anotherapi

Prediksi suhu pada jam tangannya menunjukkan minus tiga derajat celcius. Haidar merapatkan jaketnya agar dinginnya kota Delft tidak merangsek masuk membekukan aliran darahnya. Pesan singkat yang dibacanya sebelum meninggalkan meja pertemuan dengan rekan-rekannya, mengembalikan seluruh energi yang terkuras sejak awal meja sudah dipenuhi dengan diskusi panjang disertai isi kepala yang berbeda-beda.

Haidar senang, Bara perlahan-lahan mampu menyampaikan keinginannya tanpa harus terhalang ego dan gengsinya. Butuh waktu cukup panjang untuk situasi seperti ini bisa dicipta keduanya. Bara dan isi kepalanya yang tidak mampu keluar dari lisannya, cukup mempersulit hidup keduanya di negeri orang-sebelumnya.

Kalau Bara dengan ego dan Gengsinya, Haidar justru dengan keras kepala dan waktu berantakannya. Haidar hampir gila menyesuaikan waktu studi dan waktu santai dengan Bara. Seluruh jadwal selalu berantakan, berujung waktu tidur yang hanya dua-tiga jam kadang harus dia relakan. Dan Bara tidak pernah suka itu.

Tapi seiring dengan ego dan gengsi Bara yang menyempit, waktunya pun bisa terbagi dengan rapi berkat campur tangan Bara. Semuanya jadi tertata. Lalu ada waktu dimana keduanya akan duduk bersama, ketika perlu menyatukan isi kepala yang kadang juga diserang stres berlebih dan mengganggu keduanya. Menyelesaikan segala hal yang tidak semestinya terjadi dengan berbagi pelukan di akhir sesi.

Suasana kota Delft yang dingin, dengan lampu yang begitu cantik terbentang sepanjang sungai yang dilewati Haidar. lampu cantik itu dipasang guna menyambut natal yang akan segera datang. Sungai-sungai yang beku, dijadikan arena ice skating yang kebanyakan dari golongan remaja dengan jaket berlapisnya.

Haidar teringat ketika baru beberapa bulan keduanya di negeri orang, musim dingin sudah menyerang. Bara tumbang, badanya cukup sulit untuk menyesuaikan. Rasa khawatir timbul berlebihan, dan hampir satu minggu keduanya jadi penghuni rumah sakit. Bara yang terbaring tanpa suara, Haidar yang gila dihantui rasa kehilangan dan rasa bersalah jika Bimantara di depannya sampai kenapa-kenapa.

Ketika keadaan cukup membaik, tamu datang dari kejauhan. Abian Harsa meradang ketika adiknya terbaring tanpa ada kabar.

Haidar disalahkan, dimarahi habis-habisan.

Mengirim kabar kemudian jadi agenda yang tidak akan Haidar lewatkan, meskipun tidak pernah mendapat balasan, tapi dia tahu bahwa pesan-pesannya dibaca dan lihat seksama. Hanya saja pengirim pesan mungkin menciptakan murka yang masih berkelanjutan.

“Bar,” Yang dipanggil muncul dari balik kamarnya, lalu menyerang dengan tiba-tiba. Bibir Haidar jadi mangsa. Yang awalnya hampir beku karena kedinginan, berangsur-angsur menghangat dalam beberapa kali lumatan.

“Aku bersih-bersih dulu ya sayang.” Haidar menangkup wajah manis itu, memberinya jeda waktu supaya tidak terburu-buru.

Menyanggupi itu bukan hal yang sulit untuk Bara, menganggukkan kepala lalu membiarkan Haidar masuk ke kamarnya.

Malam ini keinginannya begitu tinggi, fantasinya butuh dia kejar jadi realisasi. Dia ikuti Haidar masuk ke dalam kamar. Senantiasa menanti Haidar keluar dari bilik kamar mandi.

Fantasi liar timbul bersahutan di kepala, Bara tidak mengerti mengapa keinginannya jauh terbang tinggi malam ini. Maka ketika Haidar muncul, Bara siap menggantung seluruh nasibnya malam ini sebagaimana kedua lengannya yang digantungkan pada leher Haidar. Bara siap menjadi hamba paling setia.

“Kamu kalo lagi pengen, jadi tambah manis. Liat muka kamu, merah semua.” Bara bisa apa, ketika pujian melayang dari sang tuan. Tentu saja hadiah kecupan pantas dia berikan bukan.

Kecupan singkat membangun suasana malam dingin jadi lebih hangat. Lengan yang masih setia menggantung jadi tumpuan ketika kecupan bukan lagi hal yang memuaskan.

Berciuman lagi-lagi tidak pernah menjadi sesuatu hal yang membosankan. Selalu ada candu dibalik adu pagutan. Semakin dalam malah semakin tinggi adiktif nya, keduanya jadi semakin ketergantungan.

Haidar gapai kedua kaki Bara untuk ikutan menggantung di antara pinggangnya, supaya jauh lebih leluasa. Bara begitu lihai mempermainkan lidahnya di dalam sana. Haidar hampir tidak bisa mengimbangi kecepatannya, tapi berakhir mengungguli permainan dengan mengesankan.

“Pelan-pelan sayang, aku nggak kemana-kemana.” Perkataan Haidar membuat Bara semakin merah.

“Yaudah aku mau main dulu.” Turun dari gendongan, Bara memberikan perintah agar Haidar duduk manis di atas ranjang. Dia mau bermain-main dengan tenang.

Ikatan handuk yang membalut di pinggang Haidar dibukanya dengan seringai senyum yang menggoda. Seluruhnya kini terlihat tanpa ada penghalang. Dada bidang serta yang ada di bawahnya terbuka untuk Bara bebas menjamahnya. Haidar tidak akan memberontak.

Pemberian tanda kepemilikan selalu jadi hal yang juga tidak akan terlewatkan. Ruam keunguan menghiasi leher dan dada bidang Haidar. Sibuk berciuman, tangan Bara tidak luput mampir pada bagian sensitif. Yang disentuh berkedut kegirangan.

Kejantanannya mengeras dan tegak bebas. Haidar suka miliknya jadi mainan. Ketika sentuhan lembut diubah ritmenya, Haidar seperti dibawa naik ke nirvana. Ketika puncaknya dipermainkan dengan lidah Bara, Haidar mabuk bukan main. Nikmat itu tidak setara dengan apapun.

Begitu semuanya dilahap habis oleh Bara, pikirannya berantakan. Dia betulan berada di surga. Mulut Bara penuh dengan kejantanannya yang semakin mengeras dan ingin memuntahkan isinya.

“Sayang, I’m gonna cum.” Haidar memberikan peringatan. Bara malah semakin membuat sibuk mulut dan lidahnya mendengar itu.

Oh, shit.” Mengumpat, seluruh badannya luruh. Haidar berhasil mencapai pelepasan pertamanya dan ditelan dengan rakus oleh Bara.

Ciuman kembali membawa mereka ke alam antah berantah yang nyaris mirip surga.

Now, it's my turn.” Tangan Haidar melucuti pakaian yang masih melekat pada diri Bara. Dia tidak sabar mengambil alih permainan. Diangkatnya Bara naik ke atas pangkuan. Dia balas tuntas untuk ruam ungu yang ada di tubuhnya, keadaan sekarang sudah sama.

Puting Bara berubah warna merah merona, ketika dibawah kendali tangan dan mulut Haidar. Bara membusungkan dadanya ketika rasa nikmat menjalar di seluruh tubuhnya, saat salah satu putingnya dipermainkan lidah Haidar, diputar ke segala arah.

Suara-suara desahan muncul tanpa ditahan, Bara biarkan lolos sebagaimana mestinya. Menggelitik indra pendengaran Haidar. Memantik perasaan kalang kabut buat jadikan Bara bisa merasakan kenikmatan yang lebih dari itu.

“Suka banget kamu kalo diginiin?” Pertanyaan Haidar tidak perlu dijawab, suara yang keluar dari mulut Bara sudah jadi jawaban paling masuk akal, bahwa dirinya menikmati segala yang terjadi dibawah kendali Haidar. Bara juga tidak lagi sungkan untuk meminta lebih ketika yang di bawah sudah berkedut hebat, juga meminta jatah.

Posisi keduanya sudah berubah, Bara menginvasi kasur milik Haidar dan membuka lebar kedua kakinya, Haidar sumringah melihat Bara berserah.

Wajah seperti ini yang menjadi favorit Haidar. Bara dengan wajah penuh pintanya.

“Jangan pernah kasih muka kamu yang begini ke orang lain, aku nggak mau berantem.” Haidar serius dengan perkataannya. Kalau beneran ada yang melihatnya, Haidar mungkin akan mati muda, karena gila.

