncul begitu abstrak. Pertama kali. Ini sebenarnya yang pertama dalam diri seperti ini, jadi ada titik ragu yang kerap kali muncul. Aku layaknya orang yang sudah kehilangan waras. Maunya hanya dia—Bara saja.

Untungnya kami tidak dalam satu kelas yang sama saat itu, meski dengan jurusan yang sama. Sehingga aku masih punya batas supaya tidak menuruti ego yang katanya norma benci.

Tapi takdir ternyata maunya main-main. Sekarang kami dalam satu atap kelas yang sama. Yang dulu tak punya keberanian kini seolah tersulut kembali; pertahananku roboh.

Persetan dengan bencinya norma dan persepsi Bara, Haidar maunya Bara jadi miliknya.