As you wish!” Bara kehabisan kesabarannya, bibir Haidar kembali jadi mangsa. Dia diburu nafsu, maunya segera diberi yang dimau. Tapi Haidar terlalu lama membelai wajah favoritnya. Haidar tersenyum menang, Dia berhasil membuat Bara kelimpungan.

Akhirnya haidar menurutinya, Jarinya bergerilya di bawah sana. “Mas, mau langsung aja.” Bara merengek, ketika permainan jari Haidar dirasa perlu segera diakhiri. Dia perlu mengisi lubang itu dengan yang lebih berisi, dan bisa segera mencapai putih.

“Aku suka kalau kamu udah panggil aku mas. Sekali lagi boleh dong.” Haidar menggoda Bara tepat di atas telinganya.

“Mas, mau langsung dimasukin.” Senyuman terbit begitu lebar. Haidar seperti baru saja memenangkan lotre. Permintaan langsung disanggupi. Tempo yang dia lakukan disesuaikan dengan derap nafas dan suara yang keluar dari bibir Bara.

Persatuan kulit di bawah sana memberikan sensasi nikmat, gerakan dengan tempo yang sempurna mampu menumbuk area paling sensitif di dalam sana berkali-kali. Haidar menambah tempo gerakannya saat merasakan keduanya hampir memperoleh klimaks. Hentakan yang begitu keras membuat keduanya mencapai putih bersamaan.

Bara menarik nafas panjang setelah kedua kakinya bergetar hebat.

Ik houd van jou, Mas.”

Dank, lief

Berbagi frasa cinta setelah bercinta, keduanya masih enggan mengikis jarak. Setelah beberapa cairan yang berceceran dibersihkan, rengkuhan jadi pilihan. Peluh yang sempat membasahi diri, menghilang seiring keduanya lelap dalam dekapan dinginnya malam kota Delft.

Disclaimer!

Konten mengandung unsur dewasa secara implisit. (U17+)

***

Kenapa dunia yang tak seberapa ini, terkadang harus tidak memberikan ruang bagi mereka yang merasa kehilangan, bagi mereka yang terasingkan, atau bahkan bagi mereka yang tak punya sisa tenaga untuk sekedar menyampaikan situasi hati.

“Gue mandi dulu deh Dik, pinjem kaos ya”

“Biasanya juga langsung ambil-ambil aja lo.”

“Ngomong salah, gak ngomong tambah salah. Salah mulu gue sama lo Dik.”

Gelombang rasa yang bergemuruh tanpa suara sedikit mereda ketika pintu kamar mandi tertutup dengan sempurna.

***

Aroma shampo khas milik Dika menguar dari balik rambut ikal Ian yang masih basah. Rambut yang seharusnya segera dibalut dengan handuk malah dibiarkan, berujung lantai kamar Dika harus dihujani dengan tetesan air yang terjun dari rambut ikalnya.

Mulut yang biasanya dengan lantang mengeluarkan omelan kini justru bungkam, membiarkan tetesan demi tetesan meluncur deras menghantam lantai kamarnya yang sudah jarang berbenturan. membiarkan tetesan tersebut pergi dengan kering sendirinya tanpa perlu mengusirnya dengan sapuan tisu atau baju kotornya.

Entah malas harus beradu argumen dengan Ian, atau Dika hanya merasa kejadian aneh itu sesuatu yang sedang dia rindukan. Sesuatu yang lama tidak mampir ke bilik kamarnya.

“Lo ga mau pulang ke rumah gitu yan?”

Langkah kaki Ian terhenti sejenak, lalu meraih ponselnya yang berada di atas meja. Duduk, lalu merebah di atas kasur yang tentu saja bukan miliknya. “Ngapain lo nanya gitu? gue kan emang ga pernah pulang. Percuma juga pulang, rumah juga sepi.”

Rumah bukan sesuatu yang perlu Ian rindukan.

Dika tidak memberikan komentarnya, apa yang sebenarnya dirinya tanyakan pada Ian adalah sebuah pertanyaan yang juga bersarang di dalam kepalanya sejak beberapa hari yang lalu. Begitupun juga jawaban, apa yang Ian katakan sebagai jawaban sepertinya juga cukup menjadi jawaban bagi dirinya juga.

“Kenapa? Lo pengen pulang? Mau gue anterin weekend besok?”

Dika hanya menggeleng.

Tidak ada yang bersuara setelahnya. Keheningan menutup rapat ruang yang ada di kamar Dika. Keduanya seolah sedang menikmati kegaduhan yang terjadi di dalam pikiran masing-masing cukup lama.

Dika memperhatikan laki-laki berambut ikal tersebut. Ada rasa syukur yang juga diam-diam dilafalkan Dika, kamarnya mendapat kunjungan sesuai dengan pengharapan. Seseorang yang tengah berbaring di atas tempat tidurnya cukup rumit untuk bisa dibahasakan dengan lisannya.

Senyuman tipis terbit dari keduanya, pandangan tiba-tiba menyatu begitu saja. Segalanya berubah menjadi sulit untuk Dika tangani, termasuk jantungnya yang berpacu lebih cepat daripada biasanya. Kalau saja otaknya berhenti berfungsi, mungkin Dika akan segera memuntahkan isi hatinya dengan teriakan sekuat mungkin di depan laki-laki berambut ikal tersebut.

Manusia bodoh mana ketika masalah hati tidak mampu dilisankan, justru tindakan malah dilancarkan. Sebut saja manusia itu Mahardika Putra Langkat, yang makin lama tanpa suara seolah menyerahkan segalanya untuk manusia bodoh lainnya yang juga sigap melegalkan transaksi yang terjadi.

Balutan kata teman seolah bukan menjadi tameng lagi, keduanya diburu nafsu.

Labium saling berinteraksi, bagian belakang leher digapai agar transaksi berjalan lebih mudah. Suara lirih muncul di sela-sela kegiatan, menggelitik rungu, meledakkan hasrat. Afeksi memberikan ruang untuk mereka saling bicara. Kulit ke kulit, jari-jemari sudah tidak tahu arah. Jeda waktu juga diadakan supaya oksigen tidak sampai Amblas.

Pembicaraan semakin dalam, entah apa yang dibicarakan di dalam sana. Tubuh saling berhimpit seakan berlomba memberikan rengkuh paling hangat.

Kejadian pertama kali mungkin terasa serampangan, yang kedua kali ini jauh lebih rapi. Transaksi cumbu jauh terasa lebih menegangkan namun ringan. Decakan mengalun seperti alunan musik klasik romantis.

Jeda kembali diadakan. perebutan oksigen begitu intens, hasrat yang meledak sebelumnya menarik mereka ingin melakukan lagi dan lagi, tidak peduli berapa kali rongga dada mereka harus mengalami miskin oksigen, tidak peduli berapa kali harus merutuki kegiatan ini nanti.

Oksigen keduanya tidak sempat amblas, tapi justru hilang waras.

Meskipun begitu, dunia yang tak seberapa ini masih sudi memberikan ruang bagi mereka yang tak sempat mengabarkan secara lisan.


Dari semua bentuk doa, Bara meyakini bahwa doa dibalik nama Laksana adalah doa paling agung yang dikabulkan oleh Tuhan. Meskipun dirinya tidak pernah tahu arti dari Lak. sa. na sesungguhnya. Sebab pengetahuannya hanya sebatas nama adalah doa. Tapi Segala yang baik, nyata lekat pada si penyandang nama Laksana; Haidar Laksana.

Haidar Laksana yang tengah duduk manis dengan segelas kopi, menelisik isi dari televisi di depannya. berharap menemukan sesuatu untuk bisa menghibur waktu istirahatnya di hari ini, setelah di sibukkan dengan segala kesibukan proyek-proyek penelitian bersama profesornya sebelumnya dan jam kuliah yang cukup padat.

beberapa kali tombol pada benda pipih di genggamanya terlihat di tekannya. Berharap menemukan tontonan yang memanjakan matanya. Cukup lama, sampai pada Haidar lebih memilih tombol yang berfungsi untuk mematikan televisi tersebut. Tidak ada yang menarik baginya. Layar di depannya kembali menampilkan kegelapan.

Menghirup aroma pagi hari dengan memejamkan matanya, Haidar merasakan sesuatu ikut keluar dari tubuhnya bersamaan dengan nafas yang dibuangnya secara perlahan. Tubuhnya terasa sedikit lebih ringan.

Tarikan nafas Haidar membuat Bara menarik ujung-ujung bibirnya. Haidar yang duduk dengan tenang adalah sesuatu yang jarang dijumpainya, terhitung tiga bulan sudah.

“Barrrrr…..” Dengan suara yang masih terdengar serak, efek baru kembali dari tidurnya. Haidar hanya menggerakkan kepalanya dan menemukan yang dipanggil ternyata sudah berdiri di dekatnya.

“Apa?” Bara masih harus membiasakan telinganya mendengar suara Haidar dengan suara paraunya yang terdengar lebih seksi, meski sudah berkali-kali mendengarnya.

“Duduk sini deh.” Tangan Haidar memberikan isyarat untuk duduk di sofa bersamanya.

“Ogah ah.”

“Please deh, jangan bikin mood gue turun lagi.”

“Gue bilang nggak mau. Gue maunya di sini. Dipangku.” Bara melangkahkan kakinya untuk duduk diatas pangkuan Haidar. Sedangkan Haidar hanya tersenyum dan tersipu dengan tingkah pacarnya. Meskipun begitu tangan Haidar bantu membenarkan posisi duduk Bara di pangkuannya supaya terlihat lebih nyaman.

“Udah lama gue nggak ngeliatin lo kaya gini, ternyata sekangen itu gue. Padahal masih satu rumah, tiap hari juga masih ketemu, tapi kenapa gue sekangen itu ya?” Netra Haidar menyelam lebih jauh ke paras manis di depannya, tangannya turut mengacak rambut Bara.

“Udah biasa gue mah.” Meski kadang harus merasa kecewa, Bara cukup memaklumi tugas Haidar sebagai mahasiswa beasiswa kampus. “Hari ini lo mau ngapain aja?”

Haidar menyandarkan kepalanya pada sofa. “Ngapain ya enaknya? kalo tiduran doang kayaknya bakalan nggak enak deh di badan. Atau kamu mau pergi kemana nggak?”

Bara hanya menggeleng.

“Nggak tau deh, ngeliatin kamu kaya gini aja boleh nggak sih?”

“Kebiasaan, ngaco mulu tuh mulut. Sebenarnya aku ada sesuatu yang pengen kamu lakuin Mas.”

“Apaan? kamu kalo udah manggil Mas pasti yang aneh-aneh nggak sih.” Curiga Haidar. Sebab Bara dengan kebiasaan memanggil Mas adalah ketika maunya sudah diluar nalar bagi Haidar.

“Kali ini nggak. Jadi lebih baik lo mandi dulu sana.” Bara bergegas untuk bisa turun dari pangkuan Haidar. Tapi sayangnya, tangan Haidar terlalu erat memeluk pinggangnya. Keduanya saling bertatapan, Haidar dengan tatapan curiganya, sedang Bara dengan tatapan yang lebih terlihat seperti orang dengan otak yang memiliki seribu cara untuk membuat Haidar hidup tanpa ketenangan hari ini.

“Oke. Tapi ada syaratnya. Satu, lo harus panggil gue Mas hari ini full. Dan Nggak ada kata-kata kasar. Dua, sebelum gue mandi gue butuh asupan. Jadi ciuman dulu kita.”

“Iya Mas.” Bara membasahi bibir bagian bawahnya dengan lidahnya. Tangannya menangkup wajah Haidar, dan menuruti persyaratan pacarannya itu tanpa banyak protes dan sok jual mahal seperti biasanya.

Haidar nggak pernah menyangka kalau energinya yang sudah terkuras selama tiga bulan, kembali dengan mudah hanya dalam satu sesi lumatan bersama Bara.

“Kurang?” Mendengar pertanyaan seperti itu, Haidar pikir tidak ada yang salah untuk bersikap tamak. Maka anggukan adalah jawaban yang diberikan dengan penuh kesadaran. Dan sesi berikutnya Bara membiarkan Haidar untuk mendominasi. Menjerat baik lidah maupun salivanya dengan lembut.

“Ikut aku mandi yuk.”

“Aku udah mandi ya. Dah ah sana mandi dulu.” Bara turun dari pangkuan Haidar.

“Yakin?”

“Mas….”

Sepertinya Haidar tidak diijinkan untuk menjadi orang yang lebih tamak kali ini. Jadi yang bisa dilakukan adalah segera pergi mandi dan menuruti apa yang akan diminta Bara nanti. —

“Mas, ke kamar yuk.” Setelah menyantap sarapan serta makan siang yang dirangkap menjadi satu sesi. Bara bersuara.

“Hah? kamar siapa?”

“Kamar kamu.”

“Kamu lagi pengen ya?”

Bara hanya tersenyum dan menarik Haidar untuk masuk ke kamar milik Haidar. Yang ditarik menuruti. Haidar pikir, Bara mungkin akan menjadikannya sebagai salah satu menu makanannya juga. Jadi dia manut. Haidar akan mengaminkan jika hari ini Bara ingin mendominasinya. Memberikan hak penuh untuk menginvasi miliknya.

Bara mendorong daksa Haidar, hingga yang terdorong berbenturan dengan kasur berukuran seratus enam puluh kali dua ratus centi. Beruntung dorongan tersebut tidak terlalu kuat sehingga Haidar masih bisa menyeimbangkan tubuhnya, dan berakhir terduduk di atas kasurnya. Dan memilih diam, menggantungkan apa yang akan terjadi berikutnya kepada si manis. Alur seperti apa yang diinginkan akan Haidar izinkan. Yang bisa dirinya lakukan hanya menyinggungkan senyuman.

Kaos kebesaran berwarna putih terangkat, lepas dari pemiliknya. Pelakunya adalah kedua tangan Bara, yang tidak menginginkan kaos itu menutupi tubuh Haidar untuk saat ini.

Dada bidang terpajang, aliran darah bergerak begitu cepat ketika jari-jemari Bara menelusuri tiap lekukan yang ada. Menelusuri bagian-bagian jejak guratan. Bukan, bukan guratan artistik layaknya tato, tapi bekas luka yang telah beberapa tahun mengering.

“Mas, aku mau denger cerita tiap luka ini. Boleh?”

Aliran darah yang meledak sebelumnya, berubah normal.

Pertanyaan itu sudah sejak lama Bara ingin sampaikan. Tapi baru kali ini dirinya punya keberanian untuk menyuarakan. Keberanian untuk mendengar. Karena Bara tahu tidak ada cerita indah dibalik luka itu.

Pelupuk mata hampir saja menggenang, mengingat bagaimana goresan itu sampai pada tubuhnya. Haidar memang tidak melupakan satu detik pun ketika luka itu mulai menghampirinya hingga mengering. Bagi Bara, mungkin luka itu tercipta dengan kisah tragis. Tapi bagi Haidar, bekas luka itu adalah sesuatu yang membuatnya menjadi manusia yang bersyukur.

“Kamu mau denger yang mana dulu sayang?”

Bekas luka yang berada di bagian bawah tulang rusuk bagian kiri yang disentuh Bara. Seperti tergores benda tajam, dengan bekas empat jahitan terlihat disana.

Bara berbaring dengan menempatkan tumpuan kepalanya pada paha Haidar, adalah posisi ternyaman yang dipilih. Sementara haidar duduk dengan satu kaki bebas terjuntai dan bebas bergerak tanpa beban. Tidak seperti kaki satunya yang membawa beban.

“Kamu tahu nggak? kenapa ada empat jahitan disini?” Bara menggeleng.

“Hari itu aku hampir nyerah.” Ada jeda setelahnya. Haidar menghirup oksigen cukup lama. “Semua ego papa rasanya udah aku penuhi, tapi murka nya emang nggak bisa berhenti. Hari itu pegangan papa pecahan kaca, dan saat itu aku bilang untuk papa bunuh aku aja.

Aku sendiri yang ngarahin pecahan kaca itu ke sini. Dan di hari itu aku pertama kali nggak ngerasain sakit. bahkan perih aja nggak bisa rasain. Disitu aku senyum, aku ngerasain bahagia yang benar-benar meledak. Bahkan setelah papa tenang, aku nggak percaya. Makanya, pecahan kacanya aku pake lagi buat ….

Kamu tahu lah. Yang buat aku seneng adalah, artinya aku bisa nemenin papa tanpa harus ngerasain sakit lagi. Dan aku nggak boleh nyerah mulai hari itu.”

Bara kembali menyapukan tangannya pada bekas luka yang baru saja dirinya ketahui bagaimana bisa terukir di sana. Perasaan nyeri muncul menyesak dadanya. Entah sakit seperti apa yang Haidar rasakan sampai-sampai rasa sakit itu seolah menjadi kabur.

“Mungkin aja kalo ga aku gores lagi lukanya, aku nggak akan dapet sampe empat jahitan di sini.”

“Tapi kalau aku cubit sekarang, kamu bisa ngerasain sakit nggak?”

“Coba aja.”

Yang mendekati bekas luka bukan jari dengan cubitan. Tapi bibir dengan kecupan.

“Sejak kapan nyubit kaya gitu?”

“Dar, kayanya aku cuma bisa denger yang satu ini aja kali ini. Aku ga sanggup kalo harus denger yang lain juga hari ini. Dadaku tiba-tiba sakit. Maaf ya, aku tahu kamu nggak ngerasa sedih atau gimana. Tapi aku nggak bisa. Ini terlalu sakit buat denger orang yang aku sayang harus melalui hal kaya gitu.”

Cinta dan kasih sayang seorang ayah lewat luka di hidupnya, bagi Haidar tidak jauh beda dengan cinta dan kasih sayang dalam bentuk lainnya. Haidar meyakini bahwa saat itu papanya hanya kehilangan ingatan bagaimana mencintai anaknya secara semestinya.

“Nggak papa sayang. Udah ya sedihnya, aku aja sambil senyum lho ceritanya.”

“Hmm”

“Aku kira tadi kamu lagi pengen itu.”

“Itu apa? apaan?”

“Yaudah, aku aja ya hari ini.”

“Apanya woy?”

Belum mendapakan kejelasan atas pertanyaannya. Bara sudah berubah pindah lokasi, akibat tangan Haidar yang begitu cekatan. Keduanya sudah saling berhadapan, Haidar menumpu tubuhnya hanya dengan satu tangan. Tangan satunya mmengunci kepala Bara.

Mempertemukan kembali indra perasa mereka tanpa tergesa. Pelan dan lembut, namun mampu membuat nafsu keduanya meninggi. Apa yang masih menutupi raga masing-masing disingkarkan. Mempertemukan kulit dengan kulit, menautkan jemari dengan jemari. Bersahutan menggaungkan nada penuh kama. Memburu putih luruh menyatu.


haidar,bara oleh anotherapi

“Widih, emang bener ya kata orang anak fh tuh ganteng-ganteng.”

Malvian menyapa Chris, pacarnya yang merupakan mahasiswa fakultas hukum. Senior pendampingnya saat masa orientasi mahasiswa baru.

“Siapa yang bilang begitu?, salah.”

Chris yang sudah menunggu Malvian di depan lobi kantor dosen, menimpali perkataan pacarnya yang baru datang itu.

“Jadi yang bener?”

“Yang ganteng cuma aku doang.”

Keduanya tertawa. Meskipun Malvian percaya dengan paras tampan pacarnya, tetapi secara spontan seolah ingin memuntahkan isi perutnya, ketika mendengar kalimat pacarnya yang begitu percaya diri.

“Udah kan?”

Malvian merubah eksperi wajahnya yang semula sumringah menjadi kesal mendengar pertanyaan yang keluar dari sang pacar.

“Buset, belum ada lima menit. Oh kamu kan nggak kangen sama aku. Yaudah sana!”

Malvian mendorong tubuh Chris menjauh darinya. Yang didorong hanya tersenyum kemudian menjauh meninggal Malvian yang masih berdiri dengan perasaan kesalnya.

Malvian menghela nafasnya dan melanjutkan rencananya untuk membawa tumpukan makalah ditangannya ke ruangan Pak Mahmud, dosen pengampu mata kuliah umum pancasila di kelasnya.

Ketika sampai dan mengetuk pintu ruangan Pak Mahmud, Malvian langsung diperintahkan untuk masuk ke ruangannya dan langsung melihat bahwa bukan hanya dirinya dan Pak Mahmud yang ada di dalam ruangan tersebut, tetapi dua mahasiswa lain yang berdiri di depan meja dosennya itu.

“Oh, Kamu.”

“Iya Pak, mau nganter makalah anak-anak presentasi besok.”

“Yasudah taro sini, saya koreksi sekalian. Tolong bantu saya dengerin mereka berdua lagi presentasi.”

Malvian dan dua mahasiswa lainnya tampak bingung, tapi Malvian jawab dengan kalimat menyanggupi perintah sang dosen. Ya karena nggak mungkin juga nolak perintah dosen kan.

“Kamu lanjutkan.” Perintah Pak Mahmud pada dua mahasiswa yang Malvian nggak tahu kenapa mereka harus presentasi langsung di ruang dosen.

Malvian mendengarkan salah satu dari keduanya yang terlihat lebih seperti membaca makalahnya tanpa tahu presentasi itu seperti apa. Malvian juga merasa tidak asing dengan sesuatu yang dibacanya.

Belum selesai dengan presentasinya yang sebenarnya cuma baca itu, Malvian menyela dengan memberikan pertanyaan kepada Pak Mahmud.

“Boleh, ngasih pertanyaan sekalian nggak Pak?”

“Silahkan, silahkan.” Jawab Pak Mahmud yang membuat dua orang di depan Malvian kebingungan.

“Anjing!” Umpatan lirih muncul dari salah satu dari dua orang yang Malvian sama sekali tidak kenal itu.

“Kalo gitu udah aja ya pak, langsung pertanyaan aja.” Uangkap satunya lagi.

“Kalo gitu, mau nanya apa kamu?.” Tanya Pak Mahmud pada Malvian.

“Gampang banget sih pak, sebutin daftar isi makalah kalian aja.”

“Apaan, pertanyaan yang jelas dong lo, kalo kaga punya pertanyaan berbobot nggak usah sok-sok an nanya dah lo.” Salah satu dari dua orang tersebut langsung tersulut emosi mendengar pertanyaan Malvian.

“Eriko diam dulu kamu.” Pak Mahmud berusaha menghentikan omongan tidak sopan dari salah satu dari mereka yang ternyata bernama Eriko.

“Oh, namanya Eriko.” Batin Malvian setelah mendengar nama itu disebut.

“Masa gitu aja nggak bisa pak, harusnya kalo ngerjain sendiri sih bisa ya, kayanya mereka pake joki deh pak. Wah parah sih.”

“Bener itu Eriko?”

“Enggak lah Pak, saya ngerjain sendiri sampe nggak tidur dua hari Pak.” Teman di sebelahnya malah menahan senyuman mendengar jawaban Eriko yang terlihat sangat dramatis dan terlihat sekali bohongnya.

“Kalo iya, coba dong jawab pertanyaan gue tadi. Bukannya barusan juga lo baca”

Sebelum Eriko semakin mendebat pertanyaan itu dengan jawaban yang makin nggak masuk akal, teman disebelahnya berpura-pura seperti orang penyakitan asma yang kabuh. Malvian paham betul kalo mereka cuma berakting tapi lain dengan Pak Mahmud yang tampaknya percaya saja.

“Waduh Pak temen saya asmanya kambuh, harus di bawa ke klinik cepet nih Pak.” Kata orang yang memiliki nama Eriko.

“Yasudah, cepet sana bawa temen kamu. Kamu juga bantuin itu.” Bahkan Malvian di suruh bantuin orang yang sebenarnya aktingnya pas-pasan itu.

Benar dugaan Malvian, saat sudah diluar ruangan Pak Mahmud mereka berdua kembali normal.

“Bangsat, lo siapa anjing. Kenal juga kaga.” Yang bernama Eriko langsung memprotes kejadian Malvian yang sengaja mengerjai mereka di ruangan tadi.

“Iya anjir, untung akting gue bagus kalo kaga udah abis lo sama Pak Mahmud Ko.” Yang satu lagi ikutan menyahuti perkataan Eriko.

“Masih aja songong lo, minimal tuh dibaca. Satu lagi, bayar monyet.”

“Bayar apaan?” Eriko tidak kalah nyolot, kenal aja enggak, ini tiba-tiba minta bayaran. Jelas Eriko makin kesal sama orang di depannya.

“Kenal aja kaga, dan gue nggak berasa pernah nyewa orang kaya lo dan kaga bakalan pernah, cuih.”

“Lo pikir yang ngerjain makalah 100 lembar yang nggak lo baca itu siapa? Bukannya bayar malah ngilang.”

“Eh gue udah bayar ya anjing!” Eriko tidak berhenti dengan suara lantangnya sambil memeriksa ponselnya untuk memperlihatkan bukti bahwa dirinya merasa sudah melakukan pembayaran.

Tapi seketika Eriko diam saat melihat ternyata dirinya tidak menemukan apapun, alias memang belum mentransfer sejumlah uang yang telah disepakati sebelumnya.

“Udah?” Malvian bertanya kembali dengan nada meremehkan.

“Perasaan udah gue bayar deh.”

“Kebanyakan bawa perasaan sih lo.”

“Chat lo aja sih yang kaga masuk chat penting di handphone gue, jadi ya sorry kalo gue lupa. Noh gue transfer.”

” Oke, lain kali langsung bayar.” Malvian langsung pergi meninggalkan keduanya.

“Kaga bakalan gue pake jasa lo lagi anjing.”

Bayangan pulang dengan tenang setelah berkutat dengan kelas yang membuat otaknya panas, seketika hilang. Haidar harus mencari cara bagaimana seblak bisa ada di depan matanya.

Nihil. Tentu saja, dimana ada seblak?. Yang bisa Haidar temukan hanya Indomie dengan rasa seblak di laman pencariannya.

Semoga saja, setidaknya ada Indomie rasa seblak yang bisa Haidar dapatkan untuk Bara yang entah kenapa hari ini begitu merengek menginginkannya.

Tapi sayangnya Indomie rasa seblak pun tidak ada.

Berakhir Haidar membeli Indomie rasa soto, setelah mengarungi tiga market besar hampir dua jam.

“Bar,” Haidar pulang membawa indomie soto, bukan seblak yang diinginkan Bara.

“Hai, udah pulang. Lama banget, kemana dulu?” Bara terbaring di atas sofa dengan selimut menutupi setengah badannya. Bertanya tanpa melihat Haidar yang berdiri di belakangnya dengan muka lelahnya.

Dan Bara masih bertanya dari mana saja Haidar bisa pulang begitu terlambat.

Tidak kunjung mendapat respon, Bara memutar kepalanya. Melihat Haidar berdiri dengan satu kantong plastik belanjaannya tadi.

“Ga ada seblaknya, aku udah nyari ya ke semua market.”

“Yaudah gapapa. Terus itu kamu beli apa?”

Bara seolah tahu bahwa Haidar tidak akan pulang membawa seblak yang diinginkannya. Dia juga tahu seblak bukan makanan yang akan mudah ditemukan sekarang, berbeda dengan di Indonesia. Jadi ya sudah, Bara tidak akan ambil pusing jika seblak tidak ada dihadapannya.

Sementara Haidar yang berusaha mencarinya, melihat ekspresi Bara itu membuatnya cukup kesal. Haidar pikir Bara benar-benar menginginkan seblak dan akan marah padanya jika tidak bisa mendapatkannya. Bahkan market di seluruh Delft dia kunjungi untuk mencari makanan indonesia apapun yang berhubungan dengan seblak.

“Jadi lo lama nyari seblak!?, lagian udah tahu kaga bakalan ada.” Bara kembali memutar kepalanya membiarkan Haidar dengan sisa tenaganya.

“Tau gitu langsung pulang tadi.” Haidar meletakkan belanjaannya tadi diatas meja, dan duduk di bawah depan sofa yang ditiduri Bara. Meletakkan kepalanya di sisi sofa yang yang masih tersisa.

Satu tangannya mencoba menggapai dahi dan leher Bara untuk mengecek suhu tubuh Bara apakah sudah turun setelah sempat tinggi semalaman. “Syukur deh udah lumayan turun, badan kamu gimana udah kerasa enakan belum?”

Bara hanya menanggapi pertanyaan itu dengan anggukan. Melihat Haidar dengan wajah lelahnya Bara bisa lihat bahwa Haidar sepertinya tidak bohong bahwa dirinya sudah keluar masuk ke seluruh market yang ada di Delft hari ini.

“Capek banget ya lo? Lagian udah tahu kaga ada, maksa banget.”

“Tadi siapa yang bilang 'Ada Mas…' trus pake emotikon sok sedih, udah kaya orang ngidam. Mana lagi sakit, kamu pikir aku bakalan diem aja.

Tadi ada liat indomie ada yang rasa seblak, makanya aku nyoba nyari siapa tau ada. Tau nya kaga ada juga.”

“Jelek banget manyun begitu lo. Gue pijitin dah sini duduk yang bener.” Bara bangun dan duduk dari sofanya. Memberikan pijatan pada bahu Haidar. “Gue kadang kasian sama Ardio, gitu aja terus hidupnya.”

Bara tiba-riba memberikan komentar bagaimana kisah temannya yang begitu rumit.

“Kenapa lagi emang?”

“Ya gitu biasa, gue jadi ngerasa kaga enak. Gue egois ya Dar?”

“Wajar kalo kamu egois kok, ga ada yang salah. Yang penting kamu udah bilangin dia kan. Lagian kalau udah kaya gitu, udah bukan urusan kamu buat nyuruh dia mau gimana Bar. Semua orang punya caranya sendiri buat milih berjuang kaya gue, atau nyerah kaya Bagas waktu itu, atau milih diem aja kaya temen lo ya walaupun agak goblok dikit sih.”

“Iya juga sih, kenapa kisah cintanya ribet amat sih itu anak.”

Mengerti bagaimana kekhawatiran Bara terhadap Ardio dengan kisahnya yang begitu rumit, namun tetap dijalani meskipun kadang harus banyak mengeluh. Terkadang jatuh cintanya seseorang tidak bisa dikalahkan meskipun dengan menyakiti diri sendiri. Dan itu cara Ardio bertahan hingga kini.

“Dah ah capek gue, mandi sono.” Tangan Bara berhenti, tubuhnya tidak bisa bohong kalau masih lemas tidak bertenaga.

“Baru juga lima menit belum ada.”

“Ya gue udah capek.”

“Yaudah kasih gue sesuatu yang bisa mengembalikan semangat gue yang hilang gara-gara permintaan lo tadi.”

“Pamrih lo anjing, dapet juga kaga.”

“Cepet, keburu gue pingsan.” Satu jari tangan Haidar menyentuh pipi kanannya dan berusaha mendekatkan wajahnya pada Bara yang duduk di belakangnya.

“Apaan minta digampar lo?” Bara menanggapi seolah tidak mengerti apa yang diinginkan Haidar.

“Bar…, bis—”

'Cup'

Belum sempat selesai dengan protesnya Haidar sudah diam tidak lagi bersuara, sebab Bara tiba-tiba memutar kepala Haidar dan memberikan satu kecupan pada bibir Haidar yang dari tadi mengomel.

Haidar merebahkan kepalanya pada tubuh Bara dibelakangnya. Memandangi wajah pucat itu penuh khidmat.

“Bar,”

“Hmm” kedua bola mata bertemu, Bara dengan mata sayunya sekalipun tidak berhenti mendamba paras apik yang Haidar miliki. Haidar dengan mata binarnya, juga tidak kalah memuja bagaimana manusia di hadapannya bisa terlihat seindah itu meskipun dengan mata sayu dan bibir pucatnya.

“Kenapa gue sayang banget dah sama lo.”

Satu kalimat yang mungkin bagi Bara hanyalah sebuah gombalan, tapi bagi Haidar kalimat itu jauh muncul dari hatinya yang paling dasar. Tidak ada satu katapun yang dianggapnya hanya lelucon.

Bagaimana perasaannya membuncah setiap kali menyadari bahwa dirinya adalah orang paling beruntung yang memiliki Bara putra Bimantara di sisi hidupnya.

“Masa?” Bara seolah memantik omelan baru muncul dari bibir Haidar.

Untuk menjawab pertanyaan mengesalkan dari Bara, Haidar memilih menjawabnya tanpa suara lantang.

Tapi membisikkannya tepat di telinga Bara. “Gue nggak pernah bohong soal itu Bar, ik hou van jou.” Seketika tubuh Bara meremang ketika Haidar mencium telinganya serta membuang jarak diantara pipi keduanya. Bergerak seperti anak kucing pada tuannya.

“Ik hou ook van jou” Saling pandang untuk kesekian kali, membenturkan tatapan hangat masing-masing. Meluruhkan tiap-tiap bahasa yang meninggikan cinta diantara keduanya.

Karena sejak jatuh cintanya Haidar dialamatkan pada putra Bimantara, Bara menjadi satu-satunya yang menerima bagaimana Haidar menuturkan bahasa cinta.

Hangatnya tensi semula berubah menjadi sedikit panas ketika jarak kembali terkikis, menyatukan bibir dengan lembut. Bertukar frasa cinta ditiap pagutan dan lumatan.

Jari-jemari saling mengikat erat, seolah jika ujung-ujungnya saling lepas, dunia mau pisahkan keduanya.

Tipisnya kadar oksigen membuat keduanya mengambil jarak yang tadi dibuang. Meraup oksigen dengan bertukar senyum. Dan kembali bagaimana lumatan menyatukan keduanya.

“Udah ah mandi dulu kamu.” Setelah berakhir dengan berbagi pelukan di atas sofa, Bara bersuara.

“Mandi bareng?”

“Kaga usah ngide dah lo. Cepet sono ah, gue masakin itu mie yang lo beli.”

'cup cup cup cup cup' Haidar malah menghujani wajah wajah Bara dengan ciuman singkatnya, sambil pelepas pelukan dan berlalu pergi ke kamar mandi. “Gue dua bungkus ya sayang.” Sebelum menutup pintu Haidar berteriak minta dua bungkus indomie yang tersaji untuknya nanti. Bara hanya tersenyum mendengar teriakan itu.

Bara mendengus, merutuki diri sendiri. Pasalnya Haidar kelaparan, dan itu tidak bisa Bara abaikan. Sebenarnya, Haidar juga tidak sepenuhnya salah. Dengan berat hati, pintu kamarnya terbuka. Dan Bara terkejut ketika Haidar sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan membawa satu paper bag yang menggantung pada tangannya, entah isinya apa.

Happy Valentine. Tadi mau ngasih ini keburu liat Papa, jadi aku masukin tas lagi.”

“Boong lo ya, ini baru lo beli kan.”

“Liat dulu isinya dong.” Haidar menaikkan sebelah alis matanya.

Bungkusan coklat entah merek apa, Bara tidak peduli. Matanya justru menangkap sesuatu yang lebih menarik di bawah bungkusan coklat tersebut.

“Dar, serius?” yang ditanya mengangguk, menyinggungkan senyum.

Sebuah kotak bertuliskan merk dari jam tangan yang Bara idamkan dari beberapa bulan lalu, membuatnya menarik bibirnya lebar.

“Bukanya di meja makan aja boleh nggak? aku udah nggak sabar makan batagor buatan kamu.” Selain itu perut Haidar memang sudah dilanda rasa lapar sejak tadi.

“Aku tuh masih nabung tau buat beli ini, kenapa dibeliin duluan? uang kamu banyak banget kayanya ya.” Meskipun omelan yang keluar, tapi senyum Bara juga tidak kunjung mereda. Ekspresi Haidar yang ditunggunya saat memakan batagor buatannya sejak tadi mendadak hilang dalam ingatannya.

“Pake dong, mau aku yang pakein?” Haidar dengan suapan pertamanya.

Bara menggeleng dan langsung memasang jam tangan barunya sendiri terpasang apik di tangan kirinya, dan membiarkan Haidar menikmati batagornya. “Bagus nggak?”

“Bagus, tangan kamu jadi makin cantik.”

“Tapi ini duitnya lumayan Dar, lo tuh—”

Please sayang, jangan ngomel hari ini ya. Aku lagi capek banget, lagian uang aku nggak bakalan abis cuma buat beliin barang yang kamu suka.” Haidar lebih dulu memotong ucapan Bara.

Bara hanya bisa tersenyum melihat Haidar protes dengan ocehannya terkait kebiasaannya mengeluarkan uangnya untuk barang-barang yang kadang tidak terlalu penting dengan harga yang tergolong tidak murah.

Entah suapan keberapa dari batagor yang hampir masuk ke mulutnya di tahan oleh Bara. Sendoknya diambil alih, bertindak menyuapi Haidar. “Enak nggak? sori aku nggak ngasih apa-apa, aku lupa kalo hari ini valentine.”

“Lah ini aku kira kamu masakin aku batagor buat spesial hari valentine.”

“Hari apapun buat gue semuanya spesial Dar. Asal masih ada lo di hari itu.” Bara singkirkan anak rambut yang masih sedikit basah supaya tidak menghalangi pandangan Haidar untuk menatapnya. “Makasih buat hari ini, kemarin dan hari-hari selanjutnya yang ada lo nya.”

Haidar nggak tahu kenapa mendengar itu membuatnya begitu mabuk melebihi meminum sebotol anggur merah. Mencintai Bara adalah hal yang sudah menjadi sesuatu yang Haidar syukuri tiap harinya. Tapi Dicinta Bara adalah hal yang lebih Haidar syukuri untuk hidupnya saat ini.

“Pinter banget diabisin makannya. Abis ini gue kasih hadiah puk-puk sambil peluk.” Bara dan ucapannya yang membuat Haidar semakin jatuh pada jurang tanpa dasar.

“Sampe pagi.”

“Pegel dong tangan gue.”

“Kalo gitu peluknya yang sampe pagi.”

Meja makan kecil kepunyaan dua adam kini setiap harinya tidak hanya akan terisi dengan berbagai menu masakan, tapi juga penuh dengan diksi suka cita bagaimana dua anak adam saling membagi cinta.

“Mana yang katanya minta peluk?” Jagat masuk ke dalam kamar Abian, dilihatnya sang pacar sedang berbaring sambil memainkan telepon genggamnya.

Abian segera membuang gawai di tangannya. Dilemparnya di bagian kasurnya yang kosong.

Berdiri di samping kasur yang super lebar, bahkan tiga kali lipat lebih lebar daripada miliknya, Jagat dan pinggangnya sudah dirampas hak milik. Dipeluk begitu erat oleh pacarnya.

Meskipun baru pulang dari kerja paruh waktunya, Jagat sama sekali tidak keberatan meladeni pacarnya yang sedang sakit dan kelakuan manjanya.

Terkadang dirinya heran, bagaimana bisa seorang Abian yang terkenal garang di tongkrongan, berubah begitu manja padanya, apalagi saat sedang tidak enak badan seperti ini.

“Kenapa nggak langsung tidur? malah mainin handphone.”

“Kan lagi nungguin orderan peluk.”

“Oh, kalau gitu bayar anjing!”

“Iya nanti gue bayar, sebut lo mau berapa?”

Jagat geleng-geleng kepala, dia lupa kalau pacarnya ini emang suka berperilaku layaknya sugar daddy.

“Gratis sih kalau buat pacar mah.” Abian tersenyum, kepalanya diusap lembut oleh Jagat.

“Kamu nggak capek? tadi kerja apa?” Abian bertanya tanpa melepaskan pelukannya.

“Capek sih, cuman ngasih les doang ke adik kelas. Padahal tadi aku udah mau tidur, tapi tiba-tiba ada anak gorila yang lagi sakit terus minta peluk. Jadinya kaga tega, samperin deh.”

“Gue yang lo bilang anak gorila? ngeselin lo.” Abian merengut, melepaskan pelukannya dan mendorong tubuh Jagat meskipun tanpa tenaga dan Jagat yang tidak sama sekali goyah.

“Gue mau itu, tapi kaga jadi deh. Sini peluk lagi dong.” Abian kembali menarik tubuh Jagat untuk dipeluknya lagi.

“Dih, itu, apaan?”

“Mau cium kamu, tapi kaga jadi entar takutnya kamu ketularan aku, terus ikutan sakit.”

“Aku cium ini aja deh ya.” Satu kecupan mendarat di kening Abian. “Aduh.”

“Kenapa?”

“Jidat lo panas banget, bibir gue kebakar.” Jagat tidak bohong kalau suhu tubuh Abian terasa cukup panas. “Udah ah peluknya, awas ntar ada mbak sita.”

“Nggak bakalan.” Abian mempertahankan pelukannya.

“Nggak bakal gimana, orang tadi aku nyuruh mbak sita buatin kamu air gula anget. Pasti bentar lagi orangnya dateng.”

“Buat apa, gue udah minum obat tadi.”

“Biar lo cepet tidur. Katanya bisa bikin orang yang susah tidur jadi cepet tidur.”

Tok tok

“Mas air gula angetnya udah jadi nih.”

“Nah tuh. Minggir dulu.”

Abian dengan terpaksa melepaskan pelukannya. Membiarkan Jagat mengambil air gula hangat yang sudah dibuatkan oleh salah satu asisten rumah tangganya.

“Nih minum, abisin.” Satu gelas air gula hangat yang tidak terlalu penuh Jagat berikan kepada Abian supaya tidurnya lekas nyenyak.

Setelah menghabiskan minumannya, Abian memberikan isyarat Jagat untuk segera naik ke atas kasurnya dan memberinya pelukan kembali.

“Utututu sini-sini bayi gorila gue.”

Abian membiarkan Jagat memanggilnya dengan sebutan apapun itu, karena saat ini dirinya tidak punya cukup tenaga kalau harus berdebat dengan pacarnya. Yang dia butuhkan sekarang hanyalah pelukan hangat miliknya.

Jagat rengkuh Abiannya dalam pelukan hangat yang kelewat dalam. Berharap esok pagi kekasihnya akan bangun dalam keadaan sehat kembali.

'Good night, panglima tempur kesayangan.'

Haidar harusnya sudah di Bandara. Harusnya berangkat dengan orang tua Karel.

Tapi apa yang sudah mengganjal, Haidar sulit hilangkan. Maunya diatasi, dibereskan biar pikirnya tenang, dan perginya diberi jalan yang lapang.

“Mau apa kamu ke sini? apa lagi yang kamu mau minta dari saya? bukankah anak saya sudah cukup?”

Papa dan hati nya yang mati. Dua kali hidupnya dicurangi semesta dengan perkara yang sama.

Bukan cuma Bara yang merasa gagal menjadi anaknya. Papa bahkan belum bisa memaafkan dirinya perihal gagal menjadi seorang Suami. Dan kini harus gagal menjadi seorang Ayah. Sakitnya tidak pernah bisa Papa sampaikan.

Padahal baik Bara maupun Papa, mereka baru pertama kali. Pertama kali menjadi anak, dan pertama kali menjadi ayah. Wajar kalo hasilnya tidak sempurna, tidak seperti apa maunya.

Tapi jelas, anaknya yang dibawa pergi orang di depannya ini buat hancur hatinya, sampai-sampai tidak mau melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa dirinya ditinggalkan—lagi.

“Restu.”

Haidar butuh itu, biar hidupnya dan Bara tidak dilingkupi takut, dan kegelisahan. Biar hidupnya sejalan dengan garis bahagia yang Haidar janjikan buat anaknya.

“Kamu bilang restu, restu yang seperti apa yang kamu butuhkan? mau restu seperti apapun saya nggak akan pernah bisa kasih.”

Sebastian tersenyum, anak di depannya ini bicara soal restu. Memangnya restu apa yang pantas? Sebastian saja tidak mengerti.

“Saya harus apa supaya bisa dapat itu om? Haidar mau apapun itu.“Keras hatinya Sebastian, Haidar coba lunakkan.

“Mau kamu ngelakuin apapun itu, sampai kapanpun saya nggak akan bisa. Yang menentukan itu ini.” Sebastian tunjuk dadanya.

Hatinya yang keras, sudah tergores.

Haidar tunduk, berlutut kembali di hadapan Sebastian. Dia yakin dinding keras itu akan roboh. “Saya mohon om, saya janji Bara akan bahagia seutuhnya.”

Satu tamparan di pipi kiri.

“Lakukan om, kalau itu bisa buat om lega, dan beri saya restu.”

Satu tamparan di pipi kanan.

“Bahagia, kamu kira saya selama ini saya ngapain? saya berjuang buat anak saya supaya bahagia juga.” Suara Sebastian menggema di telinga Haidar.

“Dan kamu seenaknya bilang, kalau dia akan lebih bahagia sama kamu?. Saya papanya!, saya yang mengurusnya selama 17 tahun.”

“Tapi om—”

Satu tamparan lagi di pipi kanan.

“Kenapa harus anak saya? kenapa!” Semakin keras suara Sebastian, semakin menusuk telinga Haidar. Meskipun suara itu bergetar.

Daksa sebastian turun, disejajarkan dengan Haidar. “Tapi kenyataannya memang saya gagal, saya gagal jadi ayah, saya gagal buat anak saya bahagia. Saya bisa apa?”

Haidar mendongak. Tembok itu ternyata perlahan runtuh, mengaku luluh.

“Bahagia kalian, tapi tolong jangan paksa hati saya rela begitu saja. Bagaimanapun saya papanya, saya kehilangan dia. Mungkin nanti, tapi saya tidak akan pernah berjanji.”

Bagaimanapun hati memang tidak bisa diotak-atik semudah itu, tapi bukan berarti tidak bisa. Nanti, biar papa benahi dulu hatinya.

“Sekarang pergi, anak saya sudah menunggu kamu.

Restu nanti, buktikan dulu bahwa Bara bahagia bersama kamu.”

Haidar pandangi punggung Sebastian yang menjauh pergi.

Semoga nanti restunya bisa utuh.


Gelisah, mondar-mandir. Bara tidak tenang, Haidarnya lagi-lagi bertindak tanpa perbincangan.

Bara tahu pasti Haidar ke rumahnya. Menemui Papa. Dasar, keras kepala.

Tadinya kakinya tidak berhenti melangkah, tapi melihat Haidar di ujung sana, Bara berhenti.

Netra keduanya saling berbicara dengan jarak. Air mata menetes dari milik Bara.

Selanjutnya, Bara lari, dia hampiri Haidar yang berdiri di ujung sana. Tidak peduli pandangan sekitarnya ketika daksa mereka beradu.

“Maaf, aku belum berhasil hari ini.”

Hari ini cukup, Belanda sudah menunggu kalian buat bahagia di sana. Yang tertinggal di sini, dilanjutkan nanti.

Mungkin akan ada waktunya sendiri.


Belanda, saya titip dua adam yang masih banyak kurangnya ini—anotherapi


Malam tahun baru biasanya banyak diisi dengan berbagai kegiatan seru dan berkumpul bersama keluarga atau bahkan orang tersayang, tapi di rumah Bimantara hal ini jarang terjadi. Biasanya dikarenakan papa dan abang yang disibukkan dengan pekerjaannya.

Namun, bukan berarti mereka melewati momen pergantian tahun dengan begitu saja tanpa melakukan apapun. Mereka hanya menunda, dan akan melakukan perayaan setelah kesibukan berakhir. Meskipun tanggal satu sudah terlewati beberapa hari atau bahkan minggu.

Dan tahun ini, mereka kembali harus menunda momen kebersamaan pergantian tahun kembali.

“Aa’ mau kemana?” Nathaniel menatap Bara yang sedang sibuk mengganti pakaiannya.

“Keluar, malem tahun baruan lah.” Jawab Bara sambil menyemprotkan parfum ke bajunya.

“Idih, sama bang Ardio? oh atau sama bang Haidar?! itu parfum banyak banget nyemprotnya. Aku ikut kalau gitu.”

“Dih, biasanya juga ga pernah mau diajakin.”

“Aa’ pasti mau pacaran sama bang Haidar kan? ga boleh berduaan kalo gitu!”

“Siapa yang mau pacaran? orang cuman barbequean, lagian sama Ardio juga. tumben banget sih, pengen banget ngikut.”

“Pokoknya aku ikut! tungguin awas aja ditinggal, aku laporin kakak.”

“Mau ikut yaudah ayo, cepetan sana. Aa’ tunggu di mobil, jangan lupa bilang sama papa.”

“Asyik ada Iel, seenggaknya gue kaga jadi nyamuk sendirian.” Kedatangan Bara dengan Nathaniel membuat Ardio senang. Setidaknya dirinya tidak harus melihat kebucinan dua temannya seperti biasa.

Ardio menyambut kedatangan Nathaniel dan Bara sambil mengupas kulit jagung, sedangkan Haidar yang sedang membuka sosis dari kulitnya, sedikit canggung dengan kehadiran Nathaniel. Begitu juga dengan Nathaniel, Haidar yang biasanya ia anggap hanya sebagai kakak kelasnya sekarang menjadi berbeda, sehingga tiba-tiba ada kecanggungan yang membentang diantara keduanya.

“Iel, lo bantuin gue sini dah.” Ardio meminta Nathaniel supaya membantunya, sekaligus memecah sedikit ketegangan yang terjadi.

Tapi belum sempat Nathaniel melangkah mendekati Ardio, Nathaniel melihat Bara yang melangkah dan ingin duduk di sebelah Haidar. Entah apa yang sedang dilakukannya, Nathaniel justru mendahului Bara dan memblokir tempat duduk tersebut.

“Aku bantuin bang Haidar aja deh, Aa’ aja sana yang bantuin bang Ardio.”

Bara sedikit kaget dengan tingkah aneh adiknya, tapi Bara pikir mungkin karena Nathaniel menginginkan sosis yang ada di depan Haidar. Kalau urusan makanan emang paling cepet itu anak. Bara nurut aja pada akhirnya.

“Dagingnya belum aku cuci sih, mungkin kamu mau cuci daging aja.” Haidar memberi Bara opsi lain.

“Aaaku, kamu.” Nathaniel bolak-balik memandang Bara dan Haidar. Dirinya baru pertama kali mendengar Haidar menggunakan sebutan itu. Dan terdengar begitu aneh sekaligus menggelitik telinganya. Sedangkan Ardio tertawa melihat hal tersebut.

“Biasa aja kali, baru denger ya lo.” Ardio yang sudah terbiasa, hanya bisa menertawakan Nathaniel yang merasa aneh.

“Sorry, gue aja deh yang nyuci, lo sama Iel deh terusin nih sosis.” Menghindari kecanggungan sekaligus tatapan aneh Nathaniel, Haidar segera pergi, memilih untuk mencuci daging yang kan mereka panggang nanti.

—-

Jam sepuluh malam Haidar baru mulai memanggang beberapa daging terlebih dahulu dan Ardio di bagian lain membakar jagung. Bara membawa dua magkok baru keluar dari dalam setelah meracik bumbu untuk saos yang kan dioleskan di atas jagung dan dagingnya.

“Nih, bantuin Ardio.” Satu mangkok bumbu disodorkan ke Nathaniel.

“Kok, ogah. Aku mau ngolesin daging aja.” Nathaniel langsung membawa mangkok tersebut mendekati Haidar yang sibuk menata daging di atas panggangan.

“Iel suka tingkat kematangan yang gimana?”

“Biasa aja.”

“Hah?”

“Maksudnya, biasa aja ngobrolnya. Kaya biasa bang”

“Oh, iya.” Enggak tau kenapa, berhadapan dengan Nathaniel kali ini lebih mendebarkan daripada ketika bertemu dengan papa Bara tempo hari.

“Toilet sebelah mana bang?”

“Masuk, lurus aja, terus sebelah kiri.”

Nathaniel pergi ke toilet dan Haidar bernafas lega, sejak tadi rasanya dirinya tidak bisa bernafas dengan sempurna. Berhadapan dengan Nathaniel di saat seperti ini tidak pernah haidar pikirkan, dan ternyata justru membuatnya lebih kelimpungan.

“Bar, sini deh cobain.” Haidar meminta Bara untuk mencicipi daging yang dipanggangnya.

Bara langsung mendekati Haidar dan membuka mulutnya, padahal daging tersebut masih panas.

“Sabar bego, masih panas.” Haidar protes sambil meniup-niup daging tersebut, supaya tidak terlalu panas. Setelah itu bahkan menggodanya seperti akan menyuapi seorang anak kecil, dengan gaya pesawat terbang.

“Yee, si anjing.” Mulut Bara protes sambil mengunyah. “Enak tapi, udah nih segini aja kematengannya. mau lagi dong.” Mulut Bara terbuka lagi, minta disuapi daging kembali.

“Yaelah, ini si Nathaniel kemana sih, sama aja kalo gini mah. Nyamuk juga gue ujung-ujungnya.” Ardio geleng-geleng dengan kelakuan kedua temannya.

“Lama banget lo.” Tidak kunjung diberi suapan oleh Haidar, Bara berinisiatif mengambil daging sendiri.

“Heh, itu gosong. Itu daging yang pertama sendiri tadi buat percobaan. Makanya sabar.” Tapi berujung dimarahi Haidar.

“Iel kemana sih, lama banget.” Sambil mengunyah Bara mempertanyakan keberadaan adiknya.

“Bilangnya ke toilet, gatau deh kenapa lama banget.—Saat menoleh kebelakang, ternyata Nathaniel sudah ada di belakang mereka— lah itu anaknya.”

“Heh, lama banget. Ngapain lo di toilet?” Bara tanya dengan curiga.

Nathaniel sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bara, dirinya malah hanya memandangi Bara dengan seksama. Selanjutnya yang terjadi adalah Nathaniel malah meneteskan air mata, dan tiba-tiba memeluk Bara sambil menangis.

“Heh, kenapa? lo ditanyain ngapain, malah nangis.”

Nathaniel melihat semuanya, malam ini Bara terlihat begitu bahagia. Senyumnya begitu berbeda, Nathaniel tidak pernah melihat Aa'nya tersenyum seperti itu selama ini.

Nathaniel juga tidak tahu kalau Haidar benar-benar begitu memperhatikan Bara, sampai dia liat dengan mata kepalanya sendiri malam ini.

Aa'nya yang selalu mengalah ketika dirumah, Aa'nya yang selalu mementingkan orang lain daripada dirinya ternyata juga butuh dinomer satukan.

Sekecil daging gosong, Haidar tidak membiarkan Bara memakannya. Sedangkan ketika dirumah, Aa'nya yang selalu memilih daging gosong dan memberikan yang matang sempurna kepada dirinya dan abangnya.

Nathaniel pikir itu karena Bara memang menyukai daging yang sedikit gosong, tapi hari ini Nathaniel tahu kenapa Bara selalu memilih daging yang sedikit gosong.

“Heh, bocah kenapa nangis.” Bara makin nangis, karena Nathaniel terus menangis dan memeluknya lebih erat.

Haidar dan Ardio pun juga bingung apa yang sedang terjadi, sehingga keduanya hanya diam.

“Lo kenapa? kesambet apa di kamar mandinya Haidar? udah nangisnya, jelek lo ah.” Bara menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi adiknya.

“Aa' maafin Iel ya, Aa' udah banyak ngalahnya sama Iel. Maaf kalau Iel suka egois.”

“Aa' habis ini bahagia ya, ga boleh sedih lagi, ga boleh ngalah terus sama iel.”

“Aa' bahagia ya.” Nathaniel kembali memeluk Bara dengan erat.

Tidak terasa Bara juga ikutan menetaskan air matanya. Memang benar dia sudah banyak mengalah, tapi Bara juga tidak mau marah atau memprotes, karena Bara tidak mau melihat kesenangan anggota keluarganya hilang meskipun itu sesuatu hal yang kecil.

Haidar yang tau bagaimana sulitnya Bara hidup sebagai anak tengah di keluarga Bimantara, bisa merasakan bagaimana adik, kakak tersebut saling mengungkap kasih sayangnya.

Air yang mengalir dari mata Bara, Haidar bantu hapus. “I love you” kalimat itu, Haidar sampaikan tanpa suara tapi Bara tau dari gerakan mulutnya.

“Kenapa sedih gini sih, anjing.” Ardio hampir ikut meneteskan air mata, karena tau bagaimana Bara tumbuh sebagai temannya dari kecil.

“Sorry. udah ah. Jelek banget nangis, tuh dagingnya udah mateng, makan sana.” Bara hapus sisa-sisa air mata milik Nathaniel yang hanya mengangguk.

“Aku mau jagungnya bang Ardio.” Nathaniel menghampiri jagung bakar yang ditinggalkan oleh Ardio demi melihat adik-kakak yang berpelukan sambil menangis. Entahlah gosong atau tidak. Ardio pun tersadar, dan langsung mengikuti langkah Nathaniel.

“Sorry, anaknya emang melow banget.”

“Ngapain minta maaf, kamu udah jadi Aa'nya dia versi paling terbaik. Makasih udah bertahan. Makasih udah jadi yang terbaik.”

“Ngomong apasih, kaga jelas lo.”

“Anjing, gue cium juga lo.”

“Silahkan kalo berani, kamu pikir Nathaniel bakal—belum menyelesaikan kalimatnya, Haidar sudah menyambar pipi Bara dengan kecupan singkat.

“Heh, heh bang Haidar, aku bisa liat ya.” Nathaniel menunjuk kedua netranya dengan kedua jarinya, lalu mengarahkannya ke Haidar. Memberikan isyarat bahwa Haidar tengah di bawah pengawasannya. Jadi jangan macam-macam.

Belum tau aja dia, pikir Haidar.


Tiap pilihan dalam hidup adalah tak lain dari sebuah pilihan egois.

Tertunduk di bawah kaki Sebastian Rudy Bimantara adalah pilihan paling egois yang Haidar pilih untuk saat ini.

“Maaf, Haidar minta maaf Om.”

Egois, buat jadi perenggut salah satu Bimantaranya.

Egois, buat jadi paling berani tantang semesta buat hidup bersama Bimantaranya.

“Maaf, karena saya terlalu takut buat jalan sendirian. Maaf, kalau Baranya mau saya ajak jalan berdampingan. Maaf, kalau jalannya juga bukan di sini.”

Abian Harsa Bimantara, yang berdiri di samping Sebastian, juga rasakan kecewa dan marah kenapa adiknya yang tak banyak mengeluh, ternyata simpan banyak peluh.

Dia tatap Haidar—yang katanya jadi alasan adiknya rasakan bahagia. Berlutut, meminta pengampunan di bawah kaki papanya.

Abian penasaran, apakah mereka yang menyimpang, akan diberi kesempatan. Abian penasaran, apakah semesta mau tunduk pada mereka yang berjalan salah arah, meski berdampingan.

Abian penasaran, apakah adiknya betulan bisa bahagia meski dengan mencurangi aturan.

Sebastian hanya diam. Perih, sebab luka lama kembali dibuat menganga.

Sedangkan Haidar di bawah sana tak henti buat minta pengampunan. Abian pegang pundaknya, supaya dia berdiri.

“Maafin Haidar Bang, Om.”

plak

Satu tamparan panas menjalar keseluruh bagian tubuh Haidar, tapi dia malah bersyukur. Sebastian masih sudi menyentuhnya, setelah mengabaikan tangannya yang minta dijabat sebelumnya.

Kalau bisa Haidar mau lagi, sekalipun berkali-kali Haidar sanggupi, asal diberi ikhlas anaknya dibawa pergi.

“Saya punya salah apa sama kamu?” Dadanya naik turun, Sebastian minta diberi penjelasan, kenapa harus anaknya yang jadi pilihan.

“Saya yang salah Om, Saya yang lancang jatuh suka duluan. Saya juga yang tidak tahu diri minta hidup berdampingan—

Saya yang salah. Tapi saya juga mau bahagia, dan itu bersama Bara.”

“Saya janji akan buatkan rumah buat Bara, meski tak sebesar dan sehangat rumah yang Om ciptakan. Saya janji, rumahnya akan aman dan ramah bagi Bara, bagi kami berdua.”

“Tau apa kamu soal rumah?”

Sebastian merasa lukanya yang kembali menganga, kembali di gores di atasnya sehingga terasa makin perih saja. Dia tinggalkan Haidar yang belum tuntas dengan permohonannya.

“Hati-hati berjuangnya, karena Bara begitu kami sayangi. Jangan sampai dia lupa dengan yang namanya bahagia. Papa saya sudah ijinkan.” Abian turut melangkah pergi, tapi kalimat yang diberinya di akhir adalah bukti bahwa semesta tunduk kali ini.

Selamat, selamat buat berjuangnya hari ini